Title
stringlengths 3
104
| Link
stringlengths 47
193
| Question
stringlengths 20
2.96k
| Answer
stringlengths 371
32.8k
|
|---|---|---|---|
Pembatalan Premi Asuransi
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pembatalan-premi-asuransi-cl6960/
|
salam, Pengasuh hukum online.com yth; Saya mempunyai permasalahan dengan asuransi, pada tahun 2004 yang lalu saya menjadi pemegang polis asuransi jiwa perorangan pada PT Asuransi "AL", jenis asuransi "SF". Saya berkewajiban membayar premi tahunan sebesar Rp. 60 juta pertahun selama lima tahun. Pada tahun ke lima (terakhir) saya tidak sanggup lagi membayar premi karena keadaan ekonomi setelah berhenti dari jabatan pekerjaan. Setelah melewati masa tenggang dari pihak asuransi (2 tahun) dan saya tetap tidak bisa membayar premi tahun terakhir, pihak asuransi mengatakan bahwa polis saya telah batal dan uang premi yang telah saya bayar (kurang lebih Rp. 240 juta) menjadi hangus. Pertanyaan saya, apakah memang demikian resiko yang harus saya pikul, dan bisakah saya mendapatkan hak-hak saya kembali? Saya mohon bantuan dan penjelasan dari pengasuh Yth Demikian, sebelumnya saya ucapkan terima kasih Alfian Malik
|
## ULASAN LENGKAP
Kepada Sdr. Alfian Malik,
Membaca persoalan Anda, sungguh pedih saya rasakan. Asuransi yang Anda persiapkan dengan tujuan untuk hari tua, pada akhirnya tidak dapat Anda nikmati seperti yang sudah Anda bayangkan pada awal Anda memutuskan untuk ikut serta dalam program tersebut.
Menyikapi pertanyaan Anda, saya tidak dapat memberikan pandangan secara lugas karena Anda tidak menyampaikan informasi secara utuh. Misalnya, Anda tidak menyampaikan bagaimana syarat/klausul di dalam perjanjian polis asuransi dalam hal terjadi keadaan yang menyebabkan Anda tidak dapat lagi membayar setoran (premi) pertahunnya.
Namun demikian, menurut saya, Anda dapat melakukan upaya yaitu mendatangi dan/atau menulis surat kepada PT. Asuransi AL yang isinya mempertanyakan tentang penyebab hangusnya uang yang selama ini sudah Anda setorkan sebesar Rp 240 juta tersebut. Kemudian, Anda juga dapat mempelajari dokumen yang Anda tanda tangani ketika Anda mengikatkan diri dalam program asuransi SF.
Jika Anda rasakan sulit untuk mengerti isi dari dokumen yang dimaksud, Anda dapat menunjuk pihak yang mengerti akan hal tersebut. Hal ini barangkali perlu dilakukan agar upaya penyelesaian dapat berjalan efektif, efisien, dan tepat sasaran. Selain itu, yang terpenting, pihak tersebut dapat membantu Anda memperoleh pelayanan secara benar dan tidak diskriminatif dari pihak perusahaan PT. Asuransi AL serta penyelesaian masalah secara patut.
Salam,
|
PHK dan pengunduran diri
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/phk-dan-pengunduran-diri-cl7054/
|
Admin hukum online saya seorang karyawan permanent yang bekerja baru sekitar 6 tahun ditempat saya bekerja sekarang. tanggal 08 Juni kemarin seorang direktur tempatku bekerja menawarkan saya untuk pindah ke cabang lain berlokasi di Soroako. Ketika saya bertanya mengenai benefit apa yang saya dapat, jawabannya adalah sama seperti disini (hanya gaji + transport + makan + overtime jika ada). lalu saya katakan bahwa di sana biaya hidup tinggi, selain itu saya terangkan bahwa saya punya keluarga dan tempat tinggal di lokasi saya bekerja sekarang. Jika saya pindah ke soroako saya juga katakan itu sama saja dengan saya bunuh diri (menghitung gaji saya sekarang) lalu ketika saya tanyakan bagaimana jika pilihan saya adalaha menolak, maka jawaban dari direktur saya bahwa posisi saya akan dihapus. lalu ketika saya menanyakan bagaimana hitungannya, jawabannya adalah dianggap mengundurkan diri. Saya meminta waktu berfikir 2 hari. pertanyaan saya: 1. bisakah perusahaan menganggap sebagai pengunduran diri jika saya menolak tawaran itu dengan jawaban yang realistis tadi... 2. Cara apakah yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hak saya? (dalam hal ini saya tidak ingin diberhentikan karena alasan perusahaan yang mengkategorikan saya mengundurkan diri). setelah saya baca UU no 13 th 2003 juga mengenai peraturan perusahaan tempat saya bekerja, maka saya tidak menemukan jika menolak dipindahkan akan dianggap mengundurkan diri. terima kasih..
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) memang tidak mengatur bahwa salah satu alasan pengunduran diri adalah karena penolakan kebijakan mutasi oleh perusahaan. Oleh karenanya, Saudara dapat merujuk pada ketentuan pada peraturan perusahaan, perjanjian kerja, dan atau perjanjian kerja bersama.
Biasanya, kebijakan memutasi karyawan adalah hak prerogratif perusahaan. Oleh karenanya tak jarang perusahaan mencantumkan ketentuan bahwa *pekerja harus bersedia ditempatkan di manapun* di dalam peraturan perusahaannya atau di dalam perjanjian kerja. Tak jarang juga ada perusahaan-perusahaan tertentu yang mencantumkan ketentuan sanksi bagi pekerja yang menolak dimutasi. Dengan ketentuan itu selintas terlihat bahwa pekerja harus mengikuti kebijakan perusahaan dalam hal mutasi kerja.
Namun demikian, pasal 31 dan pasal 32 UUK memberikan hak dan kesempatan kepada pekerja untuk ditempatkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan pekerja. Dengan demikian, seharusnya perusahaan juga harus memperhatikan bakat, minat, dan kemampuan seorang pekerja sebelum yang bersangkutan dimutasi.
Mengenai kasus Saudara yang akan dimutasi ke luar kota tetapi tidak mendapatkan tunjangan, Saudara bisa merujuk pasal 88 ayat 1 UUK yang menyebutkan bahwa setiap pekerja atau buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ditambah lagi ketentuan pasal 15 ayat 1 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan suatu ketentuan dalam perjanjian pekerja-pengusaha yang merugikan kepentingan pekerja akan menjadi batal menurut hukum.
Dengan demikian, ketika saat ini Saudara mendapatkan penghasilkan yang layak, maka ketika dipindahkan pun Saudara seharusnya mendapatkan penghasilan yang layak pula. Untuk masalah penghidupan yang lebih layak kita bisa merujuk ke Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 17 Tahun 2005.
Jika perusahaan menyatakan Saudara dianggap mengundurkan diri karena tidak mau dipindahkan maka Saudara bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di daerah tempat Saudara bekerja. Sebelum ke sana, Saudara harus berusaha menyelesaikan masalah ini secara bipartit (antara Saudara dengan pengusaha) dan tripartit (antara Saudara, pengusaha, dan pihak ketiga antara lain [mediator dari dinas tenaga kerja](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20218&cl=Berita), [konsiliator,](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20219&cl=Berita) atau [arbiter](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20220&cl=Berita)).
|
Mohon Bantuan Penyelesaian
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mohon-bantuan-penyelesaian-cl6935/
|
1. Pada tahun 1982 saya mengajukan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) ke Bank �B� Wilayah Pasar Kepandean Palembang guna perkembangan usaha saya dengan menjaminkan surat-surat berharga berupa surat tanah berikut bangunannya yang terletak di Jl. Silaberanti Rt.04 No.13 Kel. Silaberanti Palembang. Surat-surat tersebut terdiri dari :
� Surat Pengakuan Hak yang didaftarkan di kantor Lurah 8 ULU dengan No.35/4/82 tanggal 10 Maret 1982 dan Camat Seb. ULU I dengan No.111/IT/82 tanggal 10 Maret 1982.
� � Gambar Situasi dengan No.1802/1982 tanggal 10 April 1982.
� � Surat Penunjukan No.026/UTR/82 tanggal 14 September 1982 dari Walikota Madya Kepala Daerah Tk.II Kodya Palembang.
2. Pada tanggal 23 Mei 1988 Bank �B� mengirim surat kepada saya dengan nomor surat No.PSK/3/783/R yang menyatakan bahwa sisa pinjaman saya sebesar Rp.2.721.525,- dan sesuai dengan petunjuk Bank �B� tersebut yang tercantum didalamnya bahwa saya disarankan untuk menjual sebagian jaminan atau kekayaan lainnya guna melunasi pinjaman tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1993 saya menjual sebagian tanah saya dan menyetorkannya ke bank �B� Cabang Musi sebesar Rp.1.025.000,- guna pembayaran pinjaman KMKP saya. Sisa pinjaman KMKP yang terakhir adalah Rp.1.700.000,-
3. Pada tanggal 12 Mei 2008 saya menyetor kembali ke Bank �B� Cabang Musi sebesar Rp.1700.000,- guna melunasi sisa pinjaman KMKP saya yang terakhir. Setelah itu saya datang dan meminta surat jaminan saya kepada pihak Bank �B�/SKC Jl. Jendral Sudirman Cabang Palembang, ternyata surat-surat berharga saya belum dapat diambil dengan alasan sudah lama sekali dan kini entah ada dimana. Kemudian sisa pinjaman saya dinyatakan belum mencukupi setelah dihitung dengan simulasi sebesar Rp.14.002.079,- terhitung sejak tahun 1984 sampai dengan tahun 2008. Saya sangat terkejut sekali mendengar penjelasan Bapak Indra dari pihak Bank �B�/SKC Jl. Jend. Sudirman tersebut. Darimana beliau mengambil hitungan sebesar itu.
4. Kewajiban saya selaku nasabah sudah saya laksanakan dengan melunasi kredit, kewajiban pihak Bank �B� untuk mengembalikan surat-surat jaminan saya tanpa ada persyaratan lainnya. Saya meminta dokumen penyelesaian dari pihak Bank �B�, termasuk surat-surat anggunan saya.
5. Saya tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa. Mohon kiranya Bapak bisa membantu saya. Terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Dalam kasus yang Bapak hadapi ini perlu dilihat kembali perjanjian kredit atau ketentuan-ketentuan yang harus Bapak penuhi pada saat Bapak mengajukan permohonan kredit, ada beberapa hal yang perlu Bapak perhatikan yaitu:
1. Berapa lama jangka waktu kredit yang diberikan? Mengingat KMKP diberikan dengan jangka waktu maksimal 5 tahun termasuk masa tenggang 1 tahun dan Bapak baru melunasi kredit tersebut setelah kurang lebih 26 tahun, apakah selama kurun waktu 26 tahun tersebut tidak ada pembicaraan atau pemberitahuan dari Bank mengenai status kredit Bapak?
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000[Lihat Semua Kelas](https://learning.hukumonline.com/)
2. Selama jangka waktu kredit dan sampai saat Bapak melakukan pelunasan apakah Bapak rutin melakukan pembayaran atas utang pokok dan bunga sesuai dengan waktu yang ditentukan? Karena apabila terjadi tunggakan angsuran/pelunasan utang pokok maupun bunga, maka Bank akan mengenakan bunga tambahan;
3. Sejak tahun 1990 KMKP sudah ditiadakan dengan dikeluarkannya Paket Kebijaksanaan Januari 1990, apakah ada pemberitahuan dari pihak Bank mengenai status kredit Bapak sehubungan dengan hal tersebut?
Langkah yang sebaiknya Bapak lakukan adalah:
1. Menanyakan lebih lanjut hal-hal tersebut kepada Pihak Bank dan meminta informasi yang selengkapnya mengenai status kredit Bapak;
2. Apabila Bapak telah mengikuti seluruh ketentuan yang diatur dalam perjanjian kredit (yang diberikan oleh Bank) dan melakukan seluruh kewajiban sesuai aturan yang telah ditentukan, maka Bapak berhak menuntut pengembalian seluruh jaminan yang telah diberikan kepada Bank;
3. Melakukan gugatan ke pengadilan untuk meminta kembali hak – hak jaminan dari Bank.
|
pembagian harta warisan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pembagian-harta-warisan-cl7080/
|
saya adalah empat bersaudara. ayah saya tlh meninggal dunia & meninggalkan hata warisan berupa sebidang tanah beserta rumah, yg saat ini dihuni oleh ibu dan kakak saya yg nomor 3. Ibu & kami berempat telah sepakat bhw tanah & rumah yg skrg dihuni nantinya akan diberikan kpd kakak yg nmr 3. Dg kesepakatan itu kakak nmr 3 akan merehab rmh itu..dan ingin mendapatkn kepastian bhw kami bertiga & ibu tidak akan meminta rumah yg tlh direhab tsb..langkah apa yg bs kami perbuat utk memberikan kepastian hukum kpd kakak ke 3, bhw kami tdk akan mmeminta rumah dan tanah kembli..trm ksh ats bantuannya.
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan.
Untuk memberikan kepastian hukum kepada kakak ketiga, maka Anda dapat membuat perjanjian yang menyebutkan bahwa Anda dan ahli waris lainnya tidak akan meminta tanah dan rumah yang telah direhab tersebut. Perjanjian tersebut akan menjadi alat pembuktian tertulis bagi kakak Anda atau pihak lain yang memiliki hubungan hukum dengan tanah dan rumah tersebut.
Perjanjian tersebut dapat berupa akta otentik atau pun akta di bawah tangan. Di dalam KUHPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai Pasal 1880. Akta otentik, yang dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim. Dalam kata lain, sebuah akta otentik dianggap sebagai benar selama tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
Menurut Pasal 1857 KUHPerdata, jika tanda tangan yang ada pada akta di bawah tangan diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli waris dan orang-orang lain yang mendapatkan hak darinya.
Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat.
|
Penuntutan Merek terdaftar
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/penuntutan-merek-terdaftar-cl6930/
|
Pd Mei'08 saya mendaftarkan suatu merek dan diterima oleh dept.Haki dgn biaya resmi Rp.450.000,-.Pd Des'08 saya mulai produksi terbatas utk test pasar atas dasar Surat Permohonan Pendaftaran Merek yg saya peroleh dari dept.Haki. Namun pd Februari'09 saya diadukan ke pihak kepolisian RI oleh pemegang merk terdaftar dgn tuduhan pemalsuan merek berdasarkan UU Merek pasal 91 yakni: persamaan pada pokoknya. Mohon penjelasannya : a. Apakah saya bersalah? sedangkan permohonan saya belum pernah ditolak oleh dept.Haki sejak Mei'08 sampai saat ini. b. Apakah pemegang merek terdaftar dpt serta merta mengadukan saya ke pihak kepolisian RI tanpa memberikan teguran ataupun keberatan lebih dahulu ? c. Upaya apa yg mesti saya lakukan? saya menginginkan penyelesaian masalah ini secara damai. terima kasih atas penjelasannya.
|
## ULASAN LENGKAP
1. Pemalsuan adalah tuduhan yang sangat serius. Karena itu, kalau Saudara merasa tidak bersalah, Saudara harus dapat menunjukkan bukti bahwa Saudara tidak memiliki niat jahat dan tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan tersebut. Dalam hukum merek sendiri, itikad baik adalah suatu keharusan dalam mengajukan permohonan. Jika pemeriksa merek dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) memandang Saudara tidak memiliki itikad baik, maka pendaftaran merek Saudara pasti ditolak. Belum adanya keputusan dari DJHKI dapat terjadi karena permohonan Saudara mungkin masih dalam tahap pemeriksaan. Yang dapat memutuskan apakah Saudara bersalah atau tidak, adalah pengadilan. Saya juga tidak bisa menganalisis secara komprehensif kasus Saudara, karena fakta yang Saudara berikan sangat minim.
2. Pemegang merek terdaftar bisa saja membuat pengaduan ke polisi tanpa memberikan teguran ataupun keberatan.
3. Dalam proses hukum acara pidana tidak ada aturan mengenai perdamaian. Tetapi, karena sifat delik ini adalah aduan, maka Saudara dapat berunding agar pihak yang mengadukan Saudara tersebut bersedia mencabut pengaduannya. Namun, jika kasus ini berlanjut, satu hal yang cukup penting Saudara perhatikan adalah unsur kesengajaan. Saudara harus dapat menunjukkan secara meyakinkan bahwa Saudara tidak memiliki kesengajaan untuk menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain.
|
Kartu Kredit
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kartu-kredit-cl6842/
|
Salah satu merchant/hotel mengambil dana dari kartu kredit saya tanpa persetujuan. Mereka mengaku khilaf dan sanggup mengembalikan dana yang diambil.Namun sampai sekarang belum dilaksanakan. Adakah tidakan hukum yang bisa saya lakukan dan ini termasuk pelanggaran pasal berapa perdata? Terimakasih Edy
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan.
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak pada tempatnya tentunya akan membuat orang dirugikan. Dalam hal ini Anda merasa dirugikan karena pihak hotel telah mengambil dana dari kartu kredit Anda tanpa persetujuan.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, Kami perlu mengetahui apakah pada saat itu Anda menjadi tamu pada hotel tersebut atau tidak? Karena informasi terkait itu tidak Anda sampaikan dalam pertanyaan, maka saya berasumsi, Anda tidak menjadi tamu pada hotel tersebut, namun terhadap kartu anda dilakukan pendebetan oleh hotel tersebut (kita sebut saja hotel YY).
Tapi, persoalan menjadi tidak jelas lagi, ketika Anda menyampaikan bahwa pihak hotel mengaku khilaf dan bersedia untuk mengembalikan dana yang sudah diambilnya dari kartu Anda. Anda juga tidak menyampaikan dalam dengan cara apa pihak hotel menyampaikan kesanggupannya untuk mengembalikan dana yang sudah diambilnya dari kartu kredit Anda. Apakah dalam bentuk tertulis; verbal/lisan dengan bertatap muka, ataukah melalui telepon?
Lepas dari itu, bila Anda ingin menggugat Hotel YY secara perdata, maka Anda dapat menggunakan pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum. Namun demikian, demi kelancaran proses hukum yang akan Anda tempuh, Anda harus memiliki bukti lain selain bukti pengambilan dana dari kartu kredit milik Anda. Misalnya, Anda dapat mencari tahu nama pihak hotel yang sebelumnya menyatakan kekhilafan serta kesanggupannya untuk mengembalikan dana Anda, dan, apabila ada, surat-menyurat selama proses menelusuri telah terjadinya perbuatan pihak Hotel YY yang merugikan Anda.
|
tenaga kontrak
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/tenaga-kontrak-cl7040/
|
Selamat siang, saya ingin mengetahui, apabila ada tenaga kontrak yang telah bekerja lebih dari 7 tahun 1 perusahaan & belum ada tanda-tanda untuk pengangkatan, bisakah tenaga kontrak tsb melakukan tuntutan hukum thd persudahaan tsb, tuntutan hukum apakah yg dikenakan untuk perusahaan tsb? sebelumnya saya haturkan terima kasih atas penjelasannya
|
## ULASAN LENGKAP
Pekerjaan kontrak dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (**UU Ketenagakerjaan**) dikategorikan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yaitu perjanjian yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu;
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; dan
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru , kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan.
PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui. Pembaharuan kerja ini hanya dapat diadakan setelah melebihi tenggang waktu 30 hari setelah PKWT yang lama berakhir dan hanya boleh dilakukan 1 kali untuk waktu paling lama 2 tahun. Menurut pasal 59 ayat 4 UU Ketenagakerjaan, perjanjian waktu tertentu yang didasarkan atas waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Berdasarkan uraian di atas, Anda perlu memastikan dulu apakah jenis pekerjaan Anda termasuk dalam kategori yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka jenis pekerjaan Anda sudah termasuk dalam jenis pekerjaan tetap dan perjanjian kerja Anda menjadi batal demi hukum. Karena itu pula, status Anda sudah menjadi pegawai tetap sejak perpanjangan kontrak yang kedua kalinya atau ketika Anda menandatangani kontrak ketiga.
Dalam UU Ketenagakerjaan ada ketentuan yang menyatakan bahwa jika PKWT tidak memenuhi ketentuan pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), maka demi hukum perjanjiannya berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan pekerja/buruhnya menjadi pegawai tetap.
Agar hak-hak Anda lebih terjamin, maka Anda berhak meminta surat pengangkatan sebagai pekerja tetap kepada perusahaan tempat Anda bekerja. Apabila perusahaan menolaknya, Anda dapat melaporkan hal tersebut kepada Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudinaker) di tingkat kabupaten/kota untuk minta dimediasi. Pihak Sudinaker akan mengeluarkan anjuran yang bisa jadi menerima atau menolak permohonan Anda. Kalau permohonan Anda diterima, tapi perusahaan tidak melaksanakan anjuran Sudinaker untuk mengangkat Anda sebagai pekerja tetap, Anda bisa membawa persoalan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan jenis kasus perselisihan hak.
|
Hak Pengeloaan Kawasan Perumahan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-pengeloaan-kawasan-perumahan-cl6983/
|
Beberapa tahun lalu kami membeli rumah di suatu kawasan (kompleks) perumahan, dimana di dalam dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli(PPJB) tercantum salah satu pasal berbunyi: "Dengan ditandatanganinya PPJB ini maka pembeli memberikan hak tanpa bisa dicabut kepada pengembang untuk pengelola lingkungan kawasan perumahan ini. Masalahnya sekarang tiap tahun iuran pengelolaan setiap tahun semakin mencekik tanpa bisa dikompromikan, dan juga saluran air bersih dikuasai/disediakan oleh pengelola sehingga kita tidak bisa/berani menunggak iuran pengelolaan karena ancaman air akan diputus. Posisi hukum apa yg terbuka untuk kami menyikapi hal ini ? (hs)
|
## ULASAN LENGKAP
Kepada Sdr. Hs,
Membaca keluhan Anda ada beberapa hal yang perlu dicermati, yaitu :
1. Tentang adanya penyerahan dari konsumen (dalam hal ini adalah Anda sendiri) kepada pengembang untuk mengelola lingkungan tempat tinggal;
2. Tentang adanya iuran pengelolaan yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh pengembang;
3. Tentang penguasaan saluran air bersih oleh pengembang dan bagi yang terlambat membayar maka saluran langsung diputus;
Ketika kita membeli suatu rumah memang ada kalanya pengelolaan lingkungan rumah dikelola oleh pengembang. Hal ini banyak terjadi, umumnya dalam suatu komplek atau lingkungan perumahan yang masih baru. Adapun tujuan pengembang, biasanya adalah untuk menjaga tatanan lingkungan serta kelestarian lingkungan mengingat masih minimnya konsumen yang tinggal pada lingkungan tersebut.
Namun hal di atas tidak serta merta menyebabkan pengembang dapat sesukanya menetapkan jumlah iuran pengelolaan, apalagi kalau sampai membuat Anda sebagai konsumen menjadi susah. Menyikapi hal ini, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan di antaranya:
(i) mempertanyakan pengembang tentang alasan ditetapkannya jumlah iuran pengelolaan yang sangat besar tersebut;
(ii) menyampaikan keberatan Anda tentang jumlah iuran yang ditetapkan oleh pengembang. Sebagai konsumen anda memiliki hak untuk di dengar keluhannya dan anda juga berhak untuk memperoleh penjelasan atau informasi yang sejelas-jelasnya tentang besarnya biaya iuran pengelolaan yang ditetapkan oleh pengembang.
Sedangkan bagi pengembang sendiri, adalah kewajibannya untuk menyampaikan dan/atau memberikan informasi atau penjelasan yang benar dan jelas atas pertanyaan serta keluhan yang disampaikan oleh anda sebagai konsumennya.
Sedangkan terkait dengan saluran air bersih, Saya menyarankan agar Anda tetap disiplin, namun demikian dapat juga Anda kemukakan kepada pengembang untuk tidak langsung memutusnya. Atau, setidaknya Anda dapat meminta pengembang memberikan tenggang waktu untuk membayar.
Selain itu, Anda dapat meminta pengembang untuk menciptakan suatu media atau cara yang dapat mengingatkan konsumennya untuk melakukan pembayaran iuran tepat waktu. Karena bisa jadi Anda terlambat membayar bukan karena berniat untuk tidak patuh pada aturan, namun karena kealpaan yang disebabkan oleh kesibukan pekerjaan dan hal-hal lain.
Salam,
|
Permohonan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Negeri
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/permohonan-penetapan-ahli-waris-di-pengadilan-negeri-cl6742/
|
Apa-apa saja syarat untuk mengajukan permohonan penetapan ahli waris di pengadilan negeri. Berapa lama prosesnya dan berapa biayanya. Untuk menghemat biaya, saya ingin mengurus sendiri, langkah-langkah apa saja yang harus saya lakukan di pengadilan negeri. Terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Permohonan penetapan ahli waris di Pengadilan Negeri (PN) biasanya diajukan oleh warga negara Indonesia selain penganut/beragama Islam. Prosesnya sendiri tidak lama, karena sifatnya yang permohonan. Namun, yang harus diingat dalam permohonan penetapan waris, seluruh ahli waris harus terlibat dalam permohonan tersebut.
Beberapa bukti yang harus dilengkapi adalah kutipan akta nikah, kartu keluarga, akta kelahiran anak, foto copy KTP seluruh pemohon, surat keterangan kematian, dan surat keterangan ahli waris dari lurah/kepala desa setempat. Jika memungkinkan anda bisa mengajukan saksi yang dapat menerangkan ihwal perkawinan dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
Setelah Anda melengkapi bukti untuk permohonan penetapan ahli waris, selanjutnya Anda dapat membuat permohonan yang ditujukan ke Ketua PN setempat yang berisi identitas (para) pemohon, alasan permohonan, dan petitum permohonan.
Demikian jawaban kami, semoga membantu Anda.
|
Soal Jual Beli Tanah dan Rumah
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/soal-jual-beli-tanahrumah-cl6931/
|
Pagi Pak. Saya mau�bertanya mengenai jual beli rumah/tanah. Saya punya sebidang tanah�dan bangunan. Pada awal tahun 2008 dibeli teman, karena kita percaya saja kita nggak pakai perjanjian. Kita sepakat dengan harga 150 juta. Kita juga sepakat pembayaran diangsur 2 kali dengan nominal pembayaran pertama 80 juta dan sisanya setelah sertifikat rumah itu ada karena masih menjadi agunan bank. Saya dan pembeli juga tahu hal itu. Ternyata kesepakatan pembayaran yang 80 juta itu nggak utuh 80 juta. Teman saya tersebut mengangsur juga sebanyak 3 kali. Karena saya rasa pembeli tidak beritikad baik, pada awal Desember 2008 saya buatkan surat kesepakatan di atas kertas segel dan ditandatangani dua belah pihak dan bermeterai. Saya minta dilunasi akhir Desember 2008, karena sertifikat saya sudah keluar dari bank bulan itu. Yang jadi persoalan, ternyata sampai bulan ini (Maret 2009) pembeli belum juga melunasi sisa pembayaran tersebut. Apa langkah yang sebaiknya saya lakukan? Atau mungkin langkah-langkah hukum apa yang boleh saya lakukan?
|
## ULASAN LENGKAP
Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebenarnya kami perlu mengetahui terlebih dahulu apakah tanah dan bangunan *aquo* (obyek jual beli) telah diserahkan dan dikuasai pembeli? Terlepas dari itu, menurut hemat kami, kelemahan penjual dalam kasus ini adalah melakukan transaksi jual beli barang tidak bergerak (tanah dan bangunan) tanpa Akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Dalam kasus ini, apabila obyek jual beli belum diserahkan dan belum dikuasai pembeli, maka uang (harga) jual-beli yang sudah diterima oleh penjual dapat dikembalikan kepada pembeli dan membatalkan semua kesepakatan yang ada.
Namun, apabila tawaran opsi pengembalian di atas tidak diterima dan obyek jual beli sudah diserahkan dan dikuasai oleh pembeli, maka penjual dapat menempuh opsi/jalur hukum dengan menggugat pembeli/penguasa tanah dan bangunan tanpa hak. Opsi hukum dapat diambil karena secara yuridis formal transaksi yang telah dilakukan oleh penjual kepada pembeli, tidak mengakibatkan peralihan hak atas tanah.
|
Pelanggaran Hak Cipta
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pelanggaran-hak-cipta-cl6846/
|
Untuk kepentingan suatu organisasi profesi, organisasi tersebut menerbitkan suatu surat keputusan berkaitan dengan pengadaan seragam organisasi. Dalam surat keputusan tersebut disebutkan pengadaan seragam dimaksud diserahkan kepada salah satu cabang organisasi ybs. Dalam surat tersebut juga termuat juga design batik yang dipergunakan untuk seragam. Dalam perjalanan waktu disebabkan karena adanya beberapa komplain dari anggota yang berkaitan pengadaan seragam tersebut, pengurus pusat organisasi tersebut menugaskan salah seorang pengurus untuk melaksanakan kegiatan pengadaan. Padahal dilain sisi belum ada pencabutan terhadap sk dimaksud. Persoalan mulai muncul kemudian, ternyata tanpa sepengetahuan pengurus lainnya salah seorang pengurus dari cabang yang ditunjuk dalam sk tersebut mendaftarkan paten atas design batik yang tertuang dalam sk atas nama pribadi ybs. Beliau beralasan bahwa yang membuat design tersebut adalah beliau sendiri. Awal bulan Desember 2008 persetujuan atas hak paten tersebut turun atas nama beliau. Bersenjatakan persetujuan tersebut beliau mengajukan tuntutan hukum atas pelanggaran hak cipta sebesar 5M rupiah terhadap pribadi pengurus yang tertunjuk melaksanakan pengadaan seragam tesebut. Yang menjadi pertanyaan kami :
1. Apakah design yang termuat dalam sk tersebut yang nota bene merupakan dokumen organisasi dapat di daftarkan sebagai Hak Cipta pribadi ?
2. Dapatkah dibenarkan apabila design tersebut menggunakan logo organisasi sementara pihak organisasi tidak mengijinkan, namun disatu sisi logo tersebut belum terdaftar sebagai Hak Cipta organisasi ybs. ?
3. Dapatkah diajukan tuntutan hukum atas pelanggaran hak cipta apabila dari informasi yang ada pengajuan kepemilikan hak cipta tersebut baru dilakukan pada September 2008 sedangkan pengadaan seragam yang menurut pendapat beliau telah melanggar ketentuan hak cipta tersebut dilaksanakan pada Mei 2008 ?
4. Wajarkah nilai tuntutan tersebut sementara nilai seragam yang diadakan amat jauh dari nilai tersebut, itupun semata-mata demi kelangsungan organisasi ?
5. Tindakan hukum apakah yang dapat dilakukan oleh pengurus ataupun pribadi tertuntut untuk permasalahan tersebut.
Sebenarnya permasalahan tersebut merupakan urusan intern organisasi namun sudah melebar ke hal-hal lain. Sebagai pihak yang tidak pernah berurusan dengan pengadilan / hukum pihak tertuntut merasa bingung sekali. Dan beliau memohon saran serta pendapat hukum online terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Atas perhatian serta bantuannya kami ucapkan terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan.
Berikut ini penjelasan kami:
1. Pihak yang dapat memperoleh Hak Cipta adalah Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Pencipta adalah orang yang secara langsung menciptakan. Sedangkan, Pemegang Hak Cipta mungkin bukan pihak yang menciptakan, tetapi memperoleh pengalihan Hak Cipta dari Pencipta. Dalam kasus ini perlu diperjelas terlebih dahulu, bagaimana asal muasal terciptanya desain batik tersebut. Apakah desain tersebut dipesan oleh organisasi profesi yang dimaksud atau merupakan kreasi pribadi seseorang. Dan bagaimana akhirnya desain tersebut diputuskan menjadi seragam dari organisasi ini. Yang jelas, SK (surat keputusan) suatu organisasi tidak dapat menjadi bukti kepemilikan atas suatu Ciptaan.
2. Sangat perlu untuk diingat bahwa untuk memperoleh Hak Cipta tidak perlu ada pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI). Hak Cipta sudah lahir secara otomatis saat Ciptaan selesai diwujudkan. Tetapi, pencatatan ke DJHKI sangat disarankan, apabila Saudara merasa perlu untuk menambah alat bukti saat terjadi sengketa mengenai Ciptaan itu. Dengan demikian, suatu logo organisasi yang belum dicatatkan di DJHKI tetap memiliki Hak Cipta dan pemegang hak cipta atas logo tersebut berhak melarang pihak lain menggunakannya tanpa izin.
3. Perlindungan Hak Cipta dimulai dari tanggal saat Ciptaan tersebut pertama kali diumumkan. Pengumuman yang dimaksud di sini adalah suatu waktu ketika suatu karya cipta diberitahukan/diumumkan oleh si Pencipta kepada pihak lain, yang bisa saja rekan sejawat, dan lain-lain. Dengan demikian, pemegang Hak Cipta boleh menggugat siapa saja yang menggunakan Ciptaan tanpa seizinnya yang dilakukan pada periode perlindungan hukum Hak Cipta yang dimiliknya.
4. Gugatan ganti rugi dalam lingkup perdata ada dua macam, yaitu gugatan ganti rugi material dan immaterial. Yang dimaksud material adalah kerugian riil yang diderita. Sedangkan, immaterial adalah kerugian non-riil yang diderita. Terhadap kerugian immaterial, jumlahnya tidak ada batasannya.
5. Kalau sudah terlanjur digugat, tidak ada pilihan selain menghadapi gugatan itu. Tetapi, upaya perdamaian tetap harus diupayakan. Saudara dapat mencari ahli hukum di bidang HKI yang netral untuk menjadi mediator dalam menyelesaikan kasus ini.
|
Jamsostek Dijadikan Jaminan Pinjaman
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/jamsostek-dijadikan-jaminan-pinjaman-cl6807/
|
Di Perusahaan tempat saya bekerja apabila bermaksud mengajukan pinjaman karyawan, pihak perusahaan selalu meminta kartu jamsostek untuk dijadikan sebagai jaminan pinjaman dengan maksud untuk mengantisipasi terhadap karyawan yang wanprestasi. Pertanyaan saya apakah Jamsostek dapat dijadikan jaminan pinjaman selain upah dalam hubungannya dengan seluruh peraturan jamsostek dan ketenagakerjaan, mohon jawabannya dengan menunjuk kepada ketentuan yang mengaturnya. Terimakasih atas kerjasamanya yang baik. Salam, Aharun Umarmiah
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara sampaikan.
Pertama, memperhatikan peraturan Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) tidak ada pasal yang mengatur mengenai jaminan pinjaman dimaksud. Kedua, apabila perusahaan Saudara telah memiliki Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang di dalamnya mengatur jaminan pinjaman dimaksud, maka PP atau KKB tersebut merupakan alas hukum untuk jaminan pinjaman tersebut.
Perlu Saudara ketahui bahwa Jamsostek telah memiliki program pinjaman modal kerja untuk peserta Jamsostek. Untuk keterangan lebih lanjut Saudara dapat menghubungi Kantor Jamsostek Setempat.
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat.
|
Surat Permohonan Maaf di Atas Materai
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/surat-permohonan-maaf-diatas-meterai-cl6955/
|
orang tua saya mengalami kasus pengancaman dan telah membuat BAP di polsek setempat,karena takut maka pelaku yg kami laporkan ke polisi tahu dan meminta maaf dengan pernyataan maaf diatas materai sekaligus juga saksi yang sebetulnya menjadi pokok penghasut sehingga tindak pidana pengancaman itu terjadi.pihak terlapor minta kami segera mencabut laporan di kepolisian,tetapi belum kami melakukan pencabutan BAP dikepolisian, intimidasi dan perasaan ketakutan kembali terjadi.apakah surat permohonan maaf tadi bisa dijadikan alat bukti bagi polisi bahwa orang tersebut benar bersalah?apakah yang sebaiknya kami lakukan?
|
## ULASAN LENGKAP
Karena kami tidak mengetahui dengan persis, jenis tindak pidana yang dijeratkan pada pelaku pengancaman tersebut, maka kami asumsikan bahwa pelaku dikenakan Pasal 369 ayat (1) *Wetboek van Strafrecht* (WvS/KUHPidana). Tindak pidana jenis ini merupakan tindak pidana yang, secara absolut, hanya dapat diproses berdasarkan aduan dari korban. Untuk menghentikan proses pidana ini diperlukan persetujuan korban untuk mencabut pengaduannya kepada pihak kepolisian. Namun penting diperhatikan ketentuan dalam Pasal 75 WvS (KUHP) yang terjemahannya berbunyi *orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan*
Mengenai surat permohonan maaf tersebut, menurut kami, surat tersebut dapat dijadikan indikasi awal bagi pihak kepolisian bahwa tindak pidana tersebut benar terjadi. Terlebih lagi, jika melihat kasus posisi Anda, maka sebaiknya Anda tidak mencabut pengaduan Anda sebelumnya kepada pihak kepolisian selama masih ada indikasi terlapor melakukan intimidasi terhadap Anda.
Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu Anda.
|
Kepailitan dalam Islam
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kepailitan-dalam-islam-cl7009/
|
Terdapat dalam surah dan ayat berapa yang memuat tentang kepailitan dan PKPU dalam Islam?
|
## ULASAN LENGKAP
**Jawaban**
Pada dasarnya Islam mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupan sosial, termasuk utang piutang. Ada beberapa ayat dalam al-Qur'an yang secara langsung menyinggung soal utang piutang. Penggalan Surat al-Baqarah ayat 283 menyebutkan *Hendaknya orang yang sudah dipercaya untuk berutang membayar utang-utangnya*.
Ada pula Hadits yang menyebutkan: *Barangsiapa berutang dengan maksud akan membayarnya kembali, Allah akan membayar atas nama-Nya, dan barangsiapa berutang dengan maksud memboroskannya, maka Allah akan menghancurkan hidupnya*.
Sepengetahuan kami, dalam fikih Islam kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta disebut *iflaas*. Orang yang pailit disebut *muflis*, sedangkan keputusan hakim yang menyatakan seseorang dalam keadaan pailit disebut *tafliis*. Kata *tafliis* sering diartikan sebagai larangan kepada seseorang bertindak atas hartanya. Larangan itu dibuat karena yang bersangkutan terbelit utang yang lebih banyak dari hartanya.
Pailit adalah kondisi bangkrutnya seseorang atau badan hukum. Dalam hukum positif Indonesia, yakni Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan debitor pailit. Berdasarkan Undang-Undang ini, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Surat al-Baqarah menyinggung beberapa hal terkait dengan utang piutang. Pertama, dalam utang piutang, jangan lupakan arti pentingnya dokumentasi alias pencatatan. Ayat 282 jelas menyebutkan *Hendaklah kamu menuliskannya* (utang piutang) *dengan benar*. Pada ayat yang sama, Allah mengingatkan kembali *Dan janganlah kamu enggan untuk menuliskannya*. Pencatatan perlu dilakukan lepas dari besar kecilnya jumlah utang.
Kedua, utang piutang dikaitkan dengan riba. Islam mengharamkan riba. Apakah dengan dasar ini, dilarang membungakan utang piutang? Mohon maaf, bukan kapasitas kami untuk menjawabnya. Sebaiknya Anda berkonsultasi dengan ustadz atau ulama di tempat Anda tinggal. Yang jelas Surat al-Baqarah ayat 276 menegaskan: *Allah menghapus berkah riba dan menambah berkah sedekah*.
Hal ketiga, berkaitan dengan pertanyaan Anda: apakah boleh dan dikenal PKPU dalam Islam? Dalam al Qur'an Surat Al Baqarah ayat 280, Allah menyatakan antara lain ..D*an jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan*.
Mudah-mudahan jawaban kami ini bermanfaat. Untuk memahami lebih lanjut masalah pailit dalam Islam, Anda bisa membaca buku M. Ali Hasan, *Berbagai Macam Transaksi dalam Islam* (RajaGrafindo Persada, 2003), atau buku-buku lain yang sejenis. Terima kasih....(Mys).
|
KUHD
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kuhd-lt4a0d23e29b891/
|
Apa isi Pasal 176 & Pasal 145 KUHD? Apakah masih berlaku sampai sekarang?
|
## ULASAN LENGKAP
Kedua pasal tersebut, pasal 145 dan pasal 176, termasuk kedalam pengaturan mengenai surat-surat berharga yang diatur dalam titel 6 dan titel 7 dari Buku I Kitab-kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Menurut ahli hukum (Polak, Scheltema) surat berharga itu surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah diperdagangkan atau dialihkan.
Kedua pasal di atas mengatur tentang surat wesel dan surat sanggup. Keduanya termasuk dalam jenis surat berharga yang bersifat atas tunjuk dan atas pengganti. Perbedaan antar keduanya, diantaranya adalah wesel termasuk golongan surat "perintah" untuk membayar, sedangkan surat sanggup merupakan surat kesanggupan bayar atau janji untuk membayar.
KUHD mengatur beberapa jenis instrumen surat berharga yang bisa diperdagangkan, bagaimana bentuknya dan karakteristik dari surat berharga tersebut. Instrumen ini cenderung sederhana agar mudah dimengerti maupun dialihkan. Untuk memastikan keduanya maka aturan KUHD bersifat "memaksa", alias mengikat bagi surat berharga dengan jenis yang diatur dan diterbitkan berdasarkan aturan dalam KUHD.
Namun, dengan berkembangnya dunia bisnis dan keuangan, jenis surat berharga yang beredar sekarang tidak terbatas pada yang diatur dalam KUHD. Aturan terhadap surat berharga ini pun beragam, bergantung pada jenis serta otoritas yang bersangkutan, misalnya instrumen pasar modal diatur spesifik oleh BAPEPAM dan otoritas bursa (Bursa Efek Jakarta/Surabaya). Banyak pula instrumen surat berharga lain yang sifatnya kontraktuil, diterbitkan berdasarkan pada kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian diantara mereka. Para pihak dapat mengatur sendiri jenis instrumennya, bisa berbeda dengan KUHD selama tidak menamakan instrumen tersebut wesel, surat sanggup atau jenis lainnya yang diatur dalam KUHD.
Untuk memahami lebih lanjut tentang persoalan Surat Berharga ini, kami sarankan untuk membaca buku Emmy P.Simanjuntak tentang Hukum Dagang Surat-surat Berharga, atau buku HMN Purwosutjipto tentang Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Hukum Surat Berharga.
Sepanjang pengamatan kami, sampai saat ini kedua pasal tersebut masih berlaku. Berikut teks dari kedua pasal tersebut (dikutip dari KUHD terjemahan R. Subekti)
**Pasal 145**
Penarik, seorang endosan atau seorang pemberi aval, mereka itu dengan membubuhkan dan menandatangani di dalam surat wesel akan sebuah clausule "tanpa biaya", atau "tanpa protes" atau clausule lain yang sama maksudnya, bisa membebaskan si pemegang dari kewajibannya membuat protes non akseptasi atau non pembayaran, untuk melaksanakan hak regresnya.
Clausule ini tidak membebaskan dia dari kewajibannya mengunjukkan surat wesel itu dalam tenggang waktu yang ditentukan dan untuk melakukan pemberitahuan.
Bukti telah dilalaikannya sesuatu tenggang waktu harus diberikan oleh orang yang mengemukakannya, sebagai upaya pembelaan.
Jika clausule itu dibubuhkan oleh penarik, maka inipun mempunyai akibat-akibatnya terhadap sekalian mereka, yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel; jika clausule itu dibubuhkan oleh seorang endosan atau pemberi aval, maka clausule ini hanya mempunyai akibat-akibatnya bagi endosan atau pemberi aval tersebut. Apabila pemegang, biar penarik telah membubuhkan clausulenya, masih membuat protesnya, maka segala biaya protes adalah atas tanggungan dia. Apabila clausule itu berasal dari seorang endosan atau seorang pemberi aval, make segala biaya protes, kalaupun prates ini telah dibuatnya, boleh ditagihkan kepada sekalian mereka, yang tandatangannya terdapat dalam surat-wesel itu.
**Pasal 176**
Seberapa jauh tidak taksesuai dengan sifat surat sanggup, makaa berlakulah terhadapnya segala ketentuan mengenai surat wesel tentang:
endosemen (pasal 110-119);
hari bayar (pasal132-136);
hakregres dalam hal non pembayaran (pasal 142-149, 151-153);
pembayaran dengan perantaraan (pasal 154, 158, 162);
turunan surat wesel (pasal 166 dan 167);
surat-wesel yang hilang (pasal 167a);
perubahan (pasal 168);
daluwarsa (pasal 168a dan 169-170);
hari raya, menghitungnya tenggang waktu dan larangan penangguhan hari (pasal 171, 171a, 172 dan 173).
Demikianpun berlakulah terhadap surat sanggup itu segala ketentuan tentang surat wesel yang harus dibayar ditempat tinggal seorang ketiga atau ditempat lain daripada tempat si tertarik mempunyai domisilinya (pasal 103 da 126), tentangclausule bunga (pasal 104), tentang adanya selisih dalam penyebutan mengenai jumlah uang yang harus dibayar (pasal 105), tentang akibat-akibat dari penempatan tandatangan dalam hal tak adanya keadaan-keadaan sebagaimana dimaksud oleh pasal 106, dari penempatan tandatangan oleh seseorang, yang bertindak dengan tidak berhak atau yang melampaui batas haknya (pasal 107) dan tentang surat wesel dalam blanko (pasal 109)
Demikianpun berlakulah juga terhadap surat sanggup itu segala ketentuan tentang aval (pasal 129-131); apabila sesuai dengan ketentuan pasal 130 ayat terakhir, aval itu tidak sebutkan untuk siapa ia diberikannya, maka iapun dianggap diberikan atas tanggungan penandatangan surat sanggup.
Semoga bermanfaat.
|
Penghinaan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/penghinaan-cl6865/
|
mohon dijelaskan bagaimana unsur-unsur penghinaan dalam pasal 310 KUHP? apakah badan hukum bisa terhina? terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Berdasarkan terjemahan WvS (*Wetboek van Straftrecht*) versi dari Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988, maka terjemahan Pasal 310 ayat (1) WvS berbunyi *Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah*.
Pasal 310 ayat (2) menurut terjemahan WvS versi Tim Penerjemah BPHN, Tahun 1988 adalah *jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah*.
Ada beberapa unsur yang harus dicermati dalam Pasal 310 ayat (1) yaitu: Unsur *kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal* dan unsur *maksud untuk diketahui umum*. Sementara unsur tambahan dalam Pasal 310 ayat (2) adalah unsur *dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum*.
Dalam doktrin tindak pidana penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 WvS (KUHP) maka badan hukum privat tidak bisa menggunakan ketentuan ini, namun bisa menggunakan ketentuan dalam Pasal 1372 BW (KUHPerdata).
Untuk informasi lebih lanjut, doktrin hukum tentang penghinaan di Indonesia tidak memisahkan antara opini dengan fakta dan juga tidak mempertimbangkan sama sekali kebenaran sebuah fakta. Asalkan sebuah pernyataan dianggap menghina oleh korban, maka unsur *kesengajaan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal* sudah dapat terpenuhi. Selain itu, berdasarkan pendapat MA melalui putusan No. 37 K/Kr/1957 tertanggal 21 Desember 1957 yang menyatakan bahwa *tidak diperlukan adanya* animus injuriandi *(niat kesengajaan untuk menghina).*
Menurut Satrio, unsur kesengajaan bisa ditafsirkan dari perbuatan atau sikap yang dianggap sebagai perwujudan dari adanya kehendak untuk menghina *in casu* penyebarluasan dari pernyataan yang menyerang nama baik dan kehormatan orang lain. Hal yang menarik dari unsur kesengajaan ini adalah tindakan mengirimkan surat kepada instansi resmi yang isinya menyerang nama baik dan kehormatan orang lain sudah diterima sebagai bukti adanya unsur kesengajaan untuk menghina.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat
|
Sudah Cukupkah Bukti untuk Delik Aduan Perzinahan?
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/sudah-cukupkah-bukti-untuk-delik-aduan-perzinahan-cl6787/
|
Pengasuh Yth, bila seorang suami mau melaporkan sang istri & PIL nya atas tuduhan perzinahan (pasal 284 KUHPidana) hanya berdasarkan alat2 bukti isi email dari istri, sms dari istri juga email dari PIL nya ke suami tapi semua itu tidak mencantumkan jelas2 telah berzina tetapi hanya jelas membuktikan bahwa mereka telah berhubungan dengan mesra & pengakuan sms sang istri juga mengatakan bahwa dia telah menyesal atas kejadian dengan PIL nya (tetapi tidak diterangkan dengan jelas). Bahwa saksi juga tidak ada, hanya pengakuan lisan sang istri kepada suaminya. Cukupkah bila hal tsb semua sebagai Delik Adua Perzinahan?..Apakah juga bisa PIL istrinya melapor balik atas pencemaran atau fitnah kepada dirinya kepada sang suami, krn sang PIL istri mengetahui bahwa sang suami tsb jelas2 tidak mempunyai alat bukti yang membuktikan perzinahan tsb, hanya hubungan saja. Terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Ketentuaan Pasal 284 ayat (1) huruf b KUHPidana menyatakan Diancam Pidana penjara paling lama sembilan bulan seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (*overspel*), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya menurut ***Van Dale's Groat Woordenboek Nederlanche Taag****,* kata *overspel* berarti *echbreuk, schending ing der huwelijk strouw"*yang kurang lebihberarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Sedangkan, **Noyon-Langemayer** menegaskan bahwa *overspel* hanya dapat dilakukan oleh orang yang menikah. Sedangkan **putusan *Hooge Raad*** **tanggal 16 Mei 1946** lebih menekankan *overspel* adalah terjadi persetubuhan di luar izin dari suami/istri.
Sedangkan menurut **R. Soesilo,** zinah adalah persetubuhan suka sama suka yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Kemudian, secara lebih rinci disebutkan yang dimaksud persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus masuk dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani. Pasal 284 termasuk dalam delik aduan.
Sejak dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, email (pesan eletronik) dan SMS sebagai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan suatu perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan alat bukti yang tertuang dalam Pasal 184 KUHP. Sedangkan, keterangan istri baru dapat diakui sebagai alat bukti yang sah apabila sang istri telah menjadi terdakwa dan menyatakan perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Bukti tersebut harus mengarah pada terjadinya persetubuhan.
Bila Anda mengajukan pengaduan tanpa disertai dengan bukti-bukti yang mendukung atau mengarah telah terjadi persetubuhan yang menjadi dasar terjadinya *overspel*, maka Anda dapat dikategorikan telah mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa sehingga kehormatan atau nama baik seseorang terserang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 317 KUHP, yang dikenal sebagai fitnah.
|
Cuti Melahirkan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/cuti-melahirkan-cl6848/
|
Menurut PP Nomor 24 Tahun 1976, cuti hanya diberikan kepada PNS/CPNS yang masa kerjanya minimal 1 tahun. Bagai mana dengan cuti melahirkan bagi CPNS yang masa kerjanya belum 1 tahun? Apakah ada peraturan lain yang mengaturnya? Mengingat tidak ada larangan bagi CPNS untuk hamil, sedangkan melahirkan bukan suatu hal yang bisa diatur waktunya.
|
## ULASAN LENGKAP
Ketentuan tentang cuti bagi PNS diatur dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1974 jo. UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok�Pokok Kepegawaian yang menyatakan bahwa setiap PNS berhak atas cuti.
Ketentuan Cuti untuk PNS diatur lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP tersebut Cuti didefinisikan dalam Pasal 1 sebagai keadaan tidak masuk kerja yang diizinkan dalam waktu tertentu.
Cuti Bersalin diatur dalam Bagian Kelima terutama dalam Pasal 20 PP No. 24 Tahun 1976 yang menyatakan bahwa (1) Untuk mendapatkan cuti bersalin, Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang memberikan cuti; dan (2) Cuti bersalin diberikan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang memberikan cuti.
Dalam pengertian ini, maka cuti bersalin tidak memerlukan masa waktu kerja tertentu dan hanya membutuhkan izin dari atasan yang berwenang dan atasan tersebut memberikan izin cuti terhadap PNS perempuan yang hendak melahirkan
Demikian jawaban kami semoga dapat membantu Anda.
|
adopsi keponakan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/adopsi-keponakan-cl6933/
|
saya ingin mengadopsi keponakan usia 3th (sudah saya asuh dari usia 1 thn dan semata-mata utk kesejahteraan anak dan tidak memutus silaturrahmi)& kedua orangtua kandung si anak telah bercerai 2 thn yg lalu dan sekarang masing2 telah menikah), syarat2 sudah saya lengkapi : 1. surat permohonan, 2. surat pernyataan ibu kandung, 3. surat keterangan kepolisian, 4. surat kesehatan & bebas narkoba 5. surat keterangan d/r perusahaan bekerja & slip gaji, 6. saksi sudah siap (kakek si anak/mertua dan abang mertua), 7. fotokopi kk/ktp/dll saya sudah kepengadilan negeri, tp dimentahkan karena katanya surat permohonan saya tidak sesuai dan harus melalui yayasan dan lainnya. pertanyaan saya : 1. bagaimana langkah selanjutnya yang harus saya lakukan ? 2. apakah lebih mudah di PA atau PN dari segi proses dan biaya ? Terima Kasih. Hernawan
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih untuk pertanyaan yang Anda sampaikan kepada kami.
Berdasarkan uraian yang Anda sampaikan, kami dapat simpulkan bahwa adopsi atau pengangkatan anak yang akan Anda lakukan termasuk dalam kategori pengangkatan anak secara langsung. Pengangkatan anak secara langsung adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada langsung dalam pengasuhan orang tua kandung.
(1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak secara langsung adalah sebagai berikut (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak):
1. Persyaratan menyangkut anak yang akan diangkat (pasal 12):
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
2. Persyaratan menyangkut calon orang tua angkat (pasal 13):
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
3. Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri Sosial (pasal 16).
(2) Pengajuan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan (pasal 20).
- Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.
- Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat itu berada (berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983). Pengadilan Agama juga dapat memberikan penetapan anak berdasarkan hukum Islam (berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama).
- Untuk proses pemeriksaan oleh pengadilan, Anda perlu mempersiapkan sedikitnya dua orang saksi untuk memperkuat permohonan Anda dan meyakinkan pengadilan bahwa Anda secara sosial dan ekonomis, moril maupun materiil mampu menjamin kesejahteraan anak yang akan diangkat.
- Informasi lainnya terkait proses dan biaya, Anda dapat menanyakan kepada panitera di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama terdekat.
Adapun mengenai penolakan dari pihak pengadilan seperti yang Anda sampaikan, kami tidak menemukan aturan yang mengharuskan permohonan diajukan melalui yayasan. Lain halnya dengan "pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak". Pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak adalah pengangkatan anak yang dilakukan oleh calon orang tua angkat terhadap calon anak angkat yang berada dalam lembaga pengasuhan anak yang ditunjuk oleh Menteri Sosial. Dalam hal ini permohonan pengangkatan anak diajukan melalui yayasan sosial yang mengasuh calon anak angkat dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan yayasan sosial tersebut.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
|
daftar produk hukum indonesia
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/daftar-produk-hukum-indonesia-cl6783/
|
Yth. hukumonline.com mengapa produk hukum yang ada di situs ini hanya dimulai dari tahun 1950-an, bagaimana dengan produk hukum tahun 1945 s/d 1949? Setidaknya daftarnya saja. Demikian dari saya semoga hal ini dapat membuat hukumonline.com menjadi situs yang terlengkap.
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan.
Produk hukum yang ada di hukumonline.com hanya dimulai dari tahun 1950-an karena produk hukum yang berada di bawah tahun tersebut umumnya merupakan peraturan-peraturan yang bersifat Kolonial. Kami berusaha memasukkan peraturan-peraturan tersebut, bukan hanya 1945-1950, tetapi juga sejak zaman Belanda (pra-kemerdekaan). Namun, dalam melakukan itu kami dihadapkan pada beberapa persoalan antara lain:
- Peraturan-peraturan tersebut masih berbahasa Belanda.
- Keberlakuan peraturan-peraturan tersebut hingga saat ini masih sulit divalidasi.
- Kebutuhan masyarakat akan peraturan-peraturan tersebut melalui permintaan ke hukumonline masih minim, sehingga belum menjadi prioritas.
Di luar itu, produk-produk hukum termasuk produk hukum tahun 1945 seperti Undang-Undang Dasar 1945 dapat Anda akses jika Anda sudah memiliki *username* dan *password* hukumonline. Untuk mengakses data yang lebih spesifik Anda harus menjadi member hukumonline dengan ketentuan dan syarat yang dapat Anda klik di [sini](https://www.hukumonline.com/product_detail.asp?id=13663&cl=Legal%20Database%20-%20Online) atau mengirimkan e-mail ke layanan[at]hukumonline.com
Kami sangat menghargai masukan dari Anda, dan mudah-mudahan hukumonline.com dapat terus meningkatkan kualitas dan menyajikan pengetahuan hukum untuk Anda.
|
Lex spesialis/Putusan PONARI
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/lex-spesialisputusan-ponari-cl6926/
|
Apakah UU No 10/2008 Tentang Tindak Pidana Pemilu dapat menabrak UU No 8/1981 Tentang KUHAP pasal 67 jo pasal 233!! Putusan PN memBEBASkan Terdakwa TETAPI Jaksa mengajukan BANDING dan diputus bersalah di PT !?
|
## ULASAN LENGKAP
Mengenai hukum acara pidana pemilu dalam UU No. 10 Tahun 2008 memang terdapat beberapa kejanggalan, khususnya mengenai apakah ketentuan-ketentuan dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) mengikat juga bagi hukum acara pidana pemilu. Dalam UU 10/2008 memang terdapat pengaturan yang seolah-olah menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam KUHAP berlaku juga untuk penegakkan pidana pemilu, yaitu dalam pasal 254 ayat (1).
Namun, jika dicermati lebih jauh lagi pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008 tersebut, maka terkesan seolah-olah ketentuan KUHAP yang berlaku bagi penegakkan hukum pidana pemilu hanya yang terkait dengan proses acara di pengadilan negeri atau pengadilan tingkat pertama. Secara lengkap rumusan pasal 254 ayat (1) UU tersebut berbunyi:
***Pengadilan negeri*** *dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.*
Dengan bunyi rumusan seperti pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008 tersebut maka berarti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHAP hanya mengikat sepanjang ketentuan-ketentuan yang mengatur proses pemeriksaan perkara di tingkat pertama atau pengadilan negeri, dan tidak diatur dalam UU No. 10/2008 tersebut. Sementara itu, ketentuan-ketentuan dalam KUHAP lainnya yang mengatur hal-hal di luar pemeriksaan di tingkat Pengadilan Negeri atau peradilan tingkat pertama, seperti tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, upaya-upaya paksa, upaya hukum dan lain sebagainya tidak mengikuti KUHAP.
Pengaturan sebagaimana pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008 di atas sangatlah tidak lazim. Umumnya pengaturan mengenai pengecualian atas KUHAP dalam pidana-pidana tertentu diletakkan pada bagian awal pengaturan hukum acara pidana tertentu tersebut, dengan rumusan yang intinya menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini (*bandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD yang lama, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KRDT serta seluruh undang-undang lainnya yang di dalamnya mengatur ancaman pemidanaan*). Dengan model pengaturan seperti ini maka KUHAP menjadi *lex generali* dari hukum acara dari hukum acara pidana tertentu/ khusus, sementara ketentuan-ketentuan yang mengatur juga hukum acara dalam undang-undang yang mengatur pidana tertentu/khusus tersebut menjadi *lex specialis*.
Jika dilihat secara sistematis maka walaupun ketentuan yang menyatakan KUHAP sebagai lex generali dalam UU No. 10/2008 diletakkan pada pasal 254 ayat (1), atau seakan hanya berlaku dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri. Namun, kami berpendapat bahwa ketentuan tersebut harus dibaca bahwa KUHAP berlaku sebagai *lex generali* pada semua tahapan acara pemeriksaan, tak hanya pada tahapan pemeriksaan di tingkat pengadilan negeri semata.
Hal tersebut di atas karena pengaturan hukum acara yang diatur dalam UU No. 10/2008 tidak mencukupi untuk mengatur semua hal layaknya pengaturan hukum acara pidana. Sebagai contoh, pengaturan penyidikan dalam pasal 253 UU No. 10/2008 tidak mengatur mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik seperti yang diatur dalam pasal 7 KUHAP. Begitu juga halnya dengan kewenangan penuntut umum dalam tindak pidana pemilu ini tidak diatur dengan cukup dalam UU No. 10/2008. Dari tidak diaturnya hal-hal tersebut dalam UU No. 10/2008 ini secara memadai maka kuat dugaan kami bahwa memang pembuat undang-undang ini tetap bermaksud menjadikan KUHAP sebagai lex generali dari hukum acara pidana pemilu, tak hanya khusus untuk pemeriksaan di tingkat pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pasal 254 ayat (1) UU No. 10/2008, atau boleh jadi pengaturan sebagaimana pasal 254 ayat (1) UU tersebut merupakan kesalahan teknis *legal drafting* semata.
Dengan penafsiran sebagaimana di atas maka mengingat dalam UU No. 10/2008 ini tidak diatur mengenai apakah putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa, sebagaimana yang diatur dalam pasal 67 KUHAP jo. Pasal 233 KUHAP, maka berarti pasal 67 jo. 233 KUHAP tersebut tetap berlaku, atau dengan kata lain putusan pengadilan negeri yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dalam pidana pemilu tidak dapat diajukan banding.
Permasalahan hukum selanjutnya adalah, apakah jika ternyata atas suatu putusan bebas dalam pidana pemilu Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding dan kemudian diterima oleh Pengadilan Tinggi, apakah Terdakwa/Terpidana dapat mengajukan upaya hukum?
Secara normatif pasal 255 ayat (4) UU No. 10/2008 beserta penjelasannya menyatakan bahwa terhadap putusan Pengadilan Tinggi (banding) tidak dapat diajukan upaya hukum baik kasasi maupun Peninjauan Kembali. Jika ketentuan ini dirasa tidak adil atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka ketentuan ini terbuka untuk diajukan Hak Uji Materil melalui Mahkamah Konstitusi.
|
alat bukti rekaman
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/alat-bukti-rekaman-cl6915/
|
Saya minta tolong sebetulnya bagaimanakah posisi alat bukti rekaman dalam sistem pembuktian pidana itu? Terima kasih atas perhatiannya.
|
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Lantas di mana posisi rekaman sebagai sebagai salah satu bentuk informasi elektronik sebagai alat bukti dalam kasus pidana?
Informasi yang disimpan secara elektronik, termasuk rekaman, tidak dapat diajukan sebagai alat bukti berdasarkan KUHAP. KUHAP juga tidak mengatur bagaimana legalitas *print out* (hasil cetak) sebagai alat bukti atau tata cara perolehan dan pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti.
Informasi atau dokumen elektronik baru diakui sebagai alat bukti setelah diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 20/2001). Pasal 26 A UU No. 20/2001 menyebutkan bahwa alat bukti yang di simpan secara elektronik juga dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam kasus tindak pidana korupsi.
Selain dalam UU No. 20/2001, informasi elektronik sebagai alat bukti juga disebutkan di dalam pasal 38 huruf b UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.15/2002), serta 27 huruf b UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003).
Walaupun UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 telah mengakui legalitas informasi elektronik sebagai alat bukti, akan tetapi keberlakuannya masih terbatas pada tindak pidana dalam lingkup korupsi, pencucian uang dan terorisme saja.
Di dalam UU No. 20/2001, UU No. 15/2002 dan UU No. 15/2003 juga belum ada kejelasan mengenai legalitas *print out* sebagai alat bukti. Juga belum diatur tata cara yang dapat menjadi acuan dalam hal perolehan dan pengajuan informasi/dokumen eleltronik sebagai alat bukti ke pengadilan.
Dasar hukum penggunaan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti di pengadilan menjadi semakin jelas setelah diundangkannya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008). UU No. 11/2008 dinilai lebih memberikan kepastian hukum dan lingkup keberlakuannya lebih luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi, pencucian uang dan terorisme saja. Demikian pendapat Direktur Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Brian A. Prastyo (lebih lengkap klik di [sini](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20772&cl=Berita)).
Selain mengakui informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti, UU No. 11/2008 juga mengakui *print out* (hasil cetak) sebagai alat bukti hukum yang sah. Demikian diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11/2008 yang menyebutkan *informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah*.
| | | |
| --- | --- | --- |
| **Kategori** | **UU No. 11/2008** | **Pasal** |
| Menyebutkan informasi (elektronik) atau bukti elektronik? | V | 5 ayat (1) |
| Menyatakan informasi (elektronik) sebagai alat bukti? | V | 5 ayat (1) |
| Menyebutkan *print out* sebagai alat bukti? | V | 5 ayat (1) |
| Mengatur tata cara perolehan informasi elektronik sebagai bukti? | V | 43 ayat (3) |
| Mengatur tata cara pengajuan informasi elektronik sebagai bukti? | V | 5 ayat (3) jo. 16 |
| Informasi elektronik dinyatakan sebagai sebagai alat bukti lain? | V | 44 |
| informasi elektronik dinyatakan sebagai alat bukti petunjuk? | V | 5 ayat (2) |
Sumber: Brian A. Prastyo, 17 Desember 2008
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut (pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 6 UU No. 11/2008):
a. dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan;
b. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Namun, masalahnya kembali kepada persoalan klasik, apakah alat bukti rekaman tersebut asli atau hasil duplikasi. Menyikapi masalah ini, perlu dilakukan audit atas sistem informasi.
Jika suatu sistem informasi sudah diaudit atau disetifikasi oleh suatu badan standar maka alat bukti rekaman tersebut tidak bisa disangkal dan langsung bisa dijadikan alat bukti. Jika sistim informasi tersebut belum atau tidak pernah dilakukan audit maka perlu dilakukan audit segera. Alat bukti tersebut kemudian harus mendapat legalisasi dari biro hukum. Jika alat bukti rekaman dialihkan dalam CD yang berisi file *microsoft power point*, DVD-R, CD-R atau pun jenis pengalihan lainnya, ada baiknya bukti-bukti tersebut tercatat dalam Berita Acara Pengalihan Dokumen. Untuk memperkuat keabsahannya alat bukti juga seharusnya mendapat keterangan dari orang-orang yang secara kebetulan terlibat langsung dalam alat bukti tersebut.
Seperti yang terjadi pada kasus dugaan suap Urip Tri Gunawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi beberapa waktu silam, dua ahli melakukan otentikasi terhadap rekaman pembicaraan hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membuktikan bahwa rekaman tersebut otentik dan dapat dijadikan alat bukti yang sah. Untuk selengkapnya dapat Anda baca [di sini](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19876&cl=Berita). Dalam setiap kasus pidana, pada akhirnya, hakimlah yang akan memutuskan apakah alat bukti rekaman tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dalam suatu kasus pidana.
Demikian yang dapat kami jelaskan.
|
affirmative action
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/affirmative-action-cl6904/
|
Apa yang dimaksud affirmative action itu? Mengapa affirmative action jadi sering dibicarakan pasca-putusan Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Pemilu Legislatif?
|
## ULASAN LENGKAP
*Affirmative action* (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Dalam konteks politik, tindakan afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) telah mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legislatif minimal harus ada 30% persen perempuan.
Selain itu, UU Pemilu Legislatif juga mengenal sistem *zipper* agar memudahkan perempuan terpilih menjadi anggota legislatif. Sistem ini mewajibkan dalam setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan. Tujuannya, agar perempuan bisa berada di nomor 'jadi', bukan di nomor buntut. Hal mana tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu Legislatif.
Isu tindakan afirmatifkembali menjadi pembicaraan hangat setelah [putusan Mahkamah Konstitusi](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20796&cl=Berita) (MK) atas UU Pemilu Legislatif. Pasal 214 huruf a sampai e dalam UU Pemilu Legislatif soal penetapan caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem suara terbanyak.
Putusan ini dianggap menafikan tindakan afirmatif bagi perempuan. Penilaian itu tercermin misalnya dalam pendapat berbeda (*[dissenting opinion](http://hukumpedia.com/index.php?title=Dissenting_opinion)*) Hakim Konstitusi Maria Farida dalam putusan di atas. Menurutnya, majelis MK seharusnya tidak mengabulkan permohonan seputar sistem nomor urut. Karena sistem suara terbanyak sangat merugikan perempuan dan tindakan afirmatif dianggap sia-sia.
Sementara itu, sebagian kalangan berpendapat penerapan tindakan afirmatif justru mendiskriminasikan kaum perempuan. Ketua Divisi Hukum dan HAM Partai Penegak Demokrasi Indonesia D Parlindungan Sitorus misalnya [berpendapat](https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21046&cl=Berita) bahwa kaum perempuan seharusnya diberi kebebasan untuk berpolitik tanpa ada perbedaan dengan laki-laki. Menurutnya, kesadaran berpolitik kaum perempuan saat ini sudah cukup tinggi dan bahkan banyak yang sudah mempunyai kemampuan berpolitik lebih dari kaum laki-laki.
|
Kerja 24 jam nostop!
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kerja-24-jam-nostop-cl6716/
|
tunangan saya(wanita) bekerja di sebuah perusahaan di jakarta, dengan jam kerja 08.00 wib - 17.00wib. terkadang pulang jam 19.00wib, tapi kemarin tgl 25 agustus, setelah lewat jam kerja normal, tunangan saya di minta kerja malam, jadi langsung kerja lagi dan sekitar jam 08.00(26 agustus) saya telepon ternyata masih belum pulang dan katanya pulangnya jan 09.30wib. saya sempat terkejut, mana ada orang kerja sampai 24 jam nostop seperti itu. Tunangan saya dia tinggal di tempat kost sedangkan saya di tangerang. Terus terang saya sempat kesal dengan perusahaannya itu. Saya pernah mendengar katanya kalau pun lembur tidak boleh lebih dari 8 jam! pakah itu benar? dan bagaiman cara perhitungannya dengan perusahaannya itu? saya ingin datang dan temui atasannya, tapi saya juga sedang kerja ditangerang. saya telepon tapi katanya belum datang. Mohon bantuan masukan dari rekan apa yang harus saya lakukan karena ini sepertinya sudah terlewat batas. Terima kasih atas masukannya.
|
## ULASAN LENGKAP
Mengenai waktu kerja, Pasal 77 ayat (2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disingkat UUK) hanya mengenal ketentuan waktu kerja 40 jam kerja/minggu yang dapat diatur 8 jam/hari untuk 5 hari kerja/minggu dan 7 jam/hari untuk 6 hari kerja/minggu. Itu pun hari ke-6 hanya 5 jam kerja atau yang biasa kita dengar dengan istilah ‘kerja setengah hari.'
Pengecualian ketentuan di atas memang dimungkinkan dalam pasal 77 ayat (3) UUK, yaitu hanya pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Yang dimaksud ialah sektor usaha energi dan sumber daya mineral serta pertambangan yang berlokasi pada daerah tertentu. Pada sektor ini, sebagaimana diatur khusus dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.234/MEN/2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005, maksimal waktu kerja ialah 12 jam/hari, termasuk waktu istirahat sekurang-kurangnya 1 jam. Artinya tidak ada satu aturan pun yang menyatakan buruh boleh dipekerjakan selama 24 jam non stop.
UU ketenagakerjaan juga mengatur kelebihan waktu kerja atau yang biasa kita kenal dengan lembur. Definisi lembur sebagaimana disebutkan dalam pasal 78 ayat (1) UUK adalah waktu kerja yang melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (2) UUK. Mengenai kelebihan waktu kerja, pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur menyatakan lembur dapat dilakukan paling banyak 3 jam/hari dan 14 jam/minggu.
Kepmenaker 102 juga memberikan berbagai persyaratan lembur seperti: adanya persetujuan buruh yang bersangkutan, perusahaan wajib membayar upah kerja lembur, memberi kesempatan istirahat secukupnya serta makanan dan minuman.
Adapun penghitungan upah lembur ditentukan dengan upah per jam, sedangkan upah per jam berdasarkan Kepmenaker 102 adalah 1/173 kali upah sebulan. Dan harus diperhatikan pula bahwa upah kerja lembur per jam-nya dikalikan dengan besaran yang berbeda-beda, tergantung pada waktu kerja lembur diadakan. Apabila kerja lembur diadakan setelah jam kerja, upah kerja lembur sebesar 1,5 kali upah sejam untuk jam pertama dan untuk setiap jam berikutnya harus dibayar sebesar 2 kali upah sejam.
Sedangkan lembur yang diadakan pada hari yang telah ditetapkankan sebagai hari istirahat atau libur resmi, perhitungan upah kerja lembur dibayar 2 kali upah sejam untuk jam pertama dan untuk setiap jam berikutnya dibayar 3 kali sampai 4 kali upah sejam.
Berikut contoh penghitungan upah lembur.
X menerima upah Rp. 1.000.000/bulan atau sama dengan Rp.5.780,3/jam (1/173 kali upah sebulan). Ia bekerja dengan waktu kerja 8 jam/hari dan 5 hari/minggu. Pada hari kerja ke-5, X diminta untuk melakukan kerja lembur selama 3 jam. Maka penghitungan upah lemburnya adalah sebagai berikut:
Jam pertama : 1,5 x Rp. 5.780,3 = Rp. 8.670
Jam kedua : 2 x Rp. 5.780,3 = Rp. 11.560
Jam ketiga : 2 x Rp. 5.780,3 = Rp. 11.560
Pemberian upah kerja lembur sebagaimana ketentuan di atas merupakan kewajiban. Bahkan UUK dalam pasal 187 menyatakan pelanggaran terhadap pembayaran upah lembur merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi pidana 1 sampai dengan12 bulan kurungan dan/atau denda Rp.10.000.000 – Rp. 100.000.000.
Bila mengacu kepada aturan ini, ada berbagai strategi yang bisa ditempuh. Pertama tunangan anda harus memeriksa apakah benar aturan maupun persyaratan lembur telah dipenuhi perusahaan. Selain memperhatikan kesesuaian waktu, harus ditekankan pula bahwa lembur itu sifatnya *voluntary* bukan kewajiban, artinya cuma bisa dijalankan kalau ada persetujuan dari buruh yang bersangkutan dan wajib dibayar oleh perusahaan.
Sedikit pengalaman dari Jerman, lembur wajib dimintakan persetujuan dari buruh yang bersangkutan. Kemudian harus didiskusikan dan dibuat jadwal serta perencanaan oleh *betriebsrat* (dewan buruh yang terdiri dari buruh dan pengusaha yang ada dalam sebuah perusahaan). Belajar dari pengalaman ini, bila ada, mengapa tidak melibatkan Serikat Buruh (SB) di perusahaan. Secara kolektif untuk kepentingan seluruh buruh, SB dapat untuk melakukan pembelaan, menyampaikan keluhan soal jam kerja dan lembur, serta berunding dengan pengusaha.
Apabila tidak juga dipenuhi, keluhan ini dapat pula dilaporkan sebagai tindak pidana khusus ketenagakerjaan pada Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) yang ada di Dinas Ketenagakerjaan setempat maupun kepolisian.
Demikian jawaban kami. Mudah-mudahan bermanfaat.
|
curatele (pengampuan) dan kepailitan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/curatele-pengampuan-dan-kepailitan-cl6790/
|
apa perbedaan tugas kurator dalam curatele (pengampuan) dan dalam kepailitan?
|
## ULASAN LENGKAP
Saudari Haulaluthfia,
Perbedaan tugas kurator dalam pengampuan (biasa disebut pengampu) dengan kurator dalam kepailitan, dapat dilihat dari maksud/tujuan pengampuan dan kepailitan yang berbeda.
Pengampuan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi pihak yang tidak cakap, dengan melakukan pengurusan pribadi dan harta kekayaan pihak tersebut (lihat pasal 433 KUH Perdata), sedangkan proses kepailitan bertujuan untuk menjamin adanya suatu proses yang jujur dan adil dalam pemenuhan kewajiban dan/atau pembagian harta kekayaan debitor yang dinyatakan pailit kepada para kreditornya (lihat penjelasan umum UU Kepailitan 2004).
Tugas pengampu atau kurator diabdikan pada tujuan di atas. Sehingga, ada beberapa perbedaan tugas antara pengampu dan kurator yang bisa dilihat secara jelas:
1. Pengampu melakukan pengurusan pribadi dan harta kekayaan pihak
yang diampu (pasal 449 jo. 441 KUH Perdata), sedang kurator hanya mengurus harta pailit (pasal 69 UU Kepailitan 2004). Pengurusan pribadi tersebut, misalnya berupa kewenangan pemberian izin untuk kawin (pasal 452 jo. 38. jo. 151 KUH Perdata) atau menjalakankan hak perwalian atas anak (pasal 453 KUH Perdata).
2.Pengampu hanya melakukan tugas pengurusan, sedang kurator, di samping pengurusan, juga bisa ditugaskan melakukan pemberesan. Apabila harta pailit berada dalam keadaan insolvensi, maka kurator bertugas untuk menjual aset harta pailit dan membagikannya kepada para kreditor (Bagian Ketujuh UU Kepailitan 2004).
3. Beberapa tugas pengurusan yang dilakukan oleh kurator bersifat khusus, sehubungan dengan proses kepailitan, seperti misalnya membuat daftar inventarisasi harta pailit, melakukan pencocokan piutang, serta mengumumkan hal-hal tersebut (pasal 100, 102 dan 103 UU Kepailitan 2004).
Semoga bermanfaat (Imam N)
|
Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengaturan-berkaitan-dengan-eksekusi-cl6690/
|
**Pengaturan Berkaitan dengan Eksekusi**�*(deldol)*
**Pertanyaan�:**
**�**
Meskipun ada pengecualian-pengecualiannya, eksekusi dalam hukum acara pidana maupun perdata, tidak dapat dilakukan jika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Yang ingin saya tanyakan adalah dimana pengaturan tentang hal tersebut? Selanjutnya, sertifikat tanah yang berada dalam sengketa yang belum diputus apakah masih menjadi milik dari pemilik awal? Pengaturannya bagaimana? Terima kasih banyak.
|
## ULASAN LENGKAP
***Bung Deldol yang berbahagia,***
Untuk hukum acara pidana, dapat anda lihat ketentuan pasal 270 KUHAP yang berbunyi: *Pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.* Dalam konteks hukum acara pidana, putusan pengadilan pada prinsipnya memperoleh kekuatan hukum tetap, apabila tidak ada upaya hukum lagi yang terbuka bagi terpidana.
Untuk hukum acara perdata, ada baiknya anda buka pasal 180 ayat (1) HIR yang menentukan: *Biarpun orang membantah putusan hakim pengadilan negeri atau meminta apel, maka pengadilan negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan dahulu, jika ada surat yang sah, suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan putusan hakim yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula didalam perselisihan tentang hak milik.*
Peraturan di atas memang sebenarnya menyangkut putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (*uitvoerbaar bij voorraad*). Tafsir Mr. Rutgers yang dikutip oleh Mr. R. Tresna dalam *Komentar HIR* (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005, Cetakan Kedelapanbelas, hlm. 159-161), juga menjelaskan isi ketentuan pasal tersebut mungkin saja mengesankan bahwa *semua keputusan pengadilan negeri tidak dapat dijalankan sebelum memperoleh kekuatan yang pasti (kracht van gewijsde)*, meskipun sejatinya tidak ada satu pun ketentuan yang (secara tegas) membenarkan kesan tersebut. Bahkan, menurut Mr. Rutgers, *keputusan-keputusan Pengadilan Negeri selalu dapat segera dijalankan*, karena di dalam HIR tidak terdapat aturan yang menyatakan (baik secara eksplisit, maupun implisit) bahwa *apel* (banding, red.) *menghalangi dijalankannya keputusan hakim*, sebagaimana tercantum di dalam pasal 54 Reglemen acara perdata dimuka Pengadilan Raad Justisi dan Hooggerechtshof (di dalam pasal 54 Reglement op de Rechtsvordering (Rv) disebutkan: *Pelaksanaan sementara putusan-putusan hakim meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan bila [...]*).
Terlepas dari adanya tafsir Mr. Rutgers di atas, Mr. R. Tresna sendiri menuliskan bahwa *pada umumnya orang beranggapan, bahwa keputusan hakim dapat dijalankan [...] ialah setelah keputusan itu memperoleh kekuatan yang pasti, jadi setelah lewat waktu buat mengadakan perlawanan, apel atau kasasi*.
Jadi, seperti pendapat Mr. Rutgers, memang barangkali tidak ada aturan yang jelas tentang hubungan antara eksekusi dengan kekuatan hukum yang pasti (tetap). Namun, tidak salah juga apabila hal tersebut ditafsirkan dari 'sebuah aturan umum' yang perkecualiannya diatur di dalam pasal 180 ayat (1) HIR di atas. Apalagi, kalau kita melihat masalah ini dalam konteks pasca kemerdekaan, maka pemisahan antara rezim HIR (untuk bangsa pribumi) dan Rv (untuk bangsa Eropa dan yang disejajarkan) tidak lagi relevan. SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001 sebagai aturan penjelas dari pasal 180 ayat (1) HIR tentang putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (*uitvoerbaar bij voorraad*), misalnya, juga turut mempertimbangkan ketentuan di dalam pasal 54 Rv.
Pada dasarnya, sekalipun ada sengketa, kedudukan berkuasa yang ada tetap tidak berubah (untuk yang beritikad baik diatur di dalam pasal 548 ayat (1) KUH Per, sedang untuk yang beritikad buruk di dalam pasal 549 ayat (1) KUH Per), sampai ada putusan pengadilan. Disebutkan di sana: *bahwa ia* (pemangku kedudukan berkuasa, red.) *sampai pada saat kebendaan itu dituntut kembali di muka Hakim, sementara harus dianggap sebagai pemilik kebendaan*.
Menurut pasal 529 KUH Per: *kedudukan berkuasa ialah kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan diri sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu.* Pemilik atau pemegang hak milik disebut secara tegas sebagai pemegang kedudukan yang beritikad baik, sebagaimana bunyi pasal 531 KUH Per: *kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung di dalamnya*.
Semoga bermanfaat. Terima kasih. (Imam Nasima)
|
Mengajukan Cerai Tanpa Izin Pimpinan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengajukan-cerai-tanpa-ijin-pimpinan-cl6430/
|
yth. redaksi saya selaku PNS akan mengajukan cerai dgn istri ku, jika mendasari PP yang ada harus ada perstujuan pimpinan, jika saya mengajukan tanpa persetujuan pimpinan untuk resiko hukumnya bagaimana untuk saya, jujur saja saya sudah pisah 3 tahun dgn istriku, dan saya sudah diminta pamitan oleh istriku kemudian saya sudah pamitan untuk berpisah dengannya pada org tuanya, untuk kewajiban keuangan untuk anak ku setiap bulan aku penuhi. mohon bantuan kepada redaksi yang terhormat, atas bantuannya saya ucapkan sangat berterimah kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
**Jawaban:**
Terima kasih Pak *harta7*
Seperti yang diketahui, untuk urusan perkawinan dan perceraian bagi PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1983 (PP 10) yang diubah dengan PP No 45 Tahun 1990 (PP 45). Ada beberapa Pasal dalam PP 10 yang diubah dengan PP 45. Selebihnya, PP 10 masih berlaku.
Khusus mengenai perceraian diatur dalam Pasal 3 PP 45 dijelaskan bahwa PNS yang menggugat cerai pasangannya harus mendapat **izin** dari pejabat. Jika PNS berada dalam posisi sebagai tergugat cerai, ia tetap harus **memberitahukan** adanya gugatan perceraian itu. Izin maupun pemberitahuan itu harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan yang mendasari gugatan perceraian itu.
Sementara dalam Pasal 5 Ayat (2) disebutkan, setiap atasan dari PNS wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan setelah menerima izin perceraian PNS dimaksud.
Selanjutnya Pasal 8 Ayat (1) Jo. Ayat (2) PP 45 menjelaskan, bila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria maka ia wajib menyerahkan sepertiga gajinya untuk anak, sepertiganya lagi untuk istri dan sisanya untuk suami. Jika tidak ada anak dalam perkawinan itu, Ayat (3) dari Pasal itu menyatakan bahwa istri berhak atas setengah dari gaji suami PNS.
Mengenai sanksi bagi PNS yang tidak minta izin terlebih dulu ketika melakukan perceraian, diatur dalam Pasal 15 PP 45 yang pada intinya menyatakan jika PNS tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, maka ia dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat yang diatur dalam PP Nomor 30 Tahun 1980 (PP 30) tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Jika ditelusuri, hukuman disiplin berat yang diatur dalam PP 30 mencakup :
a. penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun;
b. pembebasan dari jabatan;
c. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai Negeri Sipil; dan
d. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dalam kasus yang sedang menimpa anda saat ini, secara hukum ikatan perkawinan anda masih ada. Karena di dalam UU Perkawinan Jo. Pasal 18 PP No 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa perceraian dihitung sejak dinyatakan di sidang pengadilan.
Jadi, jika anda ingin mengajukan gugatan perceraian dan tidak ingin mendapat sanksi pelanggaran disiplin berat, ada baiknya anda melakukan langkah sebagaimana disebutkan di atas.
Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.
|
Status Perkawinan Internasional dan Perjanjian Perkawinan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/status-perkawinan-internasional-dan-perjanjian-perkawinan-cl5114/
|
Saya (WNI) menikah dengan WNA Prancis di Jepang. Kami berdua beragama Kristen Katolik, tetapi kami tidak melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinan ini telah didaftarkan di kedutaan besar masing-masing di Jepang. Kami masih akan berdomisili di Jepang dalam minimal 1-2 tahun mendatang. Setelahnya, kami masih belum memutuskan, tetapi kami sepakat bahwa anak di kemudian hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis.
�
Sehubungan dengan ini, saya ingin menanyakan 2 hal. Pertama mengenai status kesahan perkawinan saya menurut hukum perkawinan Indonesia:
1. Dengan kondisi di atas, menurut UU�no.1 tahun 1974 tentang perkawinan, Bab 1, Pasal 2, ayat 1 dan 2, apakah perkawinan tersebut belum sah karena belum didaftarkan di Catatan Sipil di Indonesia (walaupun telah didaftarkan di Kedubes Indonesia di Jepang)? Apakah proses pencatatan sipil hanya bisa diadakan di Indonesia, dan harus dihadiri oleh kedua belah pihak yang menikah?
2. Apakah kerugian dan keuntungan saya jika mendaftarkan catatan sipil di Indonesia? Jika saya tidak mendaftarkan catatan sipil, apa saja konsekuensi negatifnya, khususnya terhadap anak yang dilahirkan kelak, terutama dalam kejadian misalkan perceraian atau salah satu pihak meninggal?
�
Kedua, saya ingin menanyakan mengenai pembuatan surat kontrak/perjanjian perkawinan: 1. Dengan kondisi di atas, berdasarkan hukum negara mana sebaiknya kami membuat perjanjian perkawinan? Misalnya Indonesia, apakah betul bahwa hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan sebelum atau bersamaan dengan pendaftaran catatan sipil? Dengan kata lain, jika saya sudah mendaftarkan catatan sipil, lalu setelahnya ingin membuat perjanjian perkawinan, ini tidak dapat dilaksanakan menurut hukum Indonesia? Selanjutnya, apakah perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Indonesia hanya dapat dibuat di Indonesia, dan dihadiri/tanda tangani di Indonesia? Atau apakah sebaiknya dibuat berdasarkan hukum Prancis karena kami berencana melahirkan dan membesarkan anak di Prancis? Atau di Jepang karena kami menikah di Jepang dan masih akan berdomisili di Jepang dalam beberapa tahun mendatang?
2. Apakah perjanjian pernikahan yang dibuat di negara A berdasarkan hukum negara tersebut, hanya efektif dan sah selama digunakan di negara A tersebut? Tanpa kepastian tentang di negara mana masalah yang memerlukan penggunaan perjanjian perkawinan terjadi, bagaimana masing-masing pihak melindungi hak dasar dirinya dan anaknya di kemudian hari, misalnya dalam kasus perceraian atau kematian salah satu pihak lainnya?
3. Apakah perjanjian pernikahan tersebut (terlepas dibuat di mana pun, berdasarkan hukum negara mana pun) adalah yang paling kuat secara hukum dibanding hukum perkawinan negara tertentu?
4. Atau apakah ada hukum internasional yang mengatur pernikahan dan perjanjian pernikahan?
�
Saya ucapkan terima kasih banyak atas perhatian, waktu, dan bantuannya untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya.
|
## ULASAN LENGKAP
Sebelumnya, anda sungguh beruntung tidak menikah dengan orang yang berbeda agama karena dilarang di Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama dilarang, tapi perkawinan antar warga negara Indonesia dengan Warga Negara Asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan berdasarkan pasal 57-62 UU No. 1 tahun 1974.
Pertama-tama harus anda ketahui, atas perkawinan WNI yang dilangsungkan di Luar Negeri berlaku Pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara dimana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini Hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formil telah sah.
Tapi pelaksanaan pasal 56 tersebut harus didahului oleh pelaksanaan pasal 60 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan untuk setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan oleh UU No. 1 tahun 1974. Sekedar informasi, syarat materiil yang harus anda penuhi adalah menikah tidak dalam paksaan, anda cakap bertindak alias berusia 15 tahun keatas dan berpikiran sehat, tidak sedang terikat dalam perkawinan, atau telah lewat 300 hari sesudah putusnya perkawinan lama.
Konsepsi perkawinan yang harus anda anut adalah bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena konsepsi ini, perkawinan di Indonesia haruslah sah menurut hukum agama.
Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan Besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus anda datangi adalah Catatan Sipil Jepang, bukan catatan sipil Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh Catatan Sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinan anda harus didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asal anda (misalnya: Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, Bogor, Bekasi, dst).
Pelaporan perkawinan biasanya dilakukan dalam jangka setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia ke daerah asal WNI. Untuk melaporkan perkawinan anda di Kantor Catatan Sipil Jakarta menurut pasal 72 Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 16 Tahun 2005 diperlukan dokumen-dokumen Bukti Pengesahan Perkawinan di Luar Indonesia, Kutipan Akta Kelahiran, Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk, Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, Paspor Kedua Mempelai, dan Pas Photo berdampingan ukuran 4x6cm sebanyak empat lembar.
Sebaiknya pelaporan memang dihadiri oleh kedua mempelai secara langsung. Namun jika tidak ada rencana kembali ke Indonesia dalam waktu dekat, mungkin pemberian kuasa khusus kepada advokat atau konsultan hukum dapat dipertimbangkan sebagai opsi.
Keuntungan melaporkan perkawinan anda di Indonesia baru terasa kelak jika anda ingin bercerai. Jika perkawinan anda sah dan telah dilaporkan, pengadilan Indonesia akan tanpa ragu menerima permohonan cerai anda. Jika tidak dilaporkan, ada kemungkinan Pengadilan Indonesia menyatakan tidak berwenang terhadap permohonan cerai sehingga anda terpaksa harus kembali ke Jepang hanya untuk bercerai.
Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan sehingga status dwikewarganegaraannya diketahui. Lalu dengan diketahuinya status dwikewarganegaraan, anak anda nantinya dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya seperti misalnya memiliki tanah. Jika status WNInya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah atau apapun yang dibatasi untuk orang asing.
Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh suami istri untuk mengatur akibat perkawinan mengenai harta kekayaan. Pada dasarnya, perjanjian hukum perkawinan dibuat untuk mengadakan penyimpangan tentang persatuan harta kekayaan dalam KUHPerdata. Tapi dalam pasal 29 UU No. 1 tahun 1974, perjanjian kawin diatur secara sederhana agar dapat dikembangkan.
Tapi, walaupun dapat dikembangkan, perjanjian kawin hanya boleh mengatur tentang harta kekayaan. Hal ini disebabkan karena ingin menyimpangi ketentuan tentang persatuan harta setelah perkawinan. Untuk alasan ini, perjanjian perkawinan harus dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
Pasal 1395 Code Civil Perancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian kawin hanya boleh dilakukan sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara umum, Code Civil Perancis mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak.
Secara internasional, Perancis juga tunduk pada the Hague Convention on the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas juga dengan tegas menyatakan perjanjian perkawinan harus dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah maka atas harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait.
Di Jepang, Hukum Horei memperbolehkan pasangan yang menikah di Jepang untuk memilih hukum yang berlaku atas harta kekayaan mereka setelah menikah. Namun pilihan terbatas pada hukum tempat tinggal tetap, hukum asal kewarganegaraan, atau menyangkut benda tidak bergerak seperti tanah, hukum tempat kedudukan tanah. Perjanjian perkawinan yang sah tetap valid walaupun pasangan mempelai telah pindah ke negara lain jika telah didaftarkan di Jepang.
Jadi, dengan hukum negara mana pun, perjanjian perkawinan sudah tidak dapat lagi dilakukan. Sebaiknya anda menghubungi konsultan hukum anda atau anda dapat menghubungi salah satu konsultan hukum yang ada dalam direktori hukumonline, untuk membantu anda lebih lanjut. Semoga bermanfaat.
|
Services di Internet
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/services-di-internet-cl4933/
|
Kami berniat menyediakan service berupa film dan musik di internet, ijin dan *license* apa saja yang harus kami penuhi, selain itu surat ijin usahanya seperti apa? Sekarang kami sudah bergerak di *software* *developer*. Terimakasih
|
## ULASAN LENGKAP
Kami masih belum jelas dengan jasa yang akan anda berikan. Apakah penyediaan jasa film dan musik yang diputar *streaming* (didengar dan dilihat langsung melalui situs anda) ataukah memberikan jasa film dan musik yang dapat di *download* oleh publik ataupun memberikan referensi film dan musik yang kemudian memberikan *link* ke situs-situs film dan musik yang bersangkutan.
Izin-izin yang diperlukan untuk setiap usaha tersebut diatas sangat berbeda, namun berikut adalah izin-izin yang mungkin diperlukan untuk melakukan usaha anda tersebut, untuk lebih detail, anda dapat berkonsultasi atau meminta bantuan dari konsultan hukum:
1. Pertama sekali anda harus mempunyai ijin dibidang teknik-nya, yaitu izin dibidang jasa multimedia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel).
2. Lalu kemudian izin warung telekomunikasi/warung internet yang dikeluarkan oleh izin Dirjen Postel maupun Pemda setempat (dimana anda melakukan usaha tersebut). Selanjutnya, ditambah dengan izin usaha rekreasi dan hiburan umum atau izin usaha penayangan film dari Pemda setempat apabila anda melakukan kegiatan *streaming* film dan musik.
3. Melakukan kerjasama dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) ataupun langsung kepada pemilik lagu untuk musik-musik yang diperdengarkan secara *streaming* maupun yang di *download* melalui situs anda.
4. Memperoleh izin usaha perfilman, apabila anda melakukan kegiatan *streaming* film maupun mengedarkan film dengan memberikan jasa *download* film.
5. Izin-izin lainnya yang kami asumsikan sudah anda dapatkan ketika anda mendirikan perusahaan developer software pertama kali.
Demikian penjelasan kami, semoga dapat membantu anda.
|
Pencucian uang
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pencucian-uang-cl5479/
|
Dalam UU No.25/2003 tentang TPPU disebutkan bahwa yg dimaksud dgn pencucian uang adalah perbuatan...dst... yang diketahuinya dan patut diduga merupakan hasil tindak pidana.. dst. Yang kami tanyakan adalah apakah dalam pengenaan UU TTPU ini seseorang sudah harus terlebih dahulu dinyatakan bersalah (berkekuatan hukum tetap) dalam hal melakukan tindak pidana utamanya ataukah sebaliknya.. terima kasih
|
## ULASAN LENGKAP
Salah satu tujuan disusunnya Undang-undang No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) adalah untuk mencegah dan memberantas perbuatan pencucian uang.
Peran penyedia jasa keuangan sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Apabila terjadi atau diduga adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, pihak penyedia jasa keuangan (seperti perbankan, asuransi atau lembaga keuangan lainnya) berkewajiban untuk melaporkan kepada PPATK. Pihak penyedia jasa keuangan dalam membantu upaya pencegahan terjadinya tindak pencucian uang ini berpedoman kepada Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan yang dikeluarkan oleh PPATK yaitu Keputusan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan No: 2/1/Kep.PPATK/2003.
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh PPATK, maka badan ini akan melaporkan hasil analisis yang berindikasikan tindak pidana kepada pihak kepolisian atau kejaksaan bila memang ada dugaan terjadinya tindak pidana. Setelah itu barulah pihak kepolisian atau kejaksaan memulai melakukan penyidikannya atas kasus tersebut.
Bila yang anda maksudkan sebagai pengenaan suatu kasus dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang tersebut, maka jawabannya adalah tidak harus orang dinyatakan bersalah dengan berkekuatan hukum yang tetap dalam melakukan tindak pidananya, untuk menerapkan ketentuan yang ada dalam undang-undang ini. Tindak pidana dalam pencucian uang dalam UU TPPU sangat terkait dengan tindak pidana jenis lainnya, sebagaimana dijabarkan dalam pasal 2 UU TPPU. Untuk memulai suatu penyelidikan atas dugaan adanya tindak pidana pencucian uang bukan saja harus menunggu ada tidaknya tindak pidana yang terkait. Cukup dengan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, pihak penyedia jasa keuangan sudah harus melaporkan transaksi tersebut kepada PPATK.
Selain itu, setiap lembaga pengawas masing-masing pengelola jasa keuangan mengeluarkan suatu ketentuan yang dikenal sebagai Ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (*Know Your Customer Principles*). Ini merupakan suatu instrumen pencegahan pencucian uang yang dilakukan melalui pengelola jasa keuangan. Ketentuan-ketentuan dalam *Know Your Customer Principles* meliputi kebijakan dan prosedur yang dilakukan terhadap nasabah, baik dalam hal penerimaan, pengidentifikasian, pemantauan terhadap transaksi, maupun dalam manajemen risiko.
Dalam situs kita ini telah cukup banyak [berita](https://www.hukumonline.com/Search.asp) yang ditulis untuk membahas persoalan pencucian uang ini, mungkin bisa anda lihat sebagai referensi anda. Semoga bermanfaat.
|
Fidusia (2)
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/fidusia-cl5220/
|
Apakah jaminan fidusia yang dibuat tidak sesuai dengan UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yaitu masih menggunakan konsep fidusia yang lama (*fiduciarie eigendom overdracht*) dan tidak didaftarkan adalah tidak sah atau tidak berlaku?
|
## ULASAN LENGKAP
Setiap perjanjian penjaminan pada dasarnya masuk dalam rejim hukum perikatan walaupun memiliki dimensi hukum kebendaan. Salah satu ciri hukum perikatan, adalah sifatnya fakultatif. Sesuai azas kebebasan berkontrak masing-masing pihak bebas saling mengikatkan diri selama syarat sahnya perjanjian terpenuhi. Sebaliknya, hukum kebendaan lebih banyak berciri imperatif alias bersifat memaksa karena berlaku umum untuk semua pihak.
Nah, suatu perjanjian penjaminan hak kebendaan memiliki kedua ciri tersebut. Walaupun para pihak bebas menyusun klausulanya, perjanjian itu wajib memuat beberapa unsur yang ditentukan undang-undang. Hal ini jelas terlihat dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia (UU Fidusia).
Tidka terpenuhinya unsur-unsur wajib/imperatif dalam undang-undang penjaminan tidak berakibat perjanjian itu sendiri batal. Namun, pihak yang memiliki hak atas perjanjian itu tidak bisa menikmati haknya sebagaimana diberikan dalam undang-undang yang bersangkutan. Jaminan fidusia yang tidak memenuhi syarat imperatif dalam UU Fidusia (misalnya syarat akta jaminan fidusia dalam Pasal 6 UU Fidusia) tidak akan dapat didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Akibatnya sang kreditur tidak menikmati hak mendahului yang lazimnya didapat dari perjanjian penjaminan sesuai UU Fidusia.
Kesimpulannya, perjanjian yang disusun dengan konsep fidusia yang lama (*fiduciairie eigendom overdracht* atau biasa disingkat FEO) tetap sah dan berlaku mengikat pada kedua belah pihak. Namun, perjanjian itu tidak memberikan hak mendahului pada sang kreditur untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dibanding kreditur lainnnya. Kreditur hanya berhak atas pelunasan pari pasu atau bersama-sama dengan kreditur konkuren lainnya.
Cara meminta eksekusinya pun berbeda. Kreditur tidak bisa menggunakan titel eksekutorial yang lazimnya dinikmati kreditur pemegang fidusia (lihat Pasal 29 UU Fidusia). Ia hanya dapat mengajukan gugatan perdata terhadap debitur.
|
status anak
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/status-anak-cl5069/
|
Saya istri WNA, tapi sebelum surat nikah saya daftarkan kecatatan sipil, saya sudah punya anak dan kemudian saya buatkan akte lahir luar nikah (tanpa ada ayah), dan 8 bulan kemudian surat nikah saya selesai, bagaimana status anak saya? Apakah dia termasuk�WNA atau ikut saya karena pada waktu ia lahir belum ada hubungan kewarganegaraan secara hukum dengan ayahnya? Terima kasih
|
## ULASAN LENGKAP
Didalam pasal 43 Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974 ditetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam kasus ibu tidak menyatakan bahwa ayah dari si anak adalah suami ibu sekarang (WNA), tapi dalam membahas kasus ibu kami beranggapan bahwa ayah dari si anak adalah WNA.
Dalam KUHPerdata anak yang diluar kawin tadi dapat diakui oleh bapaknya. Dengan adanya pengakuan ini menimbulkan hubungan perdata antara anak dan bapaknya yang mengakuinya itu, akan tetapi tidak menimbulkan hubungan dengan keluarga si bapak yang mengkuinya itu. Pengakuan anak itu dilakukan dengan akte notaris atau juga dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak tersebut.
Suatu tindakan lebih lanjut dari pengakuan adalah pengesahan anak luar kawin tersebut. Pengesahan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kedua orang tua anak itu menikah setelah mereka itu mengakui anak mereka, pengakuan ini dapat juga dilakukan pada saat perkawinan mereka, dan pengakuan ini dicatat dalam akte perkawinan.
Undang-undang Kewarganegaraan tidak bisa memberikan perlindungan terhadap pasangan campur (*mixed couples*), adanya diskriminasi didalam pernikahan antara laki-laki Indonesia dengan wanita asing (*foreign women*), dan wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing (*foreign men*) karena prinsip dari pada **Undang-undang No 62/1958 Tentang Kewarganegaraan** menganut *azsa ius sanguinis* (*blood line*) dimana apabila seorang laki-laki asing menikah dengan wanita Indonesia, anak yang lahir dari wanita Indonesia ini secara *automatically* mengikuti kewarganegaraan yang dianut bapaknya. Suami yang berkewarganegaraan asing dengan anak tersebut kedudukannya sama dengan tourist atau visitor.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia akan merevisi Undang-undang Kewarganegaraan 1958, draf dari Undang-undang kewarganegaraan tersebut akan segera disahkan oleh DPR. Harapan kami semoga Undang-undang tersebut dapat melindungi pasangan yang berbeda kewarganegaraan (*mixed nationality couples*) dan wanita bisa menentukan sendiri kewarganegaraan anak mereka.
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
Hak asuh anak
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-asuh-anak-cl5031/
|
Dari pernikahan resmi dengan warga negara asing pihak ibu WNI , ayah WNA, dan anak dibawah usia, dari perceraian dapatkah anak memperoleh kewarganegaraan indonesia jika ikut ibu? Terimakasih
|
## ULASAN LENGKAP
Yang harus ibu perhatikan adalah Undang-undang No 62 tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan beserta perubahannya (**UU Kewarganegaraan**), dimana dalam UU Kewarganegaraan tidak memberikan perlindungan terhadap pasangan campur (*mixed couples*), adanya diskriminasi didalam pernikahan antara laki-laki Indonesia dengan wanita asing (*foreign women*), dan wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing (*foreign men*) karena prinsip dari pada UU Kewarganegaraan menganut *azas ius sanguinis* (*blood line*) dimana apabila seorang laki-laki asing menikah dengan wanita Indonesia, anak yang lahir dari wanita Indonesia ini secara *automatically* mengikuti kewarganegaraan yang dianut bapaknya. Suami yang berkewarganegaraan asing dengan anak tersebut kedudukannya sama dengan *tourist* atau *visitor*. Untuk menjadi warga negara Indonesia harus mengajukan permohonan melalui pengadilan negeri.
Jadi untuk kasus ibu, walaupun ibu telah bercerai dengan suami ibu, kemudian ibu mengajukan hak pengasuhan anak dan hal ini dikabulkan oleh pengadilan, tapi kewarganegaraan anak ibu tetap mengikut kepada kewarganegaraan si suami ibu.
Hal ini, telah menjadi sorotan dalam beberapa waktu yang lalu seiring dengan dibahasnya Rancangan Undang-undang Kewarganegaraan yang baru. Koalisi LSM yang prihatin tentang persoalan ini sedang mengupayakan agar anak yang lahir berdasarkan perkawinan campuran dapat mendapat kewarganegaraan Indonesia. Ibu bisa melihat berita-beritanya dalam arsip berita di situs kita ini.
Demikian semoga bermanfaat.
|
kekuatan hukum surat kuasa
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kekuatan-hukum-surat-kuasa-cl1384/
|
Pasal 82 dan 89 UU No. 1/95, demikian pula dalam anggaran dasar, suatu PT menyatakan bahwa direksi mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan serta dapat memberi kuasa tertulis kepada karyawan dan orang lain untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atas nama PT. Permasalahannya adalah bagi PT yang sudah cukup besar kegiatannya, maka :1. Apabila ada suatu perjanjian yang akan ditandatangani oleh orang yang bukan direksi, apakah orang harus mendapatkan kuasa tertulis lebih dulu dari direksi? 2.� Apakah tidak ada jalan lain selain pemberian kuasa sebagaimana tersebut di atas, misal direksi membuat surat keputusan yang berisi bahwa untuk suatu nilai tertentu penandatanganan perjanjian cukup oleh setingkat kabag atau manajer? Atau 3. Bisakah dengan cara membuat surat kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer tersebut ?
|
## ULASAN LENGKAP
Menurut pasal 82 dan 89 UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, seharusnya memang seseorang harus mendapat kuasa tertulis lebih dulu dari direksi apabila ia ingin menandatangani suatu perjanjian atas nama PT. Namun dalam hal tertentu yang mendesak dan belum ada kuasa tertulis dari direksi, maka harus diyakini terlebih dahulu bahwa perjanjian yang akan ditandatangani tersebut nantinya akan mendapat pengakuan dari direksi PT yang bersangkutan. Karena apabila direksi PT sebagai pihak yang berwenang untuk bertindak atas nama PT tidak mengakui perjanjian yang ditandatangani oleh karyawan tersebut maka secara otomatis perjanjian tersebut tidak akan mengikat PT yang bersangkutan dan menjadi dapat dibatalkan dengan alasan perjanjian tersebut tidak sah karena tidak pernah ada kata sepakat yang diberikan oleh orang yang dapat bertindak atas nama PT (ps. 1807 ayat 2 jo 1320 KUHPer).
Sementara bagi kepentingan pihak ketiga sendiri, guna mencegah batalnya perjanjian karena ternyata pihak yang mewakili mitra usahanya tidak berwenang untuk menandatangani perjanjian atas nama PT mitranya maka sebaiknya pihak ketiga tersebut meminta surat kuasa tertulis atau kepastian kepada mitra usahaya yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan memang berwenang untuk menandatangani perjanjian atas nama PT. (ps. 1320 KUHPer)
Cara lain dalam pemberian kuasa selain dengan cara diatas, adalah dapat dilakukan dengan membuat semacam surat keputusan sebagai suatu peraturan internal perusahaan. Surat keputusan ini nantinya menjelaskan deskripsi pekerjaan dan memberikan batasan wewenang yang dimilikinya oleh level manajerial tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya, misalnya seperti kewenangan-kewenangan untuk menandatangani perjanjian tertentu yang sesuai dengan lingkup pekerjaannya.
Bisa saja dibuat surat kuasa yang berlaku umum bagi pegawainya yang setingkat kabag atau manajer, tapi hal ini sulit untuk dilakukan karena masing-masing jabatan memiliki lingkup kerja sendiri dan secara otomatis maka kewenangan yang diberikan pun akan berbeda.
Semoga bermanfaat.
|
Mengadopsi keponakan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengadopsi-keponakan-cl5190/
|
Saya berniat mengadopsi resmi atau legal sehingga ada surat adopsinya yang bisa digunakan untuk mengurus keimmigrasiannya karena saya Permanen Resident USA keponakan saya yang sudah yatim dan atas persetujuan ibunya.Langkah apa yang harus saya lakukan?�Terima kasih banyak. Salam.
|
## ULASAN LENGKAP
Undang-undang Perlindungan Anak telah mengatur mengenai pengangkatan anak yang dapat dilihat di pasal 39 - 40, yang intinya mengatakan bahwa:
- Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
- Pengangkatan anak tidak akan memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya;
- Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat;
- Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;
- Bila asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat;
- Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Dalam hal ini, pengangkatan terhadap anak dimana kedua/salah satu orang tua kandungnya masih ada harus melalui perjanjian antara orangtua kandung dengan calon orangtua angkat yang dinamakan *private adoption*, dimana terjadi pengalihan kuasa asuh dari satu pihak kepada pihak lain berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan demi kepentingan terbaik anak. Mengenai syarat-syarat melakukan pengangkatan anak tersebut dapat dilihat di Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pemeriksaan Permohonan Pengesahan/Pengangkatan Anak.
Untuk lebih detailnya, anda bisa menghubungi pengacara atau konsultan hukum yang ada dalam [direktori hukumonline.com](https://www.hukumonline.com/DirProfHukum_firma_List.asp). Demikian semoga bermanfaat.
|
Uang Jasa atas pengunduran diri
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/uang-jasa-atas-pengunduran-diri-cl5145/
|
Saya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan swasta dengan masa kerja 3 tahun 9 bulan 15 hari dengan status karyawan tetap dan telah mengundurkan diri secara baik2 atas kemauan sendiri. Dengan status seperti saya tersebut, pertanyaan saya adalah : 1. Apakah saya bisa mendapatkan uang jasa? apa dasar hukumnya? 2. Bila pada akhirnya pihak perusahaan menyatakan bahwa saya tidak mendapatkan uang jasa tetapi berdasarkan peraturan yang berlaku saya dinyatakan mendapatkan hak atas uang jasa, bagaimana prosedur dan cara menyelesaikannya? Demikian pertanyaan dari saya, atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Pemutusan hubungan kerja yang terjadi karena kemauan saudara sendiri (untuk melakukan pengunduran diri dari perusahaan tempat saudara bekerja) diatur dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (**UU Ketenagakerjaan**) Pasal 162.
Bagi saudara yang melakukan pengunduran diri atas kemauan sendiri maka, saudara akan memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) yang meliputi:
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; dan
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan Pasal 162, jenis kompensasi PHK yang dapat saudara terima/tuntut dari pengusaha, bukanlah berupa uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja, melainkan hanya berupa uang penggantian hak yang besarannya disesuaikan dengan masa kerja saudara yang kurang dari 5 (lima) tahun.
Bila yang saudara maksud dengan uang jasa disini adalah uang penghargaan masa kerja, maka berdasarkan UU Ketenagakerjaan anda tidak mendapatkannya. Anda hanya mendapatkan uang penggantian hak (Pasal 162 UU Ketenagakerjaan).
Selain itu, juga perlu Anda pahami maksud atas kemauan sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 162 (4) UUK, dimana dinyatakan bahwa pengunduran diri adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sebaliknya, PHK selain itu (dalam hal ini atas kemauan pengusaha) harus dengan penetapan lembaga tersebut. Dengan demikian uang penggantian hak berlaku hanya pada pengunduran diri dimaksud.
Dapat kami tambahkan pula bahwa pihak perusahaan mempunyai hak untuk mempertimbangkan pemberian kompensasi PHK, apabila pengunduran diri yang saudara lakukan telah sesuai dengan ketentuan normatif pada Pasal 162 ayat (3) yaitu: mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; tidak terikat dalam ikatan dinas dan tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Hal-hal lain yang seringkali juga dimasukan sebagai bentuk kompensasi dari pengusaha kepada pekerja dimana pelaksanannya cukup diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Oleh karena itu ada baiknya bila saudara juga melihat kembali ketentuan perjanjian kerja saudara dengan pengusaha.
Bila tidak ada kesepakatan antara saudara dan perusahaan tentang hal ini (setelah melakukan perundingan bipartit untuk musyawarah mufakat), saudara dapat saja hal ini ke mengajukan persoalan ke kadisnaker setempat (perselisihan yang terjadi dicatat) untuk diperantarai atau memilih penyelesaian melalui konsiliator atau arbiter yang terdaftar. Bila tidak dicapai kesepakatan penyelesaian, salah satu pihak (saudara atau perusahaan anda) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Kami menyarankan agar anda menghubungi konsultan hukum anda untuk membahas hal ini lebih lanjut. Demikian, semoga bermanfaat.
|
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perjanjian-pemborongan-pekerjaan-cl5059/
|
Masalah-masalah apa saja yang harus dicermati dalam pemborongan pekerjaan? Terimakasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Pada saat ini, sedangkan berkembang wacana untuk merevisi UU No.13 tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan (**UU Ketenagakerjaan**) sebagai antisipasi terhadap persoalan ketenagakerjaan dan investasi di Indonesia, dan salah satu yang menjadi sorotan adalah persoalan *outsourcing.*
Namun, kita tidak akan membahas hal tersebut di sini, tetapi kepada salah satu aspek dalam outsourcing, yaitu pemborongan pekerjaan. Sebagai dasar dan acuan dalam perjanjian pemborongan adalah UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.220/Men/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain (**Kepmen 220/2004**).
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis (diatur dalam ps.64 - ps.66 UU Ketenagakerjaan).
Dalam pemborongan pekerjaan terdapat tiga kelompok yang berkepentingan, yaitu Perusahanan Pemberi Pekerjaan Pemborongan (Perusahaan Pemberi Pemborongan), Perusahaan Penerima Pekerjaan Pemborongan (Perusahaan Penerima Pemborongan), dan Pekerja.
Perusahaan Pemberi Pemborongan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan. Hal ini dilaksanakan melalui Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Didalamnya wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja yang muncul.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemborongan perkerjaan ini, yaitu:
1. Bentuk Perusahaan, dan
2. Jenis Pekerjaan.
Dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan yang harus diperhatikan adalah apakah perusahaan tersebut berbadan hukum atau tidak, karena penyerahan ini hanya dapat diberikan kepada perusahaan yang berbadan hukum (Ps.3 (1) Kepmen 220/2004). Ada beberapa pengecualian terhadap hal ini (dapat dilihat dalam Ps.3 (2) dan Ps.4 Kepmen 220/2004).
Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Perusahaan Pemberi Pemborongan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja Perusahaan Pemberi Pemborongan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung artinya kegiatan tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
Disamping itu, Perusahaan Pemberi Pemborongan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan (yang akan diserahkan kepada Perusahaan Penerima Pemborongan). Perusahaan Pemberi Pemborongan juga harus menetapkan jenis-jenis pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang. Kemudian melaporkan semua ini kepada Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
klikbca.com typosquatting atau phishing?
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/klikbcacom-typosquatting-atau-phishing-cl4936/
|
Mengenai kasus klikbca.com, kasus itu bisa disebut *typosquatting* atau *phishing*? Karena saya pernah membaca definisi kedua istilah itu mirip. Bisakah dalam penyelesaian nya diterapkan UUHC dan merek, mengingat tampilan website yg serupa dengan website aslinya?
|
## ULASAN LENGKAP
Pada dasarnya, kasus klikbca merupakan kasus domain name yang memanfaatkan kesalahan ketik yang mungkin dilakukan oleh nasabah. Steven Haryanto membeli domain-domain yang serupa www.klikbca.com dimana isi dari tiap situs palsu tersebut sangat mirip dengan situs asli BCA. Kunci dari keberhasilan dari kasus ini adalah apabila terjadi salah ketik oleh nasabah. Berdasarkan hal ini, maka Kasus klikbca.com merupakan kasus typosquatting dan bukan phishing.
Typosquatting pada intinya adalah suatu tindakan membeli dan mengoperasikan nama-nama domain yang merupakan hasil variasi suatu nama domain yang telah terkenal, dengan harapan situs tersebut dikunjungi oleh pengguna internet karena adanya kesalahan eja atau ketik dari situs asli yang memang ingin dikunjungi oleh pengguna.
Sedangkan phishing adalah suatu tindakan mengirimkan email kepada pengguna internet dengan menyatakan bahwa email tersebut berasal dari sebuah perusahaan besar atau terkenal ataupun lembaga keuangan dimana kemungkinan besar si pengguna memiliki account. Email tersebut akan meminta pengguna masuk ke dalam sebuah website untuk memperbarui informasi-informasi pribadi seperti password, nomor kartu kredit, nomor rekening bank, atau data pribadi lainnya yang seolah-olah data-data lama si pengguna telah dimiliki sebelumnya oleh si pengirim email. Website tersebut sebenarnya merupakan website palsu dan hanya digunakan untuk mencuri informasi-informasi pribadi.
Dengan demikian, jelas terlihat dari pengertian tersebut bahwa memang antara typosquatting dengan phishing terdapat persamaan yang cukup mencolok yaitu penggunaan website palsu yang meniru website asli dari pihak yang telah terpercaya atau terkenal. Namun apabila diperhatikan lebih jauh, terlihat pula perbedaan yang cukup menonjol, yaitu cara yang digunakan. Phishing menggunakan email-email palsu sebagai cara untuk menipu dan menjerat calon korbannya, sedangkan typosquatting tidak menggunakan email, melainkan memanfaatkan kemungkinan kesalahan ketik dan eja yang sangat mungkin dilakukan oleh pengguna internet.
Dalam hal kasus klikbca, karena tampilan dari website palsu serupa dengan website aslinya, maka dalam penyelesaiannya dapat diterapkan UU Hak Cipta karena menjiplak secara keseluruhan tampilan dalam suatu situs; dan UU Merek karena dalam website palsu tersebut juga menampilkan logo BCA yang telah didaftarkan sebagai merek oleh pihak BCA
Demikian terimakasih semoga bermanfaat.
|
Seputar, Pendaftaran Hak Cipta Software
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/seputar-pendaftaran-hak-cipta-software-cl4554/
|
Saya ingin mendaftarkan Hak Cipta software atas nama pribadi bukan badan hukum. 1. Apakah prosedurnya cukup sulit? Maksud saya apakah banyak oknum yang mempersulit seperti kebanyakan mengurus perijinan di kantor pemerintah? 2. Berapa biaya dan Jangka waktu sampai memperoleh nomer Hak cipta jika diurus sendiri atau melalui jasa kantor hukum? 3. Pada dokumentasi program, yang perlu diberikan sampai sejauh mana. Misal: - Deskripsi *software*, - Diagram Alur (*Flowchart*) proses berjalan *software* - Program Jadi (*Binary) software*. Apakah perlu menyertakan kode program yang mentah (*source code*), mengingat bila hal tersebut disertakan, akan berbahaya, karena dapat dicontoh dan dibuat ulang dalam bentuk baru oleh orang lain sehingga mereka bisa meng-klaim bahwa *software* tersebut adalah miliknya. Terima Kasih
|
## ULASAN LENGKAP
Wah, wah pertanyaannya banyak ya. Baiklah kita jawab satu persatu agar lebih jelas:
1. Prosedurnya tidak begitu sulit. Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), badan yang berwenang memberikan pelayanan pendaftaran hak cipta sudah sangat kooperatif di tahun-tahun belakangan ini. Silahkan Anda datang ke kantor Hak Cipta (Ditjen HKI) di Tangerang dan para petugas di loket akan dengan senang hati membantu Anda.
2. Khusus untuk memperoleh hak cipta program komputer, biaya pendaftaran resmi dari Ditjen HKI sebesar Rp.150.000. Untuk memakai jasa kantor hukum, harga resmi dari Ditjen HKI tetap sebesar Rp.150.000, tetapi harus ditambah biaya jasa hukumnya yang harganya bervariasi. Tidak etis rasanya menyebutkan biaya jasa hukum yang diterapkan dalam praktek. Anda dapat menghubungi kantor-kantor hukum yang melayani pendaftaran HKI ataupun klinik HKI yang ada untuk mendapatkan harga yang sesuai dengan budget anda.
3. Anda tidak perlu mengikut sertakan source program-nya, cukup deskripsi tentang program tersebut beserta fitur-fiturnya serta cara pengoperasian (*manual*) dari program konputer tersebut. Untuk persyaratan lainnya anda dapat lihat di [www.dgip.go.id](http://www.dgip.go.id/).
|
Trade secret dan desain industri
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/trade-secret-dan-desain-industri-cl4503/
|
Apakah perlindungan hukum pemegang *trade secret* sama dengan perlindungan hukum yang diperoleh pemegang desain industri?
|
## ULASAN LENGKAP
Obyek perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang Undang No.30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (**UURD**) berbeda dengan Undang Undang No.31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (**UUDI**). Secara umum, perbedaaanya adalah sebagai berikut:
UURD mengatur tentang Rahasia Dagang, yaitu informasi yang dianggap rahasia di bidang teknologi dan/atau bisnis. Perlindungan itu sendiri secara otomatis diberikan terhadap informasi yang dianggap rahasia tersebut sepanjang informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomis dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya. Sehingga hak rahasia dagang tidak memiliki jangka waktu perlindungan. Sepanjang kriteria informasi tersebut dipertahankan maka perlindungan rahasia dagang tetap berlaku terhadap informasi tersebut.
Suatu informasi dianggap rahasia apabila hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu saja, misalnya informasi perusahaan yang hanya diketahui oleh direktur dari perusahaan tersebut.
Suatu informasi dianggap mempunya nilai ekonomis apabila dapat dijalankan untuk kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi, misalnya daftar klien, daftar supplier barang dari suatu perusahaan, dsb, yang karena informasinya bersifat detail dapat memberikan keuntungan ekonomis dari suatu perusahaan.
Suatu informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemiliknya telah melakukan langkah-langkah yang layak atau patut misalnya suatu formula makanan disimpan dalam suatu safe deposit box begitu juga dengan pembuatan perjanjian kerahasiaan antara perusahaan dengan karyawannya atau pihak ketiga.
Hak atas Rahasia Dagang meliputi hak untuk menggunakan sendiri rahasia dagangnya dan hak untuk memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan atau mengungkapkan rahasia dagang tersebut kepada pihak ketiga untuk kepentingan komersial.
Sedangkan UUDI mengatur perlindungan terhadap suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, komposisi garis, warna atau kombinasinya dalam bentuk dua atau tiga dimensi yang mempunyai nilai estetis yang dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk,barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Berbeda dengan UURD, perlindungannya diperoleh hanya dengan melalui pendaftaran kreasi tersebut ke kantor Desain Industri (Dirjen HKI).
Hak Desain Industri hanya diberikan untuk suatu Desain Industri yang baru. Pemegang hak atas suatu Desain Industri berhak untuk melaksanakan hak Desain Industri yang dimilikinya dan melarang orang lain yang tanpa izinnya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor dan/atau mengedarkan barang yang diberi hak desain industri.
Hak Desain Industri ini memiliki jangka waktu terbatas yaitu hanya 10 tahun dan tidak bisa diperpanjang.
Semoga keterangan diatas dapat membantu.
|
Hak Cipta dan masalah Pengalihan Bentuk media VHS ke bentuk DVD di Perpustakaan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-cipta-dan-masalah-pengalihan-bentuk-media-vhs-ke-bentuk-dvd-di-perpustakaan-cl4523/
|
Salam kenal,�saya bekerja di salah satu perpustakaan di Jakarta. Di perpustakaan yang saya kelola terdapat koleksi Audio Visual berbentu VHS, kemudian saya ingin mengubah formatnya menjadi DVD, dengan kata lain VHS dialih mediakan menjadi bentuk DVD, alasannya karena masyarakat Indonesia pada umumnya atau anggota perpustakaan kami jarang sekali yang mempunyai player VHS. Pertanyaan saya, apakah pengalihan bentuk media di perpustakaan merupakan tindakan pelanggaran hukum dalam Hak Cipta menurut hukum positif kita? Terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Hak Cipta menurut Undang Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (**UU Hak Cipta**) merupakan hak ekslusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Sehingga pencipta atau pemegang hak cipta dapat melarang orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tanpa seizin dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 6 UU Hak Cipta, tindakan anda mengubah format suatu koleksi audio visual dengan format VHS menjadi format DVD termasuk ke dalam tindakan perbanyakan.
Tindakan perbanyakan adalah tindakan penambahan jumlah suatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan yang sama ataupun berbeda, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
UU Hak Cipta memberi suatu kelonggaran atas tindakan perbanyakan secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang non-komersial semata-mata untuk aktivitasnya dengan tetap menyebutkan atau mencantumkan sumbernya.
Oleh karena itu, tindakan mengalihkan format VHS menjadi DVD tersebut diperbolehkan karena perpustakaan Anda termasuk ke dalam perpustakaan umum. Lebih lanjut, walaupun tidak secara eksplisit diatur ataupun masih dapat diperdebatkan, apabila tindakan Anda tersebut dianggap merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta dan/atau tindakan tersebut dipergunakan untuk kegiatan komersil maka tindakan perbanyakan tersebut dilarang.
Saran saya, apabila dimungkinkan, mintalah izin terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta dan tetap cantumkanlah nama pencipta pada format baru DVD tersebut.
|
pasar modal syariah
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasar-modal-syariah-cl4937/
|
Apa landasan hukum positif bagi beroperasinya pasar modal syariah di Indonesia? Dan bagaimana fungsi dan kewenangan Dewan Syariah Nasional dalam pasar modal syariah di Indonesia?
|
## ULASAN LENGKAP
Dilihat dari keberadaan peraturan perundang-undangan, saat ini memang belum ada undang-undang khusus pasar modal syariah. RUU Perbankan Syariah juga masih digodok di DPR. Meskipun demikian, praktek investasi secara syariah sudah berjalan sejak pertengahan 1997 melalui instrumen pasar modal berbasis syariah yaitu reksa dana syariah dan obligasi syariah seperti yang dikeluarkan Indosat pada 2002.
Secara formal, peluncuran pasar modal dengan prinsip-prinsip syariah Islam dilakukan pada Maret 2003. Pada kesempatan itu ditandatangani Nota Kesepahaman antara Bapepam dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang dilanjutkan dengan Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SROs (Self Regulatory Organizations).
Sebelumnya, pada 3 Juli 2000, BEJ mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII), dimana saham-saham yang tercantum di dalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah. Untuk bisa masuk dalam JII antara lain perusahaan tidak boleh bergerak di bidang tembakau, alkohol, perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain.
Meskipun sampai saat ini peraturan yang bisa mengakomodasi penerapan prinsip syariah di pasar modal Indonesia belum ada, namun pada prinsipnya struktur pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional. Beberapa hal yang sama antara lain konsep penerbitan obligasi, reksadana, dan lainnya, selama mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Perbedaannya adalah khusus masalah syariah misalnya tentang kegiatan usaha perusahaan karena syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya.
Sebenarnya, banyak prinsip-prinsip syariah terkandung dalam peraturan perundangan yang sudah ada. Misalnya, prinsip *ridho* sama *ridho* yang ada dalam syariah juga terkandung dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian.
Untuk pelaksanaan investasi secara syariah, secara khusus DSN-MUI telah menetapkan dalam fatwanya tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah dan jenis emiten yang sahamnya tidak diperkenankan sebagai portofolio pada reksa dana syariah. Sampai dengan saat ini, Bapepam telah memberikan pernyataan efektif kepada 13 reksa dana syariah. Namun demikian, dari 13 reksa dana ini 2 diantaranya telah bubar.
Dewan Syariah Nasional (DSN) atau Al-Hai`ah as-Syar`iyah al-Wathaniyah alias National Sharia Board adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga betugas untuk menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari`ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari`ah serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.
Anggota lembaga ini adalah para ahli hukum Islam serta praktisi ekonomi terutama sektor keuangan , baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dibantu dengan Badan Pelaksana Harian DSW (BPH-DSN) yang melakukan penelitian, penggalian dan pengkajian.
Kemudian setelah dianggap cukup memadai, hasil kajian itu dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN. Rancangan fatwa ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno pengurus DSN untuk dibahas. Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. Finalisasi fatwa ini terutama dari aspek redaksional, ditangani oleh tim penyusun dari BPH-DSN.
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
kepailitan prudensial
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kepailitan-prudensial-cl4934/
|
Pada pertanyaan sebelumnya, Putusan MA memutuskan bahwa Prudensial tidak bisa dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga karena tidak ada hutang yang dapat dibuktikan secara sederhana. Pembuktian hutang tersebut tidak bisa diselesaikan melalui Pengadilan Niaga tetapi harus melalui Pengadilan Negeri. Apabila di Pengadilan Negeri hutang yang tidak bisa dibuktikan secara sederhana ternyata telah terbukti ada, dapatkah debitor dinyatakan pailit melalui pengadilan Niaga nsetelah proses di pengadilan negeri?
|
## ULASAN LENGKAP
Apabila pengadilan negeri dalam suatu sengketa telah memutus salah satu pihak untuk membayar kewajibannya kepada pihak lain, maka putusan ini bisa dijadikan dasar untuk membuktikan adanya hutang yang telah jatuh waktu. Artinya, seandainya diajukan permohonan pailit, maka pihak yang dimenangkan di pengadilan negeri dapat menjadikan putusan tersebut sebagai bukti adanya hutang.
Selanjutnya, pengadilan niaga dapat memakai putusan tersebut sebagai bukti ada atau tidaknya hutang. Secara teorotis, putusan pengadilan negeri tersebut menjadi bukti sederhana adanya suatu hutang. Namun yang jadi persoalan apakah putusan pengadilan negeri yang belum berkekuatan hukum tetap dapat dipakai sebagai alat bukti?
Kemudian, sesuai dengan Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, debitor dinyatakan pailit apabila terbukti secara sederhana memiliki satu hutang yang telah jatuh waktu dan dua kreditor. Jadi, selain terbukti adanya hutang, syarat adanya dua kreditor juga harus terpenuhi.
|
PHK Kesalahan Berat
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/phk-kessalahan-berat-cl4859/
|
Seorang security telah tidur pada saat bertugas sehingga barang yang dijaga didekatnya hilang (harga barang puluhan juta rupiah). Apakah security tersebut boleh langsung diphk atau harus melalui persidangan di pengadilan, sementara pada saat pemeriksaan polisi dinyatakan bahwa security tersbut tidak terlibat dengan pencurian barang tersebut, hanya benar-benar tidur pada saat bertugas (menyalahi prosedur kerja), kemana pengusaha harus mengadukan, apakah ke P4D atau harus ke pengadilan dulu dan bagaimana jika security tersebut langsung di PHK. Apa maksud keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan pasal 158�UU no 13 tahun 2003?
|
## ULASAN LENGKAP
Apabila kesalahan yang dilakukan oleh Security (tertidur sewaktu bertugas dan dianggap telah menyalahi prosedur kerja), termasuk ke dalam pengertian kesalahan berat yang ditetapkan dalam peraturan perusahaan (atau perjanjian kerja) Bapak, maka perusahaan dapat melakukan PHK, dan kemudian melaporkan PHK tersebut kepada P4D. PHK ini diberikan setelah perusahaan memberikan surat peringatan kepada Security tersebut terlebih dahulu (lihat pasal 161 UU Ketenagakerjaan).
Kemudian, Bapak telah melaporkan kepada pihak kepolisian dan setelah dilakukan pemeriksaan ternyata orang tersebut tidak terlibat dalam pencurian. Upaya hukum (pidana) ini, hanya bisa Bapak lakukan sampai pada tahap pelaporan kepada yang berwenang melakukan penyidikan, dalam hal ini kepolisian.
Ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan, Bapak dapat mendiskusikan dengan pengacara yang Bapak pilih. Pada rubrik direktori di situs kita ini terdapat daftar pengacara dan konsultan hukum yang dapat Bapak pilih.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya mengatakan bahwa pasal 158 telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa *due process of law* melalui putusan pengadilan, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Ini jelas akan mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan dalam hal PHK.
Salah satu misi yang hendak diusung dalam UU Ketenagakerjaan yang baru ini adalah perlindungan terhadap buruh dari tindakan sewenang-wenang dari pengusaha. Pasal 158, salah satu diantara beberapa pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh putusan MK 012/PUU-1/2003 (termasuk didalamnya pasal 159, 160 ayat 1, 170 dan 171), bila tetap berlaku maka perlindungan terhadap buruh akan sulit dilaksanakan.
Semoga bermanfaat.
|
pailitnya prudential dan keputusan pembatalan oleh MA
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pailitnya-prudential-dan-keputusan-pembatalan-oleh-ma-cl3644/
|
Atas dasar apa Mahkamah Agung melakukan pembatalan terhadap putusan pailit prudential asuransi yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga, sedangkan pertimbangan Pengadilan Niaga sudah memenuhi kriteria pemailitan debitur yang sudah sederhana, dilihat dari UU Kepailitan yang ada penjelasan yang ada sudah cukup jelas.
|
## ULASAN LENGKAP
Dalam putusan kasasi perkara PT Prudential Life Assurance (Prudential) vs Lee Boon Siong, Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan niaga No.13/Pailit/PN Niaga. Jkt.Pst yang sebelumnya menyatakan Prudential pailit.
Menurut majelis kasasi, adanya hutang Prudential kepada Lee Boon Siong tidak dapat dibuktikan secara sederhana. Sebab, meski Lee Bon Siang mendalilkan adanya hutang Prudential yang timbul dari perjanjian keagenan (pioneering agency agreement), namun Prudential menyangkal hal tersebut.
Oleh majelis kasasi, adanya tidaknya hutang belum terbukti dan masih dalam taraf perselisihan dan tidak bisa dibuktikan secara sederhana. Berdasarkan Pasal 2 ayat(1) jo. Pasal 8 ayat(4) UU No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengadilan menyatakan debitor pailit apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa debitor tersebut memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Selanjutnya, penjelasan Pasal 8 ayat(4) UU No.37/2004 menyatakan yang dimaksud fakta atau keadaan sederhana adalah fakta adanya dua atau lebih kreditor dan fakta hutang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah hutang yang didalilkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Lihat juga wawancara hukumonline dengan ketua majelis kasasi perkara Prudential Marianna Sutadi. <https://www.hukumonline.com/detail.asp?id=10493&cl=Wawancara>
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
Merek Didaftarkan agen
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/merek-didaftarkan-agen-cl4283/
|
Jika di dalam perjanjian yang judulnya bukan merupakan perjanjian lisensi, apakah penerima lisensi tersebut berhak untuk mendaftarkan merek atas namanya, sedangkan pemberi lisensi tidak memberikan hak tersebut di dalam perjanjian. Apakah Pemberi lisensi bisa mengklaim mengingat sertifikat atas merek tersebut telah keluar dan atas nama penerima lisensi? Apakah perjanjian tersebut sah sebagai perjanjian pemberian lisensi
|
## ULASAN LENGKAP
Pada dasarnya yang terpenting bukanlah apa judul dari suatu perjanjian, melainkan apa isi (klausula-klausula) dari suatu perjanjian itu sendiri. Apabila di dalam perjanjian tersebut pemberi lisensi dengan tegas menyatakan bahwa pemberi lisensi (licensor) tidak memberikan hak / melarang penerima lisensi (licensee), maka licensor dapat mengajukan gugatan pembatalan atas merek yang terdaftar atas nama licensee tersebut ke pengadilan niaga dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan keberatan secara tertulis kepada Ditjen HKI (vide pasal 68 – 70 jo. Pasal 24 – 25 UU No. 15 Tahun 2001 tentang *Merek*). Selain itu, dalam teori hukum dikenal pula *Doctrin of Exhaustion* (*uitputtingsregel)* yang mengajarkan bahwa sekali lisensi merek sudah diberikan oleh licensor, dia tidak bisa lagi membatalkan atau merestriksi pemakaian merek tersebut oleh licensee, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu. Restriksi pemakaian berarti licensor dicegah dalam memasarkan serta menggunakan merek tersebut dalam mempromosikan barangnya. Keadaan-keadaan tertentu misalnya apabila barang yang dimereki diubah atau dimodifikasi, sehingga merugikan terhadap reputasi merek yang bersangkutan (vide Rachmadi Usman, 2003: 353 mengutip dari Munir Fuady, 1994: 121 – 122). Jadi, berhak tidaknya licensee mendaftarkan merek atas namanya, harus kembali pada isi perjanjiannya. Jika memang tidak dilarang dalam perjanjian tersebut, maka licensee berhak mendaftarkan mereknya. Perlu juga dipahami, bahwa Indonesia menganut stelsel pendaftaran konstitutif, artinya yang dianggap pemilik merek adalah yang pertama kali mendaftarkannya di Ditjen HKI. Namun demikian, apabila merasa dirugikan, licensor pun dapat mengajukan klaim keberatan kepada pengadilan niaga untuk membatalkan merek tersebut (vide pasal 68 – 70 jo. Pasal 24 – 25 UU No. 15 Tahun 2001 tentang *Merek*), misalnya dengan membuktikan bahwa licensor adalah pemegang hak lisensi tunggal atas merek yang bersangkutan di Indonesia (jika merek itu berasal dari luar negeri) dan pendaftaran merek yang sama oleh licensee merupakan iktikad tidak baik dari licensee karena dapat sangat merugikan licensor (pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001 tentang *Merek*).
Mengenai sah tidaknya perjanjian itu sebagai perjanjian lisensi, dapat diperhatikan dari sahnya perjanjian secara umum berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata yakni adanya kata sepakat, Kecakapan dalam bertindak, Sebab yang halal, serta Hal tertentu. Mengenai hal yang terakhir ini, harus diperhatikan bahwa jika memang ternyata dalam perjanjian tersebut tidak diatur mengenai pemberian lisensi, maka perjanjian tersebut tidaklah sah sebagai perjanjian pemberian lisensi, meskipun berjudul Perjanjian Lisensi. Demikian pula sebaliknya, walaupun judul perjanjiannya bukanlah Perjanjian Lisensi, namun terdapat klausula yang mengatur adanya pemberian lisensi, maka perjanjian lisensi tersebut adalah sah sebagai perjanjian pemberian lisensi. Selain itu perlu juga diperhatikan jangka waktu dari perjanjian tersebut, apakah sudah daluarsa atau belum.
|
Pembagian Harta Gono Gini
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pembagian-harta-gono-gini-cl1208/
|
Dalam pembagian harta gono gini, secara hukum kalau tidak salah dibagi 50 : 50, apakah benar?�Dengan pembagian harta gono gini, apakah bisa dituangkan secara tertulis ? Dan siapakah yang mengesahkannya? Hakim peradilan Agama atau Notaris? Terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Dalam perceraian persoalan harta dalam perkawinan biasanya merupakan persoalan yang akan cukup menyita waktu dan perhatian yang besar, selain persoalan anak.
Jika tidak ada perjanjian perkawinan, dalam perceraian harta bawaan otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri dan harta bersama akan dibagi dua sama rata diantara keduanya (Pasal 128 KUHPer, Pasal 97 KHI). Tentunya jika ada perjanjian perkawinan, pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian itu.
Persoalan pembagian harta ini bisa diajukan bersamaan dengan gugatan cerai. Dalam hal demikian maka daftar harta bersama dan bukti-bukti bila harta tersebut diperoleh selama perkawinan disebutkan dalam alasan pengajuan gugatan cerai (*posita*). Dan kemudian disebutkan dalam tentang permintaan pembagian harta dalam berkas tuntutan (*petitum*). Putusan pengadilan atas perceraian tersebut akan memuat pembagian harta.
Tapi, jiga gugatan cerai tidak menyebutkan tentang pembagian harta bersama, suami atau istri harus mengajukan gugatan baru yang terpisah setelah putusan perceraian dikeluarkan pengadilan. Pengajuan gugatan secara terpisah ini selain akan memakan waktu yang lama, juga memakan biaya, sehingga jarang terjadi.
Gugatan terhadap pembagian harta bersama ini diajukan ke Pengadilan Agama di wilayah tergugat tinggal bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri di wilayah tergugat tinggal bagi non-muslim. Pengadilan lah (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri) yang akan mensahkan tentang pembagian harta bersama tersebut.
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
sahnya perjanjian yang tanpa dibubuhi materai
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/sahnya-perjanjian-yang-tanpa-dibubuhi-materai-cl374/
|
sahkah surat perjanjian yang tanpa dibubuhi materai yang cukup serta sejauh mana kekuatannya jika terjadi sengketa di pengadilan
|
## ULASAN LENGKAP
Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam Akta dan Surat bukan akta, dan Akta dapat dibedakan dalam Akta Otentik dan Akta Di bawah tangan. Sesuatu surat untuk dapat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Di dalam KHUPerdata ketentuan mengenai akta diatur dalam Pasal 1867 sampai pasal 1880.
Perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut. Apabila akta otentik cara pembuatan atau terjadinya akta tersebut dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum (seperti Notaris, Hakim, Panitera, Juru Sita, Pegawai Pencatat Sipil), maka untuk akta di bawah tangan cara pembuatan atau terjadinya tidak dilakukan oleh dan atau dihadapan pejabat pegawai umum, tetapi cukup oleh pihak yang berkepentingan saja. Contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dsb, sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli dsb.
Salah satu fungsi akta yang penting adalah sebagai alat pembuktian. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta Otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yatiu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Menurut Pasal 1857 KHUPerdata, jika akta dibawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya.
Dalam Undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei.
Dengan tiadanya materai dalam suatu surat perjanjian (misalnya perjanjian jual beli) tidak berarti perbuatan hukumnya (perjanjian jual beli) tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Bila suatu surat yang dari semula tidak diberi meterei dan akan dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka permeteraian dapat dilakukan belakangan.
|
Developer Nakal
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/developer-nakal-cl4465/
|
Saya membeli tanah seluas 255cm2, tunai seharga Rp.58 juta dan menurut perjanjian di hadapan notaris pengikatan akan jual beli pihak pengembang harus sudah menyerahkan rumah lengkap layak huni beserta sertipikat yang sudah selesai (termasuk listrik, air dan pembersihan lingkungan) seluas 50m2 pada akhir Maret 2005. �Tapi hingga saat ini (Juni 2005) rumah tersebut belum selesai (listrik dan air tidak ada, belum dicat, lingkungan belum dibersihkan) surat ini juga belum selesai bahkan tidak tahu perkembangannya .
Developer ini selalu kekurangan modal dengan hutang dimana-mana, gali lobang tutup lobanglah, kalau ada yang bayar tunai atau KPR cair baru mereka gunakan untuk membeli bahan bangunan untuk rumah saya, sudah sering saya tanyakan kapan rumah saya selesai bahkan sering pula saya datang ke kantor� mereka untuk memperoleh kejelasan. Tetapi tidak ada kepastian, paling-paling mereka membeli semen satu sak sekedar untuk menyenangkan hati saya dan terkesan mereka masih mengerjakan pembangunan rumah saya.
Bagaimana langkah yang harus saya ambil untuk mengatasi ini, mengingat semua uang sudah saya� curahkan untuk pembangunan rumah tersebut. Di perjanjian akan jual beli tersebut ada tertulis Developer akan kena penalti atas keterlambatan penyerahan. Bagaimana dengan hal ini. Kalau harus ke Pengadilan berapa taksiran biayanya? Apa langkah hukum yang harus diambil untuk mengatasi masalah ini?�Bagaimana kekuatan hukum klausul dalam penjanjian yang menyatakan bahwa Developer akan kena pinalti atas keterlambatan penyerahan?
|
## ULASAN LENGKAP
Melihat fakta hukum yang anda kemukakan di atas, maka hubungan perjanjian antara anda dengan Developer adalah perjanjian jual beli, yang obyeknya adalah tanah beserta bangunan (rumah) di atasnya. Pejanjian jual beli adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik akan sesuatu barang, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya.
Penjual (dalam hal ini Developer) mempunyai 2 kewajiban pokok, yaitu:
a. Menyerahkan barang serta menjamin si Pembeli (dalam hal ini anda) dapat memiliki barang itu dengan tenteram.
b. Bertanggung jawab terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Sedangkan kewajiban Pembeli Idalam hal ini anda) adalah: membayar harga pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
Untuk terjadinya perjanjian ini cukup kedua belah pihak mencapai persetujuan tentang barang dan harganya, sehingga perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan. Adanya akta jual beli yang anda miliki di notaris, menjadi sangat penting untuk masalah pembuktian di persidangan (pengadilan) dalam hal adanya sengketa.
Kemudian, Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak , atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Berdasarkan kententuan di atas, maka dapat diuraikan beberapa hal, antara lain:
1. Segala hal yang diperjanjikan oleh anda dan Developer berlaku sebagai undang-undang bagi anda dan Developer.
2. Segala hal yang sudah diperjanjikan tidak dapat ditarik kembali, kecuali atas persetujuan anda dan Developer atau karena alasan-alasan yang ditentukan undang-undang.
3. Segala hal yang sudah diperjanjikan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Namun, karena pihak Developer belum juga memenuhi kewajibannya (setelah batas waktu yang telah ditentukan yaitu akhir Maret 2005), diantaranya
1. Menyerahkan rumah lengkap layak huni menyerahkan rumah lengkap layak huni beserta sertipikat yang sudah selesai (termasuk listrik, air dan pembersihan lingkungan) seluas 50m2; dan
2. Menyerahkan sertipikat yang sudah selesai.
Maka, Developer dapat dianggap melakukan wanprestasi. Wanprestasi adalah keadaan di mana salah satu pihak dalam perjanjian, tidak memenuhi kewajibannya
Bentuk-bentuk wanprestasi ialah:
� Tidak melakukan sama sekali hal yang diperjanjikan
� Melakukan tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan
� melakukan tetapi tidak tepat waktu
Melihat keadaan di atas, maka bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh Developer ialah bentuk yang ke-2, yaitu melakukan tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
Hal yang dapat dilakukan:
1. Mengirimkan somasi (surat peringatan) ke Developer, untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang ditentukan oleh anda sendiri. Dengan syarat jika Developer tidak juga memenuhi kewajibannya maka anda akan mengajukan gugatan ke Pengadilan.
2. Mengajukan gugatan Pengadilan, yang pada intinya meminta pengadilan untuk:
a. Menyatakan Developer melakukan wanprestasi.
b. Menghukum Developer untuk melakukan:
b.1 Melaksanakan perjanjian meskipun sudah terlambat;
b.2. Membayar ganti kerugian yaitu kerugian yang anda derita (karena perjanjian tidak atau terlambat dilaksanakan, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya);
b.3 Melaksanakan perjanjian sekaligus membayar ganti rugi; atau
b.4 Membatalkan perjanjian, disertai pembayaran ganti rugi (dalam hal ini kembali kepada keadaaan semula, yaitu Developer mengembalikan uang anda).
c. Meletakan sita jaminan atas harta Developer (dalam hal ini hartanya harus dirinci) dengan alasan-alasan yang jelas.
Misalnya jika gugatan anda dipenuhi oleh Pengadilan, namun Developer tidak juga mau membayar ganti rugi secara sukarela, maka pemenuhan kewajiban Developer dapat diambil dari hasil jual lelang barang milik Developer yang disita.
Mengenai biayanya secara ideal kurang lebih Rp.299.000,00 (dua ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah) berdasarkan putusan Ketua PN Jakarta Timur No.246/KPN/2001). Namun, berhubung sistem peradilan di Indonesia belum terlalu baik maka kemungkinan akan ada pungutan liar demi penyelesaian perkara, yang dalam hal ini tidak dapat kami perkirakan besarnya.
Demikian, semoga bermanfaat.
|
Cerobong Asap, Hak dan Lingkungan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/cerobong-asap--hak-dan-lingkungan-cl2827/
|
Saya memiliki Ruko di komp pertokoan, tapi belum lama ini gedung yang menempel disamping ruko saya membuka *franchise* restoran dengan memasang cerobong asap yang menempel pada dinding mereka tapi menghalangi depan jendela ruko saya. Adapun cerobong asap itu memanjang ke atas dan menonjol dari dinding kira-kira 30 cm. Si pemilik restoran bersedia memindahkan cerobong itu ke sebelah luar tapi pemilik gedungnya mempertahankan tidak mau pindah demikian pula developernya mendukung si pemilik gedung. Sudah kami melarangnya dan menyuruh bongkar tapi mereka tidak mempedulikannya. Upaya apakah yang harus kami tempuh lagi? Apakah cerobong itu harus ada ijin? dan kalau kami menggugatnya ke pengadilan dasar apakah yang kami punya hak? Terima kasih
|
## ULASAN LENGKAP
Dahulu ada kasus serupa di negeri Belanda yaitu ada seseorang yang membuat cerobong asap palsu yang sengaja dibuat sengaja untuk menghalangi pandangan dari tetangganya kemudian tetangga yang pandangannya terhalangi tersebut menggugat si pemilik cerobong asap ke pengadilan. Putusan pengadilan di negeri Belanda memenangkan gugatan dari tetangga yang pandangannya terhalangi tersebut dan memerintahkan si pemilik cerobong asap tersebut untuk membongkar cerobong asap tersebut. Putusan ini didasari oleh adanya itikad buruk dari si pemilik cerobong asap yang tidak mau memindahkan cerobong asap tersebut atas dasar ingin menutupi pandangan tetangganya.
Bahwa pada prinsipnya dalam menjawab pertanyaan yang anda berikan semua tergantung dari kondisi di lapangan. Untuk yang pertama anda dapat melihat kembali dokumen-dokumen awal ketika anda membeli ruko tersebut, tentang bagaimana perjanjian dari bentuk bangunannya. Anda juga harus melihat kembali lebih dulu mana antara bangunan ruko anda dengan adanya cerobong asap tersebut. Anda juga harus melihat letak cerobong asap tersebut ada di wilayah siapa, apabila cerobong asap tersebut melewati batas pekarangan anda maka anda dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemilik restoran dan pemilik gedung bahwa cerobong asap tersebut telah melewati batas kepemilikan anda dan menghalangi kenyamanan anda.
Apabila tidak tercapai kesepakatan dan anda ingin menggugat maka anda dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini diatur pada Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan :
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Empat kriteria perbuatan melawan hukum ini adalah :
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
2. Melanggar hak subjektif orang lain.
3. Melanggar kaidah tata susila.
4. Bertentangan dengan azas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Apabila kita melihat dari kasus anda perbuatan pemilik gedung dapat dikategorikan melakukan kriteria yang kedua yaitu melanggar hak subjektif anda. Menurut yurisprudensi yang dimaksud hak subjektif orang lain adalah :
1. Hak-hak kebendaan maupun hak-hak absolut lainnya.
2. Hak-hak pribadi (hak atas integritas dan integritas badaniah, kehormatan serta nama baik dsb)
3. Hak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki seseorang penyewa, hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih, undang-undang lingkungan hidup.
Dalam hal ini jelas bahwa hak anda untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan bersih telah terganggu akibat adanya cerobong asap tersebut.
|
perlukah pernikahan di daftarkan ke catatan sipil..?
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perlukah-pernikahan-di-daftarkan-ke-catatan-sipil-cl4170/
|
Saya WNI menikah dengan pria WNA Perancis, kami menikah di Perancis 2 tahun yang lalu, dan pernikahan kami sudah terdaftar di kedutaan masing-masing. Kami berdua adalah kristen, tapi karena sesuatu hal, kami tidak menikah di gereja. kami mempunyai satu orang putri. Tapi sampai saat ini kami belum mendaftarkan pernikahan kami di catatan sipil di Indonesia. Pertanyaan kami adalah sebagai berikut bagaimana status pernikahan kami, apakah kami harus mendaftarkannya di catatan sipil, apakah anak kami sah secara hukum Indonesia, bagaimana statusnya? Terimakasih atas bantuannya.
|
## ULASAN LENGKAP
Peraturan perundangan yang mengatur tentang perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda warga negara di Indonesia dan salah satu pihaknya berwarganegaraan Indonesia adalah Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan (**UU Perkawinan**) beserta dengan peraturan pelaksanaanya yaitu Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan (**PP 9/1975**). Untuk perkawinan seperti ini UU Perkawinan menyebutnya sebagai perkawinan campuran.
Mengenai perkawinan yang saudara langsungkan di luar Indonesia antara seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing, ditetapkan dalam pasal 56 UU Perkawinan bahwa perkawinan itu adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang Perkawinan. Misalnya perkawinan campuran yang dilangsungkan di Perancis maka hukum perkawinan Perancislah yang berlaku untuk perkawinan tersebut artinya semua syarat-syarat dari Undang-undang di Perancis tersebut harus dipenuhi.
Terhadap perkawinan ini dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Selain itu yang harus anda perhatikan adalah Undang-undang No 62 tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan beserta perubahannya (**UU Kewarganegaraan**), dimana dalam UU Kewarganegaraan tidak memberikan perlindungan terhadap pasangan campur (*mixed couples*), adanya diskriminasi didalam pernikahan antara laki-laki Indonesia dengan wanita asing (*foreign women*), dan wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki asing (*foreign men*) karena prinsip dari pada UU Kewarganegaraan menganut *azas ius sanguinis* (*blood line*) dimana apabila seorang laki-laki asing menikah dengan wanita Indonesia, anak yang lahir dari wanita Indonesia ini secara *automatically* mengikuti kewarganegaraan yang dianut bapaknya. Suami yang berkewarganegaraan asing dengan anak tersebut kedudukannya sama dengan *tourist* atau *visitor*. Untuk menjadi warga negara Indonesia harus mengajukan permohonan melalui pengadilan negeri.
|
Hak Guna Bangunan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-guna-bangunan-cl3045/
|
Saya saat ini mau membeli rumah di sebuah kompleks KORPRI. Namun konon ternyata status lahannya adalah Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha karena lahannya adalah milik Pemda dan rumah-rumah di lahan tersebut dibangun untuk kalangan Pegawai Pemda. Yang ingin saya tanyakan adalah: 1. Dengan status HGB atau HGU apakah berarti penguasaan tanah oleh pemilik rumah ada jangka waktunya? 2. Apakah tanah tersebut ada kemungkinan dicabut (diambil alih) oleh pihak Pemda (selaku pemilik) di masa mendatang? 3. Kalau penguasaan lahan dicabut oleh Pemda selaku pemilik lahan, apakah kompensasi yang diterima oleh si pemilik rumah? 4. Apakah cukup riskan bila beli rumah dengan status tanah HGU/HGB? 5. Biaya apakah yang biasanya timbul dalam transaksi jual beli tanah/rumah yang disertai balik nama atau serttifikasi? Dan berapa besar kira-kira biaya tersebut? 6. Biaya transaksi ini menjadi tanggung jawab siapa? Apakah penjual atau pembeli? Demikian pertanyaan ini disampaikan, terima kasih atas bantuan anda.
|
## ULASAN LENGKAP
1. Untuk soal ini, anda harus pastikan terlebih dahulu, apakah penjual adalah pegawai Pemda dan apakah ia telah membeli lunas rumah/tanah tersebut dari Pemda yang bersangkutan. Sebab rumah/tanah demikian dapat dibeli oleh pegawai yang menghuni, yang selanjutnya dapat menjadi Hak Milik. Meskipun ada jangka waktunya 20-30 tahun, dalam hal ini HGB atau Hak Pakai (bukan HGU) yang diberikan kepada pegawai yang menghuni rumah tersebut, menurut Keputusan Menteri Negara Agraria No.2/1998, dapat dimohonkan Hak Milik kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Jadi coba anda tanyakan penjual mengenai dokumen rumah tersebut, biasanya terdiri dari: Sertipikat HGB/Hak Pakai, Surat Tanda Bukti Pelunasan Harga Rumah/Tanah, SK Departemen PU bahwa tanah sudah menjadi milik pegawai yang bersangkutan, Surat Pelepasan Hak, dan bukti-bukti lain yang berkaitan. Dan jika masih HGB/Hak Pakai, usahakan untuk dirubah dulu menjadi Hak Milik ke BPN yang dimohon oleh pegawai (penjual) yang bersangkutan atau ahli warisnya.
2. Memang HGB atau Hak Pakai ada jangka waktunya, dan ketika jangka waktu yang diberikan habis maka tanah tersebut kembali menjadi tanah negara. Namun terkecuali terhadap tanah HGB atau Hak Pakai yang berasal dari tanah rumah tinggal yang telah dibeli pegawai negeri dari Pemerintah yang sudah habis jangka waktunya dan masih dipunyai oleh pegawai negeri yang bersangkutan atau ahli warisnya, maka tanah itu diberikan kepada pegawai negeri atau ahli warisnya dengan Hak Milik. Maka bagi pegawai negeri atau ahli warisnya, sebaiknya mendaftarkan tanah tersebut ke BPN untuk dirubah menjadi Hak Milik, agar status tanah tersebut menjadi jelas kepemilikannya dan tidak menjadi masalah dikemudian hari. Tanah yang sudah dibeli oleh pegawai negeri, meskipun masih HGB atau Hak Pakai tidak boleh dicabut oleh Pemda meskipun sudah habis jangka waktunya.
3. Seandainya Pemda memang berhak atas tanah itu suatu saat nanti, maka Pemda tidak bisa semena-mena mencabut tanah itu tanpa putusan pengadilan. Yang dapat anda lakukan adalah bertahan di rumah tersebut, sebab anda menguasai rumah secara sah. Sampai ada penyelesaian secara mufakat atau ada putusan pengadilan. Tetapi lagi-lagi anda sebaiknya melakukan poin pada angka dua sebagai tindak pencegahan.
Dalam hal pengambil alihan lahan sebagaimana yang ditanyakan, biasanya ada uang kerohiman yang besarnya sesuai kebijaksanaan pengambil lahan serta kesepakatan kedua belah.
4. Tidak ada resiko membeli tanah HGB atau Hak Pakai selama sertipikat atas tanah tersebut memang ada, dan sedapat mungkin atas nama orang yang menjual. Dan penting untuk diingat, untuk jual-beli yang menyangkut tanah, wajib hukumnya dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Hanya saja, biasanya rumah dengan tanah HGB atau Hak Pakai, harga jualnya dibawah rumah dengan tanah Hak Milik. Tetapi memang penguasaan lahan dengan HGB atau Hak pakai terbatas yaitu untuk HGB: 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. Walau demikian setelah habis masa berlakunya dapat diperbaharui. Sedangkan Hak Pakai berlaku selama 25 tahun dan dapat diperbaharui
5. Dalam transaksi jual beli rumah, biaya yang umum dikeluarkan yaitu: biaya pembuatan akta PPAT, Bea Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), biaya balik nama. Untuk berapa besarnya, hal itu dapat ditanyakan langsung kepada PPAT atau pejabat BPN mengenai biaya resminya.
6. Biaya transaksi tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak untuk siapa yang menanggungnya, bisa penjual, atau pembeli, atau 50:50.
|
Tanya tentang Hak Kepemilikan Tanah Negara
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/tanya-tentang-hak-kepemilikan-tanah-negara-cl4124/
|
Mohon informasinya apakah benar ada peraturan atau undang-undang yg mengatur bahwa tanah negara yg telah dipergunakan selama 20 tahun atau lebih dapat diubah statusnya menjadi hak Milik? Terimakasih
|
## ULASAN LENGKAP
Hal pertama yang harus diketahui terlebih dahulu adalah dengan dasar atau izin apa seseorang mempergunakan tanah negara dimaksud. Kemudian adakah surat-surat bukti penggunaan tanah didasarkan pada pembayaran pajak atas nama yang bersangkutan, misalnya: girik, IPEDA, atau PBB. Hal ketiga adalah apakah penggunaan tanah tersebut adalah untuk rumah tinggal? Dan berapa luasnya? (sebab penggunaan tanah negara untuk rumah tinggal yang luasnya 600m2 atau kurang dapat diberikan hak milik � Peraturan Pemerintah No.36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar).
Setelah diketahui ketiga hal di atas, maka seseorang tersebut dapat mengajukan permohonan kepada kantor Badan Pertanahan Negara setempat untuk hak milik dengan membayar Uang Pemasukan kepada Negara. (BPN memiliki formulir khusus permohonan hak atas tanah). Permohonan kepada BPN tersebut ada didalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah tersebut meliputi proses pembuktian, dimana harus dibuktikan dasar atau izin penggunaan tanah, disertai bukti pembayaran pajak sebagaimana telah disinggung di atas. Namun, bilamana bukti-bukti tersebut tidak lengkap, maka harus didasarkan pada kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, dengan syarat penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh orang yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
|
Hubungan Ketenagakerjaan di dalam Yayasan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hubungan-ketenagakerjaan-di-dalam-yayasan-cl4494/
|
Bagaimana sebetulnya secara umum hubungan intern pekerjaan diatur dalam suatu badan hukum yayasan. Apakah yayasan tersebut harus menundukkan diri pada institusi depnaker/dinas tenaga kerja.Bila terjadi konflik di kemudian hari, bagaimana lantas mekanisme penyelesaian konfliknya?
|
## ULASAN LENGKAP
Kami asumsikan "hubungan internal pekerjaan di yayasan" adalah hubungan kerja antara pegawai dan pengurus dari suatu yayasan. Berangkat dari titik tolak ini, yayasan sebagai salah satu badan hukum sosial termasuk ke dalam pengertian perusahaan menurut ketentuan umum dalam Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("**UU Ketenagakerjaan**").
Pada ketentuan umum UU tersebut disebutkan pengertian dari Perusahaan adalah:
a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dari pengertian di atas maka yayasan sebagai salah satu badan hukum sosial tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara Yayasan dalam hal ini diwakili oleh pengurus dengan pihak pekerja. Segala hal tentang tata cara hubungan kerja antara pengurus dan pekerja, termasuk didalamnya mengenai konflik yang muncul.
Mekanisme dalam menghadapi konflik (atau dalam term ketenagakerjaan perselisihan) yang muncul, akan mengacu pada ketentuan peraturan perundangan bidang ketenagakerjaan, dalam hal ini Undang-undang No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ("**UU No.2/2004**").
|
Klaim ASKES
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/klaim-askes-cl3250/
|
Saya saat ini sedang mengajukan klaim asuransi kepada PT. ASKES atas perawatan kami di RS. Swasta. Karena kami masuk RS melalui Gawat Darurat, klaim kami dapat diterima. Tetapi dari klaim kami sebesar Rp. 7,6 juta hanya dikabulkan sebesar Rp. 590 ribuan saja dengan alasan obat-obatan yang dipakai bukan yang termasuk dalam daftar PT. ASKES. Dalam hal ini harus bagaimanakah kami bersikap? Diterima saja atau ada jalan lain? Masalahnya adalah obat-obatan tersebut bukankah kami yang memilih melainkan dokter-dokter yang merawat kami. oleh karenanya obat-obatan tersebut *given* sifatnya. Atas bantuannya terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Permasalahan asuransi adalah permasalahan jamak yang penyelesaian akhirnya seringkali membuat konsumen di posisi yang lemah. Hubungan antara Perusahaan Asuransi dan nasabahnya diatur dalam perjanjian yang mengikat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Namun dalam pelaksanaannya posisi antara nasabah dan perusahaan asuransi seringkali timpang, dimana isi perjanjian dibuat dengan kata-kata yang sulit dipahami dan dibuat dalam tulisan kecil-kecil, (klausul baku) sehingga kesepakatan tersebut terjadi pada saat nasabah hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut seperti yang bapak alami. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat para nasabah asuransi sering tidak tahu apa yang menjadi haknya. Padahal konsumen asuransi mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebgaimana mestinya.
Yang dapat bapak lakukan saat ini adalah melihat kembali Perjanjian antara PT Askes dengan Bapak Imron, apabila tidak diatur tentang pembatasan obat yang harus digunakan, maka Bapak dapat meminta kompensasi sesuai apa yang menjadi kewajiban dari PT ASKES. Bahwa Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Apabila ada klausul yang mengatur tentang pembatasan obat yang harus diterima. Bapak perlu melihat apakah dibuat dalam bentuknya yang sulit terlihat, atau pengungkapannya sulit dimengerti, sehingga bapak dapat menuntut PT Askes seperti apa yang tertuang dalam Pasal 18 (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ("**UU Perlindungan Konsumen**") mengenai klausul baku yaitu :
*Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.*
Sehingga dalam hal ini pelaku usaha dapat dimintai tanggung jawab atas kewajibannya sesuai Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.
Permasalahan sengketa konsumen ini dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Bapak dapat meminta bantuan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam hal ini YLKI berkaitan dengan tugasnya yang antara lain membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atas pengaduan konsumen. Selain itu, dapat melaporkannya ke Badan Penyelesaian sengketa konsumen berkaitan dengan tugasnya melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Apabila pengusaha dalam hal ini PT Askes tetap tidak mau bertanggung jawab, maka sesuai Pasal 62 (1) UU Perlindungan Konsumen dimana dikatakan bahwa
*Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 di[idana dengan pidana penjara paling lama 5 (**lima**) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).*
Demikian jawaban kami, semoga di kemudian hari semakin banyak konsumen yang kritis untuk menuntut hak yang seharusnya didapat, terlebih dalam bisnis asuransi.
|
KUHD
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kuhd-cl4488/
|
Apa isi Pasal 176 & Pasal 145 KUHD? Apakah masih berlaku sampai sekarang?
|
## ULASAN LENGKAP
Kedua pasal tersebut, pasal 145 dan pasal 176, termasuk kedalam pengaturan mengenai surat-surat berharga yang diatur dalam titel 6 dan titel 7 dari Buku I Kitab-kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Menurut ahli hukum (Polak, Scheltema) surat berharga itu surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah diperdagangkan atau dialihkan.
Kedua pasal di atas mengatur tentang surat wesel dan surat sanggup. Keduanya termasuk dalam jenis surat berharga yang bersifat atas tunjuk dan atas pengganti. Perbedaan antar keduanya, diantaranya adalah wesel termasuk golongan surat "perintah" untuk membayar, sedangkan surat sanggup merupakan surat kesanggupan bayar atau janji untuk membayar.
KUHD mengatur beberapa jenis instrumen surat berharga yang bisa diperdagangkan, bagaimana bentuknya dan karakteristik dari surat berharga tersebut. Instrumen ini cenderung sederhana agar mudah dimengerti maupun dialihkan. Untuk memastikan keduanya maka aturan KUHD bersifat "memaksa", alias mengikat bagi surat berharga dengan jenis yang diatur dan diterbitkan berdasarkan aturan dalam KUHD.
Namun, dengan berkembangnya dunia bisnis dan keuangan, jenis surat berharga yang beredar sekarang tidak terbatas pada yang diatur dalam KUHD. Aturan terhadap surat berharga ini pun beragam, bergantung pada jenis serta otoritas yang bersangkutan, misalnya instrumen pasar modal diatur spesifik oleh BAPEPAM dan otoritas bursa (Bursa Efek Jakarta/Surabaya). Banyak pula instrumen surat berharga lain yang sifatnya kontraktuil, diterbitkan berdasarkan pada kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian diantara mereka. Para pihak dapat mengatur sendiri jenis instrumennya, bisa berbeda dengan KUHD selama tidak menamakan instrumen tersebut wesel, surat sanggup atau jenis lainnya yang diatur dalam KUHD.
Untuk memahami lebih lanjut tentang persoalan Surat Berharga ini, kami sarankan untuk membaca buku Emmy P.Simanjuntak tentang Hukum Dagang Surat-surat Berharga, atau buku HMN Purwosutjipto tentang Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Hukum Surat Berharga.
Sepanjang pengamatan kami, sampai saat ini kedua pasal tersebut masih berlaku. Berikut teks dari kedua pasal tersebut (dikutip dari KUHD terjemahan R. Subekti)
**Pasal 145**
Penarik, seorang endosan atau seorang pemberi aval, mereka itu dengan membubuhkan dan menandatangani di dalam surat wesel akan sebuah clausule "tanpa biaya", atau "tanpa protes" atau clausule lain yang sama maksudnya, bisa membebaskan si pemegang dari kewajibannya membuat protes non akseptasi atau non pembayaran, untuk melaksanakan hak regresnya.
Clausule ini tidak membebaskan dia dari kewajibannya mengunjukkan surat wesel itu dalam tenggang waktu yang ditentukan dan untuk melakukan pemberitahuan.
Bukti telah dilalaikannya sesuatu tenggang waktu harus diberikan oleh orang yang mengemukakannya, sebagai upaya pembelaan.
Jika clausule itu dibubuhkan oleh penarik, maka inipun mempunyai akibat-akibatnya terhadap sekalian mereka, yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel; jika clausule itu dibubuhkan oleh seorang endosan atau pemberi aval, maka clausule ini hanya mempunyai akibat-akibatnya bagi endosan atau pemberi aval tersebut. Apabila pemegang, biar penarik telah membubuhkan clausulenya, masih membuat protesnya, maka segala biaya protes adalah atas tanggungan dia. Apabila clausule itu berasal dari seorang endosan atau seorang pemberi aval, make segala biaya protes, kalaupun prates ini telah dibuatnya, boleh ditagihkan kepada sekalian mereka, yang tandatangannya terdapat dalam surat-wesel itu.
**Pasal 176**
Seberapa jauh tidak taksesuai dengan sifat surat sanggup, makaa berlakulah terhadapnya segala ketentuan mengenai surat wesel tentang:
endosemen (pasal 110-119);
hari bayar (pasal132-136);
hakregres dalam hal non pembayaran (pasal 142-149, 151-153);
pembayaran dengan perantaraan (pasal 154, 158, 162);
turunan surat wesel (pasal 166 dan 167);
surat-wesel yang hilang (pasal 167a);
perubahan (pasal 168);
daluwarsa (pasal 168a dan 169-170);
hari raya, menghitungnya tenggang waktu dan larangan penangguhan hari (pasal 171, 171a, 172 dan 173).
Demikianpun berlakulah terhadap surat sanggup itu segala ketentuan tentang surat wesel yang harus dibayar ditempat tinggal seorang ketiga atau ditempat lain daripada tempat si tertarik mempunyai domisilinya (pasal 103 da 126), tentangclausule bunga (pasal 104), tentang adanya selisih dalam penyebutan mengenai jumlah uang yang harus dibayar (pasal 105), tentang akibat-akibat dari penempatan tandatangan dalam hal tak adanya keadaan-keadaan sebagaimana dimaksud oleh pasal 106, dari penempatan tandatangan oleh seseorang, yang bertindak dengan tidak berhak atau yang melampaui batas haknya (pasal 107) dan tentang surat wesel dalam blanko (pasal 109)
Demikianpun berlakulah juga terhadap surat sanggup itu segala ketentuan tentang aval (pasal 129-131); apabila sesuai dengan ketentuan pasal 130 ayat terakhir, aval itu tidak sebutkan untuk siapa ia diberikannya, maka iapun dianggap diberikan atas tanggungan penandatangan surat sanggup.
Semoga bermanfaat.
|
upah selama masa skorsing
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/upah-selama-masa-skorsing-cl3127/
|
Menurut UU 13 /2003 pasal 155 ayat (3) dikatakan bahwa Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 155 ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah berserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Selama masa skorsing dalam proses pemutusan hubungan kerja, 4 bulan pertama dibayar 75% alasannya di PK perusahaan ditentukan hal tersebut. Pada bulan ke 5 dan 6 dibayar 100% karena PK telah diperbaharui. Tetapi setelah sidang P4D diadakan dan belum ada keputusan dari P4D, perusahaan tidak bersedia membayar upah dan hak-hak lain yang biasa diterima pekerja lagi.
Pertanyaan saya: apakah benar hal yang dilakukan perusahaan dan dasar hukumnya apa ? Jika hal diatas merupakan penyimpangan, tindakan apa yang dapat dilakukan pekerja?
|
## ULASAN LENGKAP
Pasal 155 ayat 3 Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (**UU Ketenagakerjaan**) mengatur tentang pengecualian cara pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Dimana bila terjadi perselisihan perburuhan antara pekerja/buruh dengan pengusaha maka si pengusaha dapat melakukan skorsing kepada si pekerja, walaupun perselisihan tersebut masih dalam proses pemutusan hubungan kerja, dan pengusaha tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Bila dalam kasus saudara si pengusaha atau perusahaan tetap tidak mau membayarkan upah atau melaksanakan kewajiban lainnya menurut UU Ketenagakerjaan maka pekerja dapat melaporkannya ke Disnaker Bidang pengawasan ketenagakerjaan. Karena tindakan yang dilakukan oleh perusahaan saudara bertentangan dengan aturan peraturan yang berlaku (UU Ketenagakerjaan).
|
Pegawai kontrak dan pasal 62
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pegawai-kontrak-dan-pasal-62-cl4438/
|
saya adalah pekerja waktu tertentu yang dibayar bulanan, yang mengundurkan diri sebelum masa kontrak habis. Alasan mengundurkan diri adalah tidak ada job description yang jelas (saya diperintahkan bekerja untuk kepentingan pribadi atasan saya, sebagai distributor MLM). Apakah pasal 62 berlaku? Apakah saya harus mengganti senilai uang kontrak yang belum saya terima? Saat ini perusahaan menahan ijazah saya sebagai jaminan agar saya membayar penalty tersebut.
|
## ULASAN LENGKAP
Menurut UU Ketenagakerjaan pasal 61 ayat 1 perjanjian kerja berakhir apabila: (a) pekerja meninggal dunia; (b) berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; (c) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau (d) adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena hal-hal yang di atas, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja (pasal 62 UU Ketenagakerjaan). Dalam hal ini karena saudara yang mengajukan pemutusan hubungan kerja PKWT maka anda sebagai pihak yang mengundurkan diri diwajibkan oleh UU untuk membayar sejumlah uang sebesar upah sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Jadi dalam hal ini, menurut kami pasal 62 UU Ketenagakerjaan tetap berlaku. Disamping itu, UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigasi RI No.Kep-100/Men/VI/2004) tidak menyebutkan atau mengatur tentang persoalan pihak pekerja PKWT yang mengundurkan diri, karena persoalan pengunduran diri hanya dikenal pada jenis hubungan kerja yang bersifat tidak tertentu (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu).
|
kepailitan personal guarantor
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kepailitan-personal-guarantor-cl537/
|
Apakah sudah ada yurisprudensi yang menetapkan bahwa *personal guarantor* (penjamin hutang perorangan) dapat dipailitkan? kalau sudah ada, dalam putusan apa?
|
## ULASAN LENGKAP
Pada dasarnya penjaminan pribadi merupakan bagian dari skema perjanjian penanggungan yang diatur pada KUH Perdata (Bab XVII KUH Perdata). Inti dari perjanjian penanggungan adalah *adanya pihak ketiga yang setuju untuk kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, apabila pada waktunya si berutang sendiri tidak berhasil memenuhi kewajibannya* (Pasal 1820 KUH Perdata). Berbeda dengan skema jaminan lainnya, yaitu jaminan kebendaan yang memberikan hak penuh kepada kreditur atas suatu hak kebendaan spesifik apabila terjadi kegagalan pemenuhan prestasi (misal: gadai, fidusia), maka perjanjian penanggungan hanya memberikan kreditur hak umum untuk menagih kepada pihak-pihak yang telah mengikatkan diri sebagai penanggung dalam hal kegagalan pembayaran, sehingga kedudukan kreditur yang dijamin oleh penanggung masih berada di bawah kreditur yang dijamin oleh hak jaminan kebendaan.
Perjanjian penanggungan sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh pribadi dan penanggungan yang dilakukan oleh badan hukum (*personal guarantee* dan *corporate guarantee*). Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban yang dimiliki penanggung pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja subyek pelakunya berbeda.
Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah, khususnya apabila penanggung adalah penanggung perusahaan. Pengadilan Niaga pernah menerima dan memutus pailit berbagai permohonan pailit yang ditujukan kepada penanggung perusahaan.
Namun tidak demikian halnya dengan permohonan pailit yang diajukan terhadap penjamin pribadi. Catatan kami menunjukkan bahwa hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan terhadap penjamin pribadi, begitu juga kasus dipailitkannya penjamin pribadi oleh majelis hakim niaga. Tidak ada penjelasan mengenai hal itu, tapi secara umum ada kecenderungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur pribadi untuk alasan praktis.
Paling tidak pada perkara-perkara berikut ini penjamin pribadi dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, yatu
1. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap PT. Ilmu Intiswadaya (debitur utama), Linda Januarita Tani (penjamin pribadi), dan PT. Optimal Teknindo Internasional (penjamin perusahaan) (Putusan No. 79/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT. PST.)
2. Bank Credit Lyonnais Indonesia terhadap PT. Sandjaja Graha Sarana (penjamin perusahaan), Tjokro Sandjaja (penjamin pribadi), dan Patricia Sandjaja (penjamin pribadi) (Putusan No.29/PAILIT/1999/PN.NIAGA/ JKT. PST.)
3. Hasim Sutiono dan PT. Muji Inti Utama terhadap PT. Kutai Kartanegara Prima Coal (penjamin perusahaan) dan Ny. Iswati Sugianto (penjamin pribadi) (Putusan No. 18/PAILIT/1998/ PN.NIAGA/JKT.PST.)
Namun apabila berbicara apakah perkara-perkara tersebut di atas telah merupakan suatu yurisprudensi, maka jawabannya BELUM TENTU. Karena yang dianggap sebagai yurisprudensi yang mengikat oleh Mahkamah Agung adalah putusan-putusan yang telah diterbitkan dalam buku yurisprudensi terbitan Mahkamah Agung. Tidak semua putusan Mahkamah Agung adalah otomatis menjadi yurisprudensi, karena putusan-putusan tersebut akan dikompilasi oleh Seksi Penelaahan pada Direktorat Perdata Niaga dan kemudian melalui proses tertentu di seleksi kembali oleh Direktorat Hukum & Peradilan Mahkamah Agung untuk kemudian diterbitkan pada buku yurisprudensi.
|
Masa pengunduran diri pada UU tenaga kerja yang lama dan baru
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/masa-pengunduran-diri-pada-uu-tenaga-kerja-yang-lama-dan-baru-cl4415/
|
Saya mohon bantuan, Apakah betul di UU tenaga kerja sebelum ini (no 13/2003) diatur bahwa pengunduran diri karyawan selambat-lambatnyanya 2 bulan sebelum tanggal pengunduran diri. Sebab peraturan yang baru UU no 13/2003 yang saya tahu hanya 1 bulan. Mohon berikan saya acuan atau kopian yang menyatakan hal tersebut
|
## ULASAN LENGKAP
Sebelum berlakunya Undang-undang No.13 tahun 2000 tentang Ketenagakerjaan (**UU Ketenagakerjaan**) yang menjadi pedoman untuk persoalan jangka waktu pengajuan pengunduran diri bagi pekerja/ buruh adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-78/Men/2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep-150/Men/2000 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, Dan Ganti Kerugian Di Perusahaan (Kepmen **78/2001**).
Dalam Butir 7 Kepmen 78/2001 dikatakan bahwa
…… Pengunduran diri secara baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertai alasannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
……..
Bila kita bandingkan dengan pasal 162 UU Kenagakerjaan dinyatakan bahwa
…….Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
……….
Maka akan terlihat tidak adanya perbedaan dalam jangka waktu pengajuan pengunduran diri oleh pekerja/ buruh, yakni selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Dan bukannya 2 bulan.
|
Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan Perjanjian Internasional?
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/konvensi-wina-1969-induk-pengaturan-perjanjian-inrenasional-cl4268/
|
mohon penjelasan sejelas-jelasnya mengenai pernyataan bahwa konvensi wina 1969 sebagai induk pengaturan perjanjian internasional dan mohon referensi yang bagus mengenai hal tersebut.. terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 (**Vienna** **Convention 1969**) mengatur mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi ini pertama kali *open for ratification* pada tahun 1969 dan baru *entry into force* pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, *good faith*, *pacta sunt servanda* dan perjanjian tersebut terbentuk atas *consent* dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention 1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari *opinion juris*).
Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (*code of conduct* yang mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi, reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional (seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada tahun 2002 lalu). Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah apabila ada tren internasional baru.
Maka Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya. Untuk referensi mengenai Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari *general comment* dan *traveaux preparatoir* dari konvensi ini maupun dari buku-buku karangan T.O. Elias dan I.M. Sinclair mengenai *Law of Teaties*.
|
uu 13 atau kep men 150 ?
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/uu-13-atau-kep-men-150--cl2803/
|
Menurut ketentuan peralihan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam pasal 191 dikatakan bahwa�semua peraturan... tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/ atau belum diganti dengan peraturan baru.... Apakah artinya "dan/ atau" dalam pasal tersebut diatas ? Apakah dapat diartikan bahwa kepmen masih berlaku karena belum ada Kepmen pengganti yang sesuai dengan UU?
|
## ULASAN LENGKAP
Dalam bahasa Indonesia [lihat kamus besar] secara harfiah dan digunakan sebagai pengait (mencakup dua atau lebih unsur). Sedangkan atau digunakan sebagai pemisah yang berarti salah satu dari dua atau lebih unsur. Kedua kata tersebut tidak seharusnya digunakan bersamaan karena arti harfiahnya berbeda – bahkan bertolak belakang. Namun idiom dan/atau memang sering kita temui dalam dokumen hukum Indonesia, bukan saja peraturan perundangan namun juga perjanjian.
Kalangan hukum di seluruh dunia selalu berpendapat bahasa hukum memang berbeda dengan bahasa pada umumnya, walau akibatnya sulit dimengerti orang awam. Dasar pembenar utamanya adalah bahasa hukum haruslah akurat, hingga perbedaan arti maupun penafsiran jadi lebih sempit. Mari kita lihat apakah penggunaan ídiom dan/atau memastikan akurasi.
Kalangan hukum lazimnya mengartikan dan/atau mencakup kedua (atau lebih) unsur maupun salah satu saja. Menurut UU No. 10/2004 tentang tatacara pembentukan peraturan perundangan (lihat lampiran angka 70, 95 dan 228) dan/atau digunakan [untuk menuangkan maksud] sifat kumulatif dan alternatif secara bersamaan suatu rumusan atau rincian, terutama menyangkut ketentuan pidana. Misalnya suatu ketentuan pidana memuat ancaman pidana penjara dan/atau denda. Pembuat undang-undang bermaksud memberi diskresi pada hakim untuk menjatuhkan pidana penjara saja, denda saja atau penjara dan denda sekaligus.
Jika kita terapkan pada pasal 191 UU 13/ 2003, maka setiap dan semua (ehem.. kumulatif dan alternatif) peraturan pelaksana dari undang-undang yang dicabut tetap berlaku selama: (i) belum diganti; (ii) tidak bertentangan dengan UU 13/2004; atau (iii) belum diganti dan juga tidak bertentangan dengan UU 13/2004. Yang menonjol dalam norma ini adalah bertentangan atau tidaknya peraturan pelaksana, karena kalaupun diganti atau belum jika bertentangan pastinya jadi tidak berlaku. Karenanya, sebetulnya Pasal 191 tidak perlu menggunakan dan/atau, cukup atau saja.
|
Sengketa tanah
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/sengketa-tanah-cl4314/
|
1. Bagaimana dalam penyelesaian sengketa tanah korban menang dan si pelaku minta ganti rugi karena diatas tanah sudah ditanami karet sebanyak 200 batang sedangkan korban adalah orang tidak mampu / miskin ? 2. Bagaimana tanggung jawab BPN yang membuat sertifikat ganda / tumpang tindih ? 3. Mengapa sengketa tanah dalam penyelesaiaannya selalu memakan waktu bertahun - tahun dan memakan biaya yang banyak ?
|
## ULASAN LENGKAP
1. Jika dalam suatu sengketa tanah, penggugat (korban) dimenangkan dan tergugat lalu meminta ganti rugi atas suatu barang atau aset lain yang terlanjur dibangun atau ditanam oleh Tergugat di area tanah sengketa maka hal-hal yang harus diperhatikan ialah : 1) jika putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka tanah tersebut telah resmi milik Penggugat. 2) jika amar putusan tidak menyinggung masalah barang atau aset yang terletak diatas tanah sengketa, maka aset tersebut tetap milik Tergugat dan kedua belah pihak bisa memusyawarahkannya. Misalkan dengan membuat solusi yakni membagi keuntungan atas hasil perkebunan tersebut dengan mempertimbangkan bahwa secara hukum tanah tersebut milik Penggugat dan Tanaman tersebut ditanam oleh Tergugat. Hal ini sesuai asas pemisahan horizontal dalam sistem hukum pertanahan Indonesia.
2. BPN harus bertanggung jawab atas tumpang tindihnya sertifikat. Secara prosedural BPN berkewajiban untuk melakukan penelitian ketika diketahui terdapat masalah/ tumpang tindih dalam penerbitan sertifikat. Beberapa hal yang diteliti oleh BPN diantaranya ialah data fisik dan data yuridis yang dalam pelaksanaannya biasanya dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk BPN. Setelah semua penelitian dilakukan, maka BPN berkewajiban untuk membatalkan salah satunya dan mengumumkannya kepada publik.
3. Semestinya sengketa tanah bisa diputuskan dengan cepat, hal ini karena : 1) BPN sendiri memiliki badan dan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tanah. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali masalah prosedur penyelesaiannya yang dipersulit. 2) terdapatnya mekanisme musyawah dalam penyelesaian kasus sebelum berlanjut ke pengadilan. Akan tetapi dalam prakteknya para pihak seringkali mengabaikan proses tersebut.
Akan tetapi, proses perdata di Pengadilan dari Pengadilan negeri sampai dengan Mahkamah Agung memang memakan waktu yang cukup lama, bukan karena jenis kasusnya yang berupa sengketa tanah, melainkan karena banyaknya kasus yang menumpuk di Pengadilan.
|
Hak cipta di Internet
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-cipta-di-internet-cl3087/
|
Misalnya kita hendah membuat suatu artikel atau media informasi yang akan di sebar luaskan dengan sumber atau gambar-gambar yang diambil dari internet atau media lainnya. Pertanyaanya : 1. Apakah hanya dengan menuliskan sumber berita dari media yang kita ambil tanpa meminta izin dari media tersebut merupakan pelanggaran hak cipta ? dan apakah sangsinya ? 2. Termasuk dalam jenis pendidikan atau komersialkah apabila kita mengirimkan artikel tersebut pada suatu media cetak dimana media tersebut bersifat komersial ? 3. Apakah bedanya bila kita mengambil gambar dari internet atau media lain dan menulis sumbernya dengan mengambil suatu informasi dari buku referensi dan menuliskan sumbernya, sedangkan kedua-duanya akan di sebar luaskan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
1. Menurut saya tidak, sepanjang informasi yang ditayangkan memang diperoleh dengan cara yang tidak melawan hukum. Jika bapak mengutip suatu pendapat ke dalam suatu tulisan, maka pengungkapan sumbernya mungkin sudah cukup dan atau tidak mengambil utuh seluruh ciptaan. Namun, untuk pemakaian gambar tentunya tidak cukup karena ada *image* seseorang yang akan dipergunakan. Sebagai contoh, jika seseorang memfoto Anda di kamar kecil dan meng-*upload-*nya di Internet, apakah Anda tidak punya hak untuk tidak mengizinkan orang lain melihatnya?
2. Tindakan tersebut termasuk jenis komersil, karena ada nilai ekonomis yang Anda terima, baik materil maupun immateril.
3. Mengambil gambar dari suatu media dan mengambil informasi dari suatu referensi jelas berbeda. Kita perlu melihat kembali kepada jenis datanya. *Image* seseorang melekat pada diri orang yang ada dalam *image* tersebut, sedangkan untaian teks tidak.
|
Syarat sah perjanjian dalam e-commerce
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-sah-perjanjian-dalam-ecommerce-cl531/
|
Seperti diketahui, e-commerce itu mencakup B2C dan B2B dan dapat dilakukan melalui IRC, e-mail dan web. Dimensi e-commerce juga mencakup transaksi antar pihak domestik (nasional) maupun antar pihak domestik dan non domestik (internasional). Dalam perjanjian apa pun kita harus memperhatikan BW sebagai pedoman dalam pembentukan perjanjian. Lalu, apakah transaksi e-commerce B2C melalui website telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 BW? Kapankah saat lahir perjanjian dalam transaksi tersebut? Siapa sajakah pihak yang teribat dalam e-commerce selain penjual dan pembeli?
|
## ULASAN LENGKAP
Setuju dengan pendapat anda, bahwa suatu transaksi harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Karena prinsip yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) bisa dibilang prinsip universal dari transaksi.
Pemahaman yang berkembang selama ini, syarat perjanjian yang tertera dalam ps. 1320 KUH Perdata hanya bisa berlaku untuk transaksi konvensional. Padahal tidak demikian halnya, perkembangan teknologi adalah satu dari sebuah realitas teknologi. Realitas teknologi hanya berperan untuk membuat hubungan hukum konvensional bisa berlangsung efektif dan efisien.
Gambarannya adalah sebagai berikut, dalam transaksi jual beli tetap saja dikenal proses pembayaran dan penyerahan barang. Apakah dalam *e-commerce* tidak ada pembayaran dan peneyerahan barang, saya pikir tetap saja ada. Dari situ disimpulkan bahwa, dengan adanya internet atau *e-commerce* hanyalah membuat jual beli atau hubungan hukum yang terjadi menjadi lebih singkat, mudah, dan sederhana. Secara hukum, tidak ada perubahan konsepsi dalam suatu transaksi yang berlangsung.
Kemudian, kapan suatu perjanjian dalam transaksi *e-commerce* tersebut berlangsung tentunya sangat berkaitan erat dengan siapa saja suatu transaksi tersebut dilakukan. Dalam transaksi biasa, perjanjian berakhir ketika masing-masing pihak melakukan kewajibannya masing-masing.
Sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi yang berlangsung secara *on line*. Namun memang tidak sesederhana jika dibandingkan dengan transaksi konvensional. Dalam transaksi *on line*, tanggung jawab (kewajiban) atau perjanjian tadi dibagi kepada beberapa pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Paling tidak ada tiga pihak yang terlibat dalam transaksi *on line* baik B2B (*business to business*) dan B2C (*business to cumsomer*), antara lain perusahaan penyedia barang (*seller*), kemudian perusahaan penyediaan jasa pengriman (*packaging*), dan jasa pembayaran (*bank*).
Biasanya disetiap bagian pekerjaan (penawaran, pembayaran, pengiriman) masing-masing pihak membagi tanggung jawab sesuai dengan kompetensi masing-masing. Pada proses penawaran dan proses persetujuan jenis barang yang dibeli maka transaksi antara penjual (*seller*) dengan pembeli (*buyer*) selesai. Penjual menerima persetujuan jenis barang yang dipilih dan pembeli menerima konfirmasi bahwa pesanan atau pilihan barang telah diketahui oleh penjual.
Bisa dikatakan bahwa transaksi antara penjual dengan pembeli dalam tahapan persetujuan barang telah selesai sebagian sambil menunggu barang tiba atau diantar ke alamat pembeli. Karena biasanya Bank baru akan mengabulkan permohonan dari pembeli setelah penjual menerima konfirmasi dari Bank yang ditunjuk oleh penjual dalam transaksi *e-commerce* tersebut. Setelah penjual menerima konfirmasi bahwa pembeli telah membayar harga barang yang dipesan, selanjutnya penjual akan melanjutkan atau mengirimkan konfirmasi kepada perusahaan jasa pengiriman untuk mengirimkan barang yang dipesan ke alamat pembeli. Setelah semua proses terlewati, dimana ada proses penawaran, pembayaran, dan penyerahan barang maka perjanjian tersebut dikatakan selesai seluruhnya atau perjanjian tersebut telah berakhir.
Pihak yang terkait langsung dalam transaksi paling tidak ada empat pihak yang terlibat, diatas telah disebutkan antara lain; penjual, pembeli, penyedia jasa pembayaran, penyedia jasa pengiriman. Demikian, semoga bisa bermanfaat.
|
kepailitan dan likuidasi perseroan terbatas
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kepailitan-dan-likuidasi-perseroan-terbatas-cl4292/
|
Apakah perseroan terbatas dalam likuidasi dapat mengajukan permohonan pailit dan terhadapnya diajukan permohonan pailit, sehubungan dengan perubahan undang-undang yang ada? dan Bagaimanakah cara berjalannya proses tersebut secara bersamaan?
|
## ULASAN LENGKAP
Ada dua pertanyaan yang bisa dijawab disini, pertama adalah apakah PT dalam likuidasi dapat mengajukan permohonan pailit? Selanjutnya apakah PT dalam likuidasi dapat dipailitkan? Khususnya dengan Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ("**UUK**")
Untuk menjawab kedua masalah ini, haruslah dimengerti bahwa pada dasarnya suatu proses likuidasi belumlah mengakibatkan berakhirnya status suatu badan hukum. Berdasarkan Undang-undang No.1 tahun 1995 mengenai Perseroan Terbatas ("**UUPT"**), pembubaran suatu PT harus diikuti dengan likuidasi, dan selanjutnya berdasarkan Pasal 119 (1) UUPT, perseroan tersebut masih boleh melakukan tindakan hukum sebatas untuk melakukan pemberesan/likuidasi.
Hal ini mengimplikasikan fakta, bahwa sampai likuidasi suatu perseroan terbatas diselesaikan, dan diumumkan di berita negara dan tambahan berita negara serta dua surat kabar (pasal 124 UUPT), maka hukum masih menganggap perseroan tersebut masih ada dan hidup, oleh karenanya dalam hal perseroan terbatas dalam likuidasi ingin bertindak sebagai kreditur dalam suatu kepailitan, maka sepanjang permohonan kepailitan yang diajukan perseroan terbatas dalam likuidasi adalah dalam rangka likuidasi, maka hal itu jelas dapat dilakukan.
Selain itu, dengan belum paripurnanya proses likuidasi juga berakibat perseroan terbatas dalam likuidasi dapat diajukan pailit sebagai debitur. Lihat antara lain putusan Mahkamah Agung dalam perkara permohonan kepailitan BPPN terhadap PT Muara Alas Prima (dlk)
Sementara itu, apabila berbicara tentang UUK baru ini sendiri telah menegaskan secara literal, bahwa definisi ‘setiap orang' yang termasuk dalam definisi kreditur, maupun debitur (pasal 1 ayat 2 dan 3 UUK) adalah termasuk juga orang perseorangan atau korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum dalam likuidasi.(Pasal 1 ayat (11) UUK).
Mudah-mudahan dapat memberikan kejelasan bagi anda.
|
Perbuatan melawan hukum
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbuatan-melawan-hukum-cl2550/
|
Mohon dapat dijelaskan mengenai unsur-unsur perbuatan melawan hukum dan apakah pembatalan suatu rencana kerja secara sepihak sebelum adanya kontrak kerjasama dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum?
|
## ULASAN LENGKAP
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara kerugian dan perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000[Lihat Semua Kelas](https://learning.hukumonline.com/)
Persoalan "rencana kerja" dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau tidaknya rencana kerja (rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak, maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.
Suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, termasuk kebiasaan, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu. Dengan kata lain, antara kerugian dan perbuatan harus ada hubungan sebab akibat yang langsung; kerugian itu disebabkan karena kesalahan pelakunya. Kesalahan dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian).
Perbuatan melawan hukum tidak hanya terdiri atas satu perbuatan, tetapi juga dalam tidak berbuat sesuatu. KUHPer menentukan pula bahwa setiap orang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga terhadap kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan orang-orang yang ditanggungnya, atau karena barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.
Persoalan "rencana kerja" dalam dunia usaha bisa kita lihat dari dua sudut pandang, tergantung pada kebiasaan bisnis/usaha dalam hal mengikat atau tidaknya rencana kerja (rencana untuk melakukan pekerjaan diwaktu akan datang). Jika pembicaraan rencana kerja tersebut dianggap telah menghasilkan kesepakatan sehingga mengikat para pihaknya, maka pemutusan rencana kerja secara sepihak dapat dianggap telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum. Namun jika tidak, maka akan sulit untuk mengatakan unsur-unsur perbuatan melawan hukum telah ada.
|
Kekuatan Hukum Penjelasan atas Undang Undang
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kekuatan-hukum-penjelasan-atas-undang-undang-cl3276/
|
Bagaimana sesungguhnya kekuatan hukum dari penjelasan atas UU? Apakah sama mengikatnya dengan UU? Bagaimana jika penjelasan suatu pasal dalam UU ternyata bertentangan dengan pasal lainnya dalam UU tersebut? Terima kasih atas bantuannya.
|
## ULASAN LENGKAP
Sistematika peraturan merupakan jalinan berbagai ketentuan yang terklasifikasi secara tepat dan urutan yang teratur. Klasifikasi tersebut pada umumnya menggunakan kerangka yang mirip dan komponen-komponen kerangka tersebut diatur dalam bagian lampiran Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (**UU no.10/2004**).
Sistematika peraturan terdiri dari dua kerangka dasar, kerangka formal dan kerangka materil. Dua kerangka ini tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi. Perbedaan antara keduanya terletak pada unsur-unsur yang menjadi penopangnya.
Kerangka formal menyediakan wadah untuk mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
· identitas peraturan;
· konteks sosial lahirnya perraturan;
· para pihak yang bertanggung jawab melahirkan peraturan tersebut;
· peraturan induk yang berkaitan langsung dengannya;
· isi peraturan;
· relasinya dengan peraturan-peraturan lain; dan
· waktu peraturan tersebut berlaku di dalam masyarakat.
Dalam istilah yang lebih khusus tiap unsur tersebut adalah:
· Judul;
· Pembukaan;
· Batang Tubuh;
· Penutup;
· Penjelasan (biasanya hanya ada dalam Undang-undang); dan
· Lampiran (bila diperlukan).
Isi utama sebuah peraturan berada dalam bagian Batang tubuh. Batang tubuh memuat ketentuan-ketentuan normatif. Ketentuan tersebut menjadi pedoman bagi tiap orang yang dituju oleh peraturan. Perbedaan dari setiap peraturan mulai dari keluasan ruang lingkup, daya jangkau terhadap pihak-pihak yang dituju sampai dengan tingkat kerincian pengaturannya.
Komponen ketentuan yang terdapat dalam sebuah peraturan lengkap, terdiri dari:
· Kelompok ketentuan definisi;
· Kelompok ketentuan utama;
· Kelompok ketentuan pelaksanaan atau penegakan;
· Kelompok ketentuan sanksi;
· Kelompok ketentuan penyelesaian sengketa;
· Kelompok ketentuan pembiayaan atau penyediaan fasilitas pendukung; dan
· Kelompok ketentuan teknis.
Penjelasan merupakan uraian dari pembentuk peraturan. Melalui penjelasan pihak-pihak yang dituju oleh peraturan akan mengetahui tentang latar belakang pembentukan peraturan, maksud dan tujuan pembentukan peraturan, dan segala sesuatu yang dipandang oleh pembentuk peraturan perlu dijelaskan (hanya Undang-undang yang memuat bagian penjelasan).
Penjelasan biasanya terdiri dari dua bagian. Pertama, Penjelasan Umum yang berisikan uraian naratif tentang masalah sosial yang menjadi perhatian dan hendak diselesaikan, penyebab-penyebab munculnya masalah tersebut, dan jalan keluar yang menjadi pilihan pembentuk undang-undang. Kedua, Penjelasan Per Pasal. Bagian ini merupakan uraian naratif tentang hal-hal yang dipandang perlu. Yakni menjelaskan dasar pemikiran, menjabarkan pengertian, atau memberikan contoh-contoh yang relevan untuk ketentuan-ketentuan yang ada dalam pasal-pasal pertauran tersebut.
Tidak semua pasal memerlukan penjelasan. Biasanya hanya sebagian kecil saja. Suatu anjuran yang perlu menjadi perhatian dalam merancang peraturan, yakni usahakan setiap ketentuan tidak memerlukan penjelasan lagi. Penjelasan dapat menyulitkan pemahaman para pengguna. Tidak jarang penjelasana pasal malah menimbulkan semakin banyak penafsiran. Dengan kata lain, penjelasan dapat mempengaruhi efektifitas pelaksanaan peraturan.
|
sengketa kepemilikan tanah
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/sengketa-kepemilikan-tanah-cl1210/
|
Sengketa tentang sertifikat hak atas tanah seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi jika batas waktu pasal 55 Undang-undang�No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni 90 hari sudah lewat, apakah dapat diajukan ke Pengadilan Negeri? apakah perbedaannya penanganan mengenai perkara tentang sertifikat hak atas tanah bila diperiksa di Pengadilan Negeri dibandingkan dengan pemeriksaan di Pengadilan Tata Usaha Negara?
|
## ULASAN LENGKAP
Yang menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara (**PTUN**) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 53 Undang-undang No 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau **UU 5/86**), Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak mengeluarkan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), BPN merupakan Jabatan Tata Usaha Negara, sehingga jika ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak memeriksa dan mengadili adalah PTUN (kompetensi/ kewenangan absolute). Sesuai dengan Pasal 55 UU 5/86 yakni gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, jadi apabila telah lewat 90 hari, PTUN tidak dapat lagi menerima gugatan tersebut, demikian juga dengan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan lainnya tidak dapat menerima gugatan tersebut karena objek gugatannya yaitu Keputusan Tata Usaha Negara tidak merupakan kewenangan Pengadilan tersebut.
Sebelum masuk ke pengadilan, ada upaya yang bisa ditempuh untuk pembatalan hak atas tanah, jika seseorang merasa dalam penerbitannya ada cacat hukum administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999 (**Permen Agraria 9/1999**) Pasal 106 ayat (1) jo Pasal 119 dikatakan bahwa Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dimohonkan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan ----Pasal 106 ayat (1). Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan----Pasal 119. Jadi siapa saja yang merasa dirugikan dengan adanya penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan dia menganggap penerbitan tersebut cacat hukum administratif,
Dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah :
a. kesalahan prosedur
b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
c. kesalahan subjek hak
d. kesalahan objek hak
e. kesalahan jenis hak
f. kesalahan perhitungan luas
g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah
h. data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
i. kesalahan lainnya yang bersifat administrative
Di dalam Pasal 3 UU 5 /1986 juga disebutkan bahwa
(1) apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hak tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
(2) Jika suatu Badan Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan
Ayat 1 dari pasal 3 tersebut menentukan prinsip dasarnya, yaitu bahwa setiap badan atau Jabatan TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya. Kalau ia melalaikan kewajibannya itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang diterimanya itu, undang-undang menganggap ia telah berbuat menolak permohonan tersebut. Keputusan tersebut bersifat fiktif dan negatif karena Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat apa-apa dan tidak mengeluarkan suatu keputusan apapun tetapi oleh undang-undang dianggap telah mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi suatu penolakan atas suatu permohponan yang telah diterimanya itu.
Sehingga permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan ke BPN, jika tidak ditanggapi oleh BPN maka BPN dianggap telah mengeluarkan penetapan tertulis yang berisi penolakan permohonan tersebut. Oleh karena itu terhadap BPN yang dianggap telah mengeluarkan Penetapan Tertulis penolakan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan jangka waktu 90 hari dihitung setelah pejabat TUN yang bersangkutan dianggap mengeluarkan putusan (lihat pasal 3 ayat 2 & 3 UU 5 /1986)
Tapi memang sering terjadi sengketa tentang Sertifikat Hak atas tanah disidangkan di Pengadilan Negeri. Ada Jurispudensi tetap HR sejak sebelum tahun-tahun Perang Dunia II diikuti dan dianut oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Sejak jaman masih berlakunya pasal 2 RO Ind (bunyinya sama dengan Pasal 2 RO Ned) sampai sekarang, walaupun setelah adanya Pasal 50 UU 2/86 dan sejak berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Jurisprudensi tetap tersebutlah pada awalnya yang diikuti oleh hakim Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara Tata Usaha Negara terutama Keputusan-keputusan pemerintah atau penguasa yang sering merugikan hak-hak atau kepentingan masyarakat atau sering juga disebut dengan Perbuatan Melawan Hukum Penguasa *(onrechtmatige overheidsdaadzaken/OOD)*.
Tetapi lama kelamaan Jurisprudensi tetap tersebut sudah menjadi pendapat umum sehingga sampai sekarang sudah tidak asing lagi jika Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus perkara yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN. Demikian juga sengketa tentang Sertifikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan Negeri, perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara *(Objektum litis)* dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Usaha Negara atau bukan Sertifikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau keluarnya sertifikat tersebut.
Perbedaannya adalah :
Pada PTUN objek perkaranya (*objektum litis)* adalah Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat TUN atau penguasa, sedangkan pada PN objek perkaranya adalah Hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dirugikan sebagai akibat dari dikeluarkannnya Keputusan TUN oleh Pejabat TUN atau penguasa, termasuk dalam hal ini adalah Sertifikat Hak atas Tanah yang dikeluarkan oleh BPN yang seringkali merugikan hak dan kepentingan masyarakat.
|
Lembaga Bantuan Hukum
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/lembaga-bantuan-hukum-cl4206/
|
Apakah Lembaga Bantuan Hukum adalah sebuah lembaga yang benar benar Non-Profit? Bagaimana jalan keluarnya untuk mencari "Orang Pintar Hukum" atau Pengacara yang terjangkau oleh saya yang sedang sangat membutuhkan tapi tidak mempunyai biaya untuk membayar pengacara. Terima Kasih.
|
## ULASAN LENGKAP
LBH merupakan sebuah lembaga yang non – profit, lembaga bantuan hukum ini didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan bantuan hukum secara gratis (cuma-cuma) kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum, namun tidak mampu, buta hukum dan tertindas, arti cuma-cuma yaitu tidak perlu membayar biaya (fee) untuk pengacara, tapi untuk biaya operasional seperti biaya perkara di pengadilan (apabila kasus sampai ke pengadilan) itu ditanggung oleh si klien, itupun kalau klien mampu. Tetapi biasanya LBH-LBH memiliki kekhususan masing-masing dalam memilih kasus yang akan ditanganinya sesuai dengan visi-misinya.
Tetapi ada pula lembaga yang menamakan LBH tetapi sebetulnya mencari keuntungan. Karenanya anda harus meminta kejelasan saat pertama kali berkonsultasi.
Pada dasarnya pengacara profit pun diharuskan memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (*prodeo*) sesuai dengan amanat Undang-undang Advokat No.18 tahun 2003 pasal 18 dan 22 (1).
Apabila ingin mendapatkan bantuan hukum secara gratis, anda dapat mendatangi LBH terdekat dengan tempat tinggal anda, atau dapat datang langsung ke beberapa LBH seperti LBH Jakarta Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat, LBH APIK untuk perempuan beralamat di Jalan Raya Kramat, Kramatdjati, Jakarta Timur, LBH Pendidikan Jalan Tirta Sari Surya No. A3, Utan kayu Utara, Matraman, Jakarta Timur, LBH & MK KOWANI Jalan Imam Bonjol No. 58 Jakarta Pusat.
|
kepailitan
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kepailitan-cl2881/
|
Dalam Kasus Manulife, yang dianut itu pengertian utang & kreditur yang bagaimana? Kreditur apa yang dapat mengajukan permohonan pailit (kreditur bersaing, kreditur prefern atau kreditur separatis) apa alasannya? Apa ketentuan dari UU No. 4 tahun 1998 yang membuktikan bahwa UU tsb lebih menekankan perlindungan kepada kreditur?
|
## ULASAN LENGKAP
Dalam kasus Manulife tampaknya dianut pengertian utang secara luas, dimana utang tidak lagi didefinisikan secara sempit semata-mata sebagai kewajiban yang timbul dari transaksi pinjam-meminjam uang/utang piutang, namun segala kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini sudah sesuai dengan definisi utang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 37 tahun 2004 mengenai kepailitan dan PKPU. Dalam kasus Manulife kewajiban yang dianggap mencetuskan utang sendiri timbul dari kewajiban Manulife untuk melakukan pembayaran dividen kepada pemohon sebagai salah satu pemegang saham.
Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya.
Sepanjang kreditur tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur pailit.
Meskipun akhirnya secara logis, kepailitan idealnya lebih banyak dimanfaatkan oleh kreditur bersaingan (konkuren) yang notabene tidak memiliki hak prioritas apapun terhadap aset debitur, sehingga memerlukan mekanisme kepailitan untuk mengamankan kepentingan tagihan-tagihan mereka terhadap harta si-debitur.
Sementara itu, kreditur yang dijamin (kreditur separatis maupun preferens) karena hak mereka relatif telah ‘terjamin' dari alokasi hasil penjualan harta debitur (misalnya pemegang hak tanggungan/fidusia-pelunasan diambil dari penjualan barang jaminan), maka bagi mereka, kebutuhan untuk mengakukan kepailitan tidak semendesak kreditur konkuren dalam menjamin pelunasan piutang-piutang mereka.
Dalam hal kreditur yang dijamin dapat membuktikan bahwa jaminan yang ada telah tidak cukup untuk melunasi utang debitur kepada mereka, misalnya, jaminan yang ada hanya senilai Rp. 100 juta, padahal nilai utang adalah Rp. 200 juta, maka tidak ada masalah bagi mereka untuk menuntut sisa utang tersebut melalui mekanisme kepailitan. Meskipun kalimat pada Pasal 60 UU Kepailitan mengatakan
‘Dalam hal hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, Kreditor pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan piutang'
Namun kalimat ‘hasil penjualan' tidak dengan serta merta menjadi batasan impreratif, bahwa jaminan tersebut harus terlebih dahulu dieksekusi. Lihat juga pasal 138 UU Kepailitan, yang mengatakan
Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.
Dari situ terlihat bahwa terbuka kemungkinan pengajuan kepailitan oleh kreditur separatis, tanpa perlu terlebih dahulu mengeksekusi jaminannya. Karena secara logika, suatu proses kepailitan tidak sama sekali akan merubah konstelasi pembagian harta pailit, ataupun menambah keuntungan kreditur yang separatis. Karena tambahan nilai perolehan yang akan diperolehnya dari proses kepailitan juga tidak akan signifikan, karena pada akhirnya tetap dicocokkan oleh kurator dan kemudian harus dibagi secara proporsional dengan kreditur konkuren lainnya, sementara hak separatis dari jaminannya sama sekali tidak berkurang.
Keputusan pengadilan tentang ini relatif masih inkonsisten, meskipun dalam beberapa kasus sebelumnya issue ini sudah dianggap selesai, dan tidak ada permasalahan bagi kreditur separatis untuk mengajukan kepailitan, namun dalam permohonan kepailitan Sojitz Corporation terhadap Thirta Ria, baik dalam pengadilan tingkat pertama, maupun kasasi, pengadilan berpendapat bahwa kreditur harus terlebih dahulu melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia.
Menurut hemat saya, indikasi bahwa UU No.4/1998 lebih menekankan perlindungan terhadap kreditur, adalah tuduhan yang tidak berdasar. Karena konsep dasar kepailitan adalah memberikan jalan yang relatif adil, bagi kreditur yang ingin memperoleh pembayaran terhadap piutang-piutang yang notabene merupakan hak mereka. Cukup fair, apabila hukum menjamin hak pemulihan uang dari seorang yang sudah meminjamkan uangnya kepada debitur, dari risiko kegagalan bayar baik sengaja maupun tidak sengaja. Karena tanpa perlindungan yang memadai, maka yang terjadi adalah, orang bisa saja ingkar dari kewajibannya, tanpa perlu takut bahwa tindakannya dapat terjangkau oleh hukum.
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
pidana tentang pers
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pidana-tentang-pers-cl2805/
|
Kenapa setiap ada masalah terhadap kekerasan terhadap wartawan, yang dipakai dipengadilan hanya KUHP, contoh kasus pemukulan wartawan tempo oleh David A Miauw? Padahal Undang-undang Pers No 40 tahun 1999, pasal 18 ayat (1) juga ada pidananya tapi tidak dipakai. Apa dasar menggunakan UU Pers dan apa dasar�menggunakan �KUHP? bukankah semestinya semua yang berhubungan dengan pers seharusnya juga memakai UU Pers? Apakah wartawan yang terlibat sengketa saat menjalankan tugas dapat sama hukumnya jika wartawan sedang tidak dalam kapasitas menjalankan tugas? Terimakasih
|
## ULASAN LENGKAP
Undang-undang Pers memang masih menjadi perdebatan yang berkepanjangan, aparat penegak hkum kita belum mempunyai perspektif yang sama mengenai UU Pers tersebut, hampir sebagian besar perkara yang berhubungan dengan pers didakwa Jaksa dengan KUHP, demikian juga Hakim yang mau memeriksa dan memutus perkara pers yang didakwa dengan KUHP. Yang menjadi dasar dipakainya suatu undang-undang khusus di luar KUHP adalah jika UU tersebut termasuk *lex specialist*, dalam arti aturan khusus itu mengatur hal yang sama.
Pasal 18 ayat 1 Undang-undang No.40 tahun 1999 tentang Pers (**UU 40/1999**) mengatur tentang ancaman pidana yaitu setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,-(lima ratus juta rupiah), adapun dalam Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan dalam Pasal 4 ayat (4) disebutkan dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan umum, wartawan mempunyai hak tolak.
Bila pemukulan terhadap wartawan masuk dalam kategori pasal 18 (1) UU 40/1999 tetapi masuk juga dalam pasal di KUHP maka akan mengacu pada pasal 63 KUHP yaitu :
ayat (1) jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
ayat (2) jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dala aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Dalam pasal 10 a KUHP dijelaskan pidana pokok adalah
1. pidana mati
2. pidana penjara
3. kurungan
4. denda
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
Format Class Action
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/format-class-action-cl4111/
|
Beberapa waktu lalu kejaksaan agung mengungkap bahwa para tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang diduga mencampur bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 untuk dijual dengan harga RON 92 atau Pertamax oplosan. Kasus BBM oplosan ini tentunya banyak merugikan masyarakat. Melihat banyaknya masyarakat yang dirugikan, dapatkah masyarakat yang dirugikan melakukan gugatan *class action* karena BBM oplosan ini?
|
Tindakan pengoplosan bahan bakar minyak (“BBM”) atau Pertamax oplosan yang Anda tanyakan pada dasarnya melanggar beberapa hak konsumen seperti hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan dan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Selain itu, hal tersebut juga melanggar kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharan. Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pengoplosan BBM, konsumen yang mengalami kerugian dapat melakukan gugatan. Bagaimana caranya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
**Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul *Format Class Action* yang dibuat oleh [Si Pokrol](https://www.hukumonline.com/klinik/mitra/si-pokrol-lt4b457ff0c3e1b/si-pokrol-lt4a0aae6c03cb7/) dan pertama kali dipublikasikan pada tanggal 01 April 2005.**
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat [**Pernyataan Penyangkalan**](https://www.hukumonline.com/klinik/disclaimer) selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan [**Konsultan Mitra Justika**](https://justika.com/layanan/konsultasi-hukum/pemesanan/isi-detail/?layanan=Konsultasi%20via%20Telepon?utm_source=hukumonline&utm_medium=softselling&utm_campaign=softselling&utm_content=konsultanmitrajustika).
### **Perlindungan Konsumen**
Menurut hemat kami, tindakan pengoplosan bahan bakar minyak (“BBM”) yang merugikan masyarakat termasuk permasalahan perlindungan konsumen yang secara khusus diatur dalam **[UU Perlindungan Konsumen](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1999)**.
Oleh karena itu, pertama-tama perlu dipahami bahwa **perlindungan konsumen** adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.[[1]](#_ftn1 "_ftnref1")
Sebagai upaya perlindungan konsumen, konsumen memiliki hak yang harus dipenuhi sebagaimana diatur dalam **Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen** berikut.
1. *Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;*
2. ***Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan****;*
3. ***Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa****;*
4. *Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;*
5. *Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;*
6. *Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;*
7. *Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;*
8. *Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;*
9. *Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.*
Dengan adanya ketentuan tersebut, menurut hemat kami, BBM oplosan seperti misalnya seharusnya konsumen mendapatkan BBM dengan RON 92, namun malah mendapatkan BBM dengan RON 90 telah melanggar beberapa hak konsumen seperti hak untuk memilih barang dan/jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Selain itu, tindakan tersebut juga **melanggar hak konsumen** atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Perlu dicatat, dalam kasus tersebut, selain adanya pelanggaran hak konsumen, terdapat juga **pelanggaran kewajiban pelaku usaha** untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, sebagaimana diatur dalam **Pasal 7 huruf b UU Perlindungan Konsumen**.
Lantas, dengan kondisi tersebut, sekaligus menjawab pertanyaan Anda, apakah masyarakat yang dirugikan karena BBM oplosan dapat mengajukan gugatan *class action*?
### **Gugatan *Class Action*****atas BBM Oplosan**
Sebelum membahas gugatan *class action*, perlu diketahui bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.[[2]](#_ftn2 "_ftnref2")
Terkait jalur penyelesaian sengketanya dipertegas dalam **Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen**, yang berbunyi:
*Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.*
Lebih lanjut lagi, **Pasal 46 ayat (1) UU** **Perlindungan Konsumen** mengatur bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
1. *seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;*
2. ***sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama****;*
3. *lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;*
4. *pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.*
Sebagaimana disebutkan di atas, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha salah satunya dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Selanjutnya, **Penjelasan** **Pasal 46 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Konsumen**, menerangkan bahwa UU Perlindungan Konsumen mengakui **gugatan kelompok atau *class action***. Gugatan kelompok atau *class action* harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.
Baca juga: **[Gugatan Kelompok atau *Class Action*: Syarat dan Prosedurnya](https://www.hukumonline.com/klinik/a/class-action-cl2436/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=class_action)**
Adapun gugatan *class action* diatur secara khusus dalam **[Perma 1/2002](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19703/peraturan-mahkamah-agung-nomor-1-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_1_2002)** dengan menggunakan istilah **gugatan perwakilan kelompok**. Apa yang dimaksud dengan *class action*? Berdasarkan **Pasal 1 huruf a Perma 1/2002**, gugatan perwakilan kelompok atau gugatan *class action* adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Selanjutnya, gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara gugatan perwakilan kelompok apabila memenuhi kriteria, sebagai berikut:[[3]](#_ftn3 "_ftnref3")
1. jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
2. terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
3. wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
4. hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Lebih lanjut lagi, dalam hal surat gugatan, selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, **surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat**:[[4]](#_ftn4 "_ftnref4")
1. identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
2. definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu per satu;
3. keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;
4. posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;
5. dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
6. tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembekuan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Perlu diingat, terkait dengan wakil kelompok, untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok.[[5]](#_ftn5 "_ftnref5")
Dalam gugatan *class action* ini, pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib untuk memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok.[[6]](#_ftn6 "_ftnref6") Selain itu, hakim juga dapat memberikan nasihat kepada para pihak mengenai persyaratan gugatan perwakilan kelompok.[[7]](#_ftn7 "_ftnref7")
Dalam hal pemeriksaan hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, maka segera setelah itu, hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.[[8]](#_ftn8 "_ftnref8") Sahnya gugatan perwakilan kelompok ini dituangkan dalam suatu penetapan pengadilan.[[9]](#_ftn9 "_ftnref9")
Namun, dalam hal hakim memutuskan penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.[[10]](#_ftn10 "_ftnref10")
Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tindakan pelaku usaha yang melakukan pengoplosan BBM yang mengakibatkan kerugian konsumen dapat dilakukan gugatan *class action* oleh para konsumen, selama memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan di atas.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh **Mufti Mubarok**, **Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI** dalam artikel **[Bila Terbukti Ada Pertamax Oplos, Masyarakat Dapat Layangkan Gugatan *Class Action*](https://www.hukumonline.com/berita/a/bila-terbukti-ada-pertamax-oplos--masyarakat-dapat-layangkan-gugatan-class-action-lt67c04f9cd716d/?page=all?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pertamax_oplos)**, menegaskan bahwa apabila dugaan oplosan ini benar terbukti, maka hal ini mengabaikan hak konsumen berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. Lalu, terkait dengan kerugian yang dialami konsumen ini, berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, konsumen atau masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada pelaku usaha melalui mekanisme gugatan sesuai ketentuan yang berlaku, salah satunya dapat secara bersama-sama (*class action*) karena mengalami kerugian yang sama.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut [di sini](https://pro.hukumonline.com/?utm_source=website&utm_medium=cta&utm_campaign=artikel_klinik).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1999);
2. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19703/peraturan-mahkamah-agung-nomor-1-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_1_2002).
---
[1] Pasal 1 angka 1 [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/447/undangundang-nomor-8-tahun-1999/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1999) (“UU Perlindungan Konsumen”)
[2] Pasal 45 ayat (1) Perlindungan Konsumen
[3] Pasal 2 [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/19703/peraturan-mahkamah-agung-nomor-1-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_1_2002) (“Perma 2/2002”)
[4] Pasal 3 ayat (1) Perma 1/2002
[5] Pasal 4 Perma 1/2002
[6] Pasal 5 ayat (1) Perma 1/2002
[7] Pasal 5 ayat (2) Perma 1/2002
[8] Pasal 5 ayat (4) Perma 1/2002
[9] Pasal 5 ayat (3) Perma 1/2002
[10] Pasal 5 ayat (5) Perma 1/2002
|
Jamsostek dan pengunduran diri
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/jamsostek-dan-pengunduran-diri-cl3951/
|
Saya bekerja di perusahaan konstruksi sudah hampir 17 tahun. Persoalan yang saya hadapi adalah sebagai berikut:
1.Uang Jamsostek yang dibayarkan tidak sesuai dengan gaji yang saya terima sekarang, gaji saya sekitar Rp.2 juta tapi uang jamsostek yang dibayarkan hanya Rp.271000. Apa yang harus saya lakukan dan kemana saya bisa mengadukan masalah ini?
2.Apabila saya mengundurkan diri tapi tidak sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh�UU No.13 pasal 162 ayat 3a. Apakah hak saya bisa dibayarkan sesuai dengan�UU tersebut?
|
## ULASAN LENGKAP
Mengenai Jamsostek dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraaan Program Jamsostek, dimana disebutkan bahwa perincian besarnya iuran jamsostek berdasakan pasal 9 (1) b. *jaminan Hari Tua sebesar 5, 70 % x upah sebulan* dengan perincian yaitu berdasarkan Pasal 9 ayat (3) iuran jamsostek Hari Tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b sebesar 3, 70 % ditanggung oleh Pengusaha, dan sebesar 2 % ditanggung oleh tenaga kerja. (Catatan : Perusahaan berkewajiban untuk mendaftarkan pekerjanya untuk jadi peserta Jamsostek ketika pertama kali ia bekerja.)
Jaminan Hari Tua ini dapat dibayarkan karena alasan-alasan tertentu yang dapat dilihat di Undang-undang No.3 Tahun 1992 Pasal 14 (1) dan dapat pula dibayarkan sebelum pekerja berusia 55 tahun.
Dan untuk pembayaran Jaminan Hari Tua yang dibayarkan pada usia 55 tahun atau cacat total dapat dilihat dalamPasal 24 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (1) PP RI No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Apabila terjadi permasalahan dengan penghitugan pembayaran, Tenaga kerja dapat meminta klarifikasi perusahaan atau langsung menghubungi kantor Jamsostek, dan apabila memang perusahaan sengaja melakukan kesalahan tersebut maka tenaga kerja dapat mengadukan hal tersebut kepada Ditjen Pembinaan dan Pengawasan Departemen Tenaga Kerja.
Mengenai pengunduran diri yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 162 (3), maka pekerja tidak mendapatkan hak-haknya tetapi tergantung dari kebijakan perusahaan untuk memberikan uang pisah yang kemungkinan besarnya tidak sama dengan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Demikianlah semoga bermanfaat.
|
cybersquater
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/cybersquater-cl976/
|
Cybersquater itu seperti apa dan bagaimana? Apakah sudah ada hukum yang mengaturnya? Apakah termasuk craker atau seperti apa? Apakah sudah ada kasus yang diadili tentang cybersquater ini? Bagaimana masalah cybersquater ini di Indonesia?
|
## ULASAN LENGKAP
*Cybersquatter* asal katanya dari *cyberquatting*. *Cybersquatting* adalah suatu tindakan pendaftaran nama domain yang dilakukan oleh orang yang tidak berhak (tidak memiliki *legitimate interest*). Sedang *cybersquatter* adalah orang yang melakukan tindakan pendaftaran tersebut. Biasanya mereka yang melakukan pendaftaran memiliki niat untuk menjual nama domain yang sudah dimiliki tersebut dengan harga jauh lebih tinggi daripada harga seharusnya. Di luar negeri, praktek *cybersquatting* ini bisa dibilang cukup lumrah, karena tidak sedikit pengusaha yang melihat celah untuk mengambil manfaat ekonomis dari nama yang telah dikenal sebelumnya. Bahkan, praktek ini kemudian berkembang menjadi satu komoditi yang kemudian dikenal dengan "brooker" nama domain.
Secara hukum, di dunia termasuk Indonesia tidak ada satu peraturan yang dengan tegas mengatur tindakan *cybersquatting* ini. Namun secara eksplisit persoalan *cybersquatting* ini diatur dalam di [UDRP](https://www.icann.org/dndr/udrp/uniform-rules.htm) (*Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy*) yang dikeluarkan oleh ICANN.
*Cybersquatte* ini sangat berbeda dengan *cracker*. *Cracker* berasal dari kata *cracking*, sedang *cracker* sendiri orang yang melakukan tindakan *cracking*. *Cracking* adalah suatu tindakan yang berdampak pada penghancuran sistim sehingga tidak bisa berfungsi dengan menggunakan berbagai cara. Bisa dengan mengirim virus atau program tertentu. Selain itu juga si penyerang dengan melakukan penetrasi sistem secara langsung dengan menggunakan "senjata" yang ada.
Di Amerika kasus seperti Mac Donald, Julia Robert, Toys "R" us dan masih banyak lagi sudah sempat disidangkan. Namun perbandingan kasus yang melalui jalur pengadilan relatif sedikit. Sebagian besar melalui mekanisme yang diatur di dalam UDRP tadi. Biasanya berupa penggantian ganti rugi, dan penyerahan nama domain kepada pihak yang lebih berhak.
Di Indonesia kebetulan, baru satu kasus yang sempat disidangkan di pengadilan. Sisanya diselesaikan melalui mekanisme di dalam UDRP. Untuk lebih jelasnya, saudara bisa melakukan penelusuran (*searching*) berita di hukumonline, ketik "domainname". Anda akan menemukan kasus *cybersquatting* ini dengan jelas sesuai dengan apa yang Anda harapkan.
|
Sita Barang Bukti
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/sita-barang-bukti-cl4021/
|
Pada beberapa waktu yg lalu teman karyawan teman saya melakukan perbuatan melanggar hukum dengan tanpa sepetahuan prosedur perusahaan untuk melakukan pencetakan salah satu pruduk pemerintah, dan mesin cetak disita oleh pihak berwajib, apakah ada kemungkinan mesin tersebut untuk dibebaskan apabila yang bersangkutan telah ditangkap, sebab perusahaannya sudah tidak memungkinkan untuk terus berjalan karena konsumen tidak ada lagi, sedang dia sudah rugi besar dan bermaksud�untuk menjual mesin dan menutup usahanya.
|
## ULASAN LENGKAP
Dalam KUHAP mengenai hal ini di atur dalam pasal 46 yang berbunyi :
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila :
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain
Berdasarkan aturan tersebut maka pengembalian barang sitaan dapat dilakukan baik sebelum perkara diputus maupun bersamaan dengan pembacaan putusan.
Selanjutnya mengenai Perampasan Barang sebagai salah satu bentuk pidana tambahan diatur dalam pasal 39 KUHP. Dalam ayat 1 nya disebutkan bahwa barang kepunyaan si terhukum yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan dapat dirampas.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi hakim untuk dapat merampas suatu barang, yaitu:
1. barang;
2. kepunyaan si terhukum;
3. yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas terlihat bahwa untuk dapat dirampas maka barang tersebut haruslah merupakan barang kepunyaan pelaku, jadi jika barang tersebut walaupun dipergunakan oleh terpidana untuk melakukan tindak pidana atau merupakan hasil dari tindak pidana akan tetapi barang tersebut bukanlah milik terpidana maka atas barang tersebut tidak dapat di rampas. Pengecualian terdapat pada pasal 250 bis KUHP yang mengatur tindak pidana pemalsuan uang.
|
pembagian harta
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pembagian-harta--cl2753/
|
Bagaimanakah sebetulnya konsep pembagian harta gono gini setelah perceraian.dibuat oleh siapakah? Apakah seharusnya dilakukan pada saat setelah perceraian terjadi? Dan disahkan oleh siapa dan siapa sajakah yang harus menjadi saksi-saksinya?
|
## ULASAN LENGKAP
Konsep pembagian harta gono gini (harta bersama) setelah perceraian adalah 50:50, yaitu 50% untuk pihak isteri dan 50% untuk pihak suami. Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam suatu perkawinan itu baik pihak isteri maupun pihak suami mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dengan suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga.
Berkaitan dengan permasalahan siapakah yang membuat konsep pembagian harta gono gini sebagaimana dimaksud di atas, maka peraturan perundang-undangan tidak memperinci secara jelas mengenai hal tersebut. Namun demikian, pemahaman konsep sebagaimana tersebut di atas telah banyak digunakan/dipakai oleh pengadilan-pengadilan di wilayah Indonesia baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama yang memutuskan perkara perceraian.
Berkaitan dengan permasalahan sebagaimana dimaksud dalam pertanyaan di atas, maka pembagian harta gono gini tersebut memang dilakukan setelah perceraian terjadi atau diputus oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu. Hal ini disebabkan, pembagian harta gono gini tersebut akan didasarkan pada isi amar putusan perceraian yang menyatakan mengenai pembagian harta gono gini.
Dalam hal terjadi suatu perceraian, maka pihak yang mensahkan pembagian harta gono gini tersebut adalah pihak Pengadilan yang berwenang untuk itu. Hal ini dikarenakan, pembagian harta gono gini tersebut terdapat/dicantumkan dalam amar putusan perceraian yang diputus dan disahkan oleh Pengadilan yang berwenang untuk itu.
Berkaitan dengan saksi-saksi dalam pembagian harta gono gini, peraturan perundang-undangan tidak memperinci secara lebih jelas lagi perihal mengenai pihak yang menjadi saksi untuk hal tersebut. Hanya saja, dalam suatu sidang perceraian yang merupakan sidang tertutup saksi-saksi akan diajukan berkaitan dengan hal-hal yang dinyatakan dalam gugatan cerai selama sidang pemeriksaan gugatan cerai.
|
perwalian anak
|
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perwalian-anak-cl131/
|
Saya seorang istri dengan dua orang anak (2,5 tahun dan 7 bulan). Setelah terjadi masalah dengan suami, saya meninggalkan mereka semua dan pergi ke rumah orang tua saya. Jika terjadi perceraian, apakah anak-anak tetap ikut saya atau ikut suami? Lantas, jika saya yang pergi dari rumah apakah tetap berhak nafkah setelah cerai?
|
Salah satu akibat dari perceraian adalah adanya perselisihan mengenai hak asuh anak. Bagi anak yang belum dewasa, hak asuh anak akan berada sepenuhnya pada pengawasan ibu kandung, kecuali ibu lalai dalam menjalankan kewajibannya. Hak asuh anak ini tidak serta merta hilang meski sang ibu pergi ke rumah orang tuanya karena konflik dengan suami.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini
## ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
**Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul *perwalian anak* yang dibuat oleh [Si Pokrol](https://www.hukumonline.com/klinik/mitra/si-pokrol-lt4b457ff0c3e1b/si-pokrol-lt4a0aae6c03cb7/) dan pertama kali dipublikasikan pada 17 Desember 2004.**
### KLINIK TERKAIT
[#### Cara Mengurus Surat Cerai Tanpa Buku Nikah
30 Jan, 2025
](/klinik/a/cerai-tanpa-buku-nikah-lt5d0c41eb3bc40/)
[#### Apakah Bisa Gugat Cerai Suami di Luar Negeri?
02 Jan, 2025
](/klinik/a/%20gugat-cerai-suami-di-luar-negeri-cl349/)
[#### Apakah Istri Siri Bisa Menggugat Cerai Suaminya?
03 Des, 2024
](/klinik/a/istri-siri-minta-cerai-lt6231865d61f15/)
[#### Wajibkah Istri Mengembalikan Mahar dalam Cerai Khuluk?
22 Nov, 2024
](/klinik/a/mengembalikan-mahar-lt60bac0173f058/)
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat [**Pernyataan Penyangkalan**](https://www.hukumonline.com/klinik/disclaimer) selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan [**Konsultan Mitra Justika**](https://justika.com/layanan/konsultasi-hukum/pemesanan/isi-detail/?layanan=Konsultasi%20via%20Telepon?utm_source=hukumonline&utm_medium=softselling&utm_campaign=softselling&utm_content=konsultanmitrajustika).
### **Hak Asuh Anak yang Masih Kecil**
Jika mencermati pertanyaan Anda, kami mengasumsikan bahwa yang Anda tanyakan adalah berkenaan dengan hak asuh anak. Apabila terjadi perceraian, menurut aturan hukum yang berlaku di Indonesia, baik ibu atau bapak tetap wajib mendidik anaknya. Hal ini diatur di dalam **Pasal 41 huruf a** [**UU Perkawinan**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974) yang berbunyi:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000[Lihat Semua Kelas](https://learning.hukumonline.com/)
*Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:*
1. *Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya**, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;*
Selain itu, dalam **Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan** diatur bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya.
Namun, bagaimana jika terjadi perselisihan hak asuh anak antara suami dan istri? Merujuk pertanyaan Anda, Anda memiliki 2 orang anak yang berusia 2,5 tahun dan 7 bulan dari hasil pernikahan dengan suami. Berdasarkan [**Yurisprudensi MA No. 239 K/SIP/1968**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/22705/putusan-mahkamah-agung-nomor-239ksip1968/history/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_239_1968) dan [**Yurisprudensi MA No. 392 K/SIP/1969**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/23079/putusan-mahkamah-agung-nomor-392-k-sip-1969/kaidah-hukum/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_392_1969), keduanya memuat kaidah hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemeliharaan atau hak asuh anak yang belum dewasa diserahkan kepada ibu.
Lebih lanjut, [**Yurisprudensi MA No. 102/K/SIP/1973**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt62baaf0a30c28/putusan-mahkamah-agung-nomor-102-k-sip-1973/kaidah-hukum/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_102_1973) dan [**Yurisprudensi MA No. 126 K/Pdt/2001**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt561cd8ffb86cc/putusan-mahkamah-agung-nomor-126-k-pdt-2001/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_126_2001) juga memuat kaidah hukum berkenaan dengan hak asuh anak yang berbunyi sebagai berikut:
Yurisprudensi MA No.102 /K/SIP/1973
*Ibu kandung yang diutamakan khususnya bagi anak yang masih kecil karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak-anaknya.*
Yurisprudensi MA No. 126 K/Pdt/2001
*Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur, sebaiknya pemeliharaannya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu.*
Dalam perspektif hukum Islam yaitu dalam **[KHI](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)**, **Pasal 105****huruf a** mengatur bahwa jika anak belum *mumayyiz* atau belum berumur 12 tahun, maka pemeliharaan anak menjadi hak ibunya.
Oleh karena itu, jika melihat usia dari kedua anak Anda yang masih di bawah umur yakni berusia 2,5 tahun dan 7 bulan, sepantasnya hak asuh diserahkan kepada ibunya.
### **Bisakah Ibu Dapat Hak Asuh Anak Jika Pergi dari Rumah?**
Sepanjang penelusuran kami, ibu yang pergi meninggalkan rumah karena konflik rumah tangga tidak serta merta menghilangkan haknya untuk mendapatkan hak asuh atas anak yang masih kecil atau belum mumayyiz.
**Kecuali**, jika sang ibu terbukti tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan *hadhanah* telah dicukupi sebagaimana diatur dalam **Pasal 156 huruf c KHI** maka hak asuh anak dapat beralih kepada kerabat lain seperti ayah sang anak.
Kemudian, seorang ayah pada dasarnya berhak untuk mencabut pemeliharaan hak asuh anak dari ibu kandung apabila terdapat hal-hal yang melalaikan sebagaimana yang termuat dalam **Pasal 30** [**UU Perlindungan Anak**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2002), yang berbunyi:
1. *Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.*
2. *Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.*
Selain itu, **Lampiran**[**SEMA 1/2017**](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5a93b3f624d48/surat-edaran-mahkamah-agung-nomor-1-tahun-2017?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=sema_1_2017) pada bagian rumusan hukum kamar perdata umum (hal. 11) mengatur bahwa:
*Hak ibu kandung untuk mengasuh anak di bawah umur setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.*
Dengan demikian, sepanjang tidak terbukti bahwa sang ibu melalaikan kewajibannya atau tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, maka hak asuh anak yang masih kecil bisa diberikan kepada ibunya.
Baca juga: **[Apakah Hak Asuh Anak Bisa Diambil oleh Ayah?](https://www.hukumonline.com/klinik/a/apakah-hak-asuh-anak-bisa-diambil-oleh-ayah-lt5ff68fbc2b60b/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hak_asuh_diambil_ayah)**
Berkenaan dengan pertanyaan Anda yang kedua, setelah bercerai mantan istri berhak mendapatkan nafkah dari mantan suami yang meliputi nafkah *madhiyah,* nafkah idah, nafkah mutah, dan nafkah anak sepanjang tidak nusyuz yaitu perbuatan tidak taat atau membangkang terhadap suami. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel **[Hak Istri Setelah Cerai Menurut Islam](https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-hak-istri-setelah-menggugat-cerai-suami-lt5e7315368865f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=hak_istri_cerai)**.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut [di sini](https://pro.hukumonline.com/?utm_source=website&utm_medium=cta&utm_campaign=artikel_klinik).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974);
2. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2002);
3. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014);
4. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019);
5. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt584786efd1075?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_17_2016);
6. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI);
7. [Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5a93b3f624d48/surat-edaran-mahkamah-agung-nomor-1-tahun-2017?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=sema_1_2017).
Putusan:
1. [Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 239 K/SIP/1968](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/22705/putusan-mahkamah-agung-nomor-239ksip1968/history/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_239_1968);
2. [Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 392 K/SIP/1969](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/23079/putusan-mahkamah-agung-nomor-392-k-sip-1969/kaidah-hukum/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_392_1969);
3. [Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 102/K/SIP/1973](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt62baaf0a30c28/putusan-mahkamah-agung-nomor-102-k-sip-1973/kaidah-hukum/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_102_1973);
4. [Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 126 K/Pdt/2001](https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt561cd8ffb86cc/putusan-mahkamah-agung-nomor-126-k-pdt-2001/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=MA_126_2001).
|
Subsets and Splits
No community queries yet
The top public SQL queries from the community will appear here once available.