Regulation Name
stringlengths
2
3.85k
Regulation Number
stringlengths
1
63
Year
stringdate
1945-01-01 00:00:00
2030-01-01 00:00:00
About
stringlengths
3
18.3k
Chapter
stringlengths
5
2.72k
Article
stringlengths
5
36
Content
stringlengths
11
32.8k
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 17
(1) Sistem jaringan transportasi nasional sebagaimana d imaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas: a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; dan c. sistem jaringan transportasi udara. (2) Sistem jaringan transportasi darat terdiri atas jaringan jalan nasional, jaringan jalur kereta api, dan jaringan t ransportasi sungai, danau, dan penyeberangan. (3) Sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran. (4) Sistem jaringan transportasi udara terdiri atas tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 18
(1) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud da lam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas jaringan jalan arteri prim er, jaringan jalan kolektor primer, jaringan jalan strategis nas ional, dan jalan tol. (2) Jaringan jalan arteri primer dikembangkan secar a menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan sistem orienta si untuk menghubungkan: a. antar-PKN; b. antara PKN dan PKW; dan/atau c. PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebar an skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuh an internasional/nasional. (3) Jaringan jalan kolektor primer dikembangkan unt uk menghubungkan antar-PKW dan antara PKW dan PKL. (4) Jaringan . . . - 17 - (4) Jaringan jalan strategis nasional dikembangkan untuk menghubungkan: a. antar-PKSN dalam satu kawasan perbatasan negara ; b. antara PKSN dan pusat kegiatan lainnya; dan c. PKN dan/atau PKW dengan kawasan strategis nasion al. (5) Jalan tol dikembangkan untuk mempercepat perwuj udan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian dari j aringan jalan nasional. (6) Jaringan jalan bebas hambatan tercantum dalam L ampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peratu ran Pemerintah ini.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 19
(1) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud da lam Pasal 18 ayat (1) mencakup pula jembatan atau terowongan antarpulau serta jembatan atau terowongan antarnega ra. (2) Jembatan atau terowongan antarpulau dikembangka n untuk menghubungkan arus lalu lintas antarpulau. (3) Jembatan atau terowongan antarnegara dikembangk an untuk menghubungkan arus lalu lintas dengan negara tetang ga.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 20
Jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud dala m Pasal 17 terdiri atas: a. jaringan jalur kereta api umum; dan b. jaringan jalur kereta api khusus.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 21
Jaringan jalur kereta api umum terdiri atas: jaringan jalur kereta api antarkota; dan jaringan jalur kereta api perkotaan. Jaringan jalur kereta api antarkota dikembangka n untuk menghubungkan: PKN dengan pusat kegiatan di negara tetangga; antar-PKN; PKW dengan PKN; atau antar-PKW . . . - 18 - antar-PKW. Jaringan jalur kereta api perkotaan dikembangka n untuk: menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar u dara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional; dan mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan. Jaringan jalur kereta api antarkota dan perkota an beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri y ang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapia n.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 22
Jaringan jalur kereta api khusus dikembangkan oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut. Jaringan jalur kereta api khusus dapat disambungkan dengan jaringan jalur kereta api umum dan jaringan jalur kereta api khusus lainnya sesuai dengan ketentuan p eraturan perundang-undangan. Jaringan jalur kereta api khusus ditetapkan oleh Pe merintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 23
(1) Jaringan transportasi sungai dan danau sebagaim ana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas: a. pelabuhan sungai dan pelabuhan danau; dan b. alur pelayaran untuk kegiatan angkutan sungai da n alur pelayaran untuk kegiatan angkutan danau. (2) Pelabuhan dan alur pelayaran sungai dan danau b eserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri y ang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi sungai dan danau.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 24
(1) Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas pelabuhan peny eberangan dan lintas penyeberangan. (2) Pelabuhan . . . - 19 - (2) Pelabuhan penyeberangan terdiri atas: a. pelabuhan penyeberangan lintas antarprovinsi da n antarnegara; b. pelabuhan penyeberangan lintas antarkabupaten/k ota; dan c. pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/ kota. (3) Lintas penyeberangan terdiri atas: a. lintas penyeberangan antarprovinsi yang menghub ungkan antarjaringan jalan nasional dan antarjaringan jalu r kereta api antarprovinsi; b. lintas penyeberangan antar negara yang menghubun gkan antarjaringan jalan pada kawasan perbatasan; c. lintas penyeberangan lintas kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan provinsi dan jari ngan jalur kereta api dalam provinsi; dan d. lintas pelabuhan penyeberangan dalam kabupaten/k ota yang menghubungkan antarjaringan jalan kabupaten/ko ta dan jaringan jalur kereta api dalam kabupaten/kota. (4) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membentuk jaringan penyeberangan sabuk utara, sabuk tengah, sabuk selatan, dan penghubung sabuk dalam w ilayah nasional. (5) Lintas penyeberangan beserta prioritas pengemba ngannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jaw abnya di bidang transportasi penyeberangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 25
Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pa sal 17 terdiri atas: a. pelabuhan umum; dan b. pelabuhan khusus.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 26
Pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabu han regional, dan pelabuhan lokal. Pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasi onal dikembangkan untuk: melayani . . . - 20 - melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kema s angkutan laut nasional dan internasional dalam juml ah besar; menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; dan menjadi simpul jaringan transportasi laut internasi onal. Pelabuhan nasional dikembangkan untuk: melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam juml ah menengah; menjangkau wilayah pelayanan menengah; dan memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transpor tasi laut nasional. Pelabuhan regional dikembangkan untuk: melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angku tan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan s ungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; dan menjangkau wilayah pelayanan menengah. Pelabuhan lokal dikembangkan untuk: melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angku tan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sung ai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; dan menjangkau wilayah pelayanan terbatas. Pelabuhan internasional dan pelabuhan nasional terc antum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpi sahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 27
Pelabuhan khusus dikembangkan untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu. Pelabuhan khusus dapat dialihkan fungsinya menjadi pelabuhan umum dengan memperhatikan sistem transpor tasi laut. Pelabuhan khusus ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut setel ah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walik ota.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 28
. . . - 21 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 28
(1) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas alur pelayaran internasional dan a lur pelayaran nasional. (2) Alur pelayaran internasional terdiri atas: a. Alur Laut Kepulauan Indonesia; b. jaringan pelayaran yang menghubungkan antarpelabuha n internasional hub dan pelabuhan internasional; dan c. jaringan pelayaran yang menghubungkan antara pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasi onal dengan pelabuhan internasional di negara lain. (3) Alur pelayaran nasional terdiri atas: a. alur pelayaran yang menghubungkan pelabuhan nasiona l dengan pelabuhan internasional atau pelabuhan internasional hub; b. alur pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan nasional; c. alur pelayaran yang menghubungkan antara pelabuhan nasional dan pelabuhan regional; dan d. alur pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan regional. (4) Alur pelayaran internasional ditetapkan berdasarkan kriteria yang berlaku secara internasional dan peraturan per undang- undangan. (5) Alur pelayaran nasional ditetapkan oleh menteri yan g tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 29
Tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 17
terdiri atas: bandar udara umum; dan bandar udara khusus.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 30
Bandar udara umum terdiri atas: bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan prime r; bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekun der; bandar udara . . . - 22 - bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersi er; dan bandar udara bukan pusat penyebaran. Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan p rimer, bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekun der, dan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan t ersier tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian ti dak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 31
Bandar udara khusus dikembangkan untuk menunjang pengembangan kegiatan tertentu dengan berpedoman pa da peraturan perundang-undangan di bidang kebandarudar aan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 32
(1) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) terdiri atas: a. ruang udara di atas bandar udara yang dipergunakan langsung untuk kegiatan bandar udara; b. ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunak an untuk operasi penerbangan; dan c. ruang udara yang ditetapkan sebagai jalur penerbang an. (2) Ruang udara untuk penerbangan dimanfaatkan dengan mempertimbangkan pemanfaatan ruang udara bagi pertahanan dan keamanan negara. (3) Ruang udara untuk penerbangan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 33
(1) Jaringan jalan arteri primer sebagaimana dimaksud d alam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 18
ditetapkan dengan kriteria: a. menghubungkan antar-PKN, antara PKN dan PKW, dan/atau PKN/PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional; b. berupa jalan umum yang melayani angkutan utama; c. melayani perjalanan jarak jauh; d. memungkinkan . . . - 23 - d. memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rat a- rata tinggi; dan e. membatasi jumlah jalan masuk secara berdaya guna. (2) Jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 18
ditetapkan dengan kriteria: a. menghubungkan antar-PKW dan antara PKW dan PKL; b. berupa jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi; c. melayani perjalanan jarak sedang; d. memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rat a- rata sedang; dan e. membatasi jumlah jalan masuk. (3) Kriteria jaringan jalan strategis nasional dan jari ngan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diteta pkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga n.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 34
(1) Jaringan jalur kereta api antarkota sebagaimana dim aksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan k riteria menghubungkan antara PKN dan pusat kegiatan di nega ra tetangga, antar-PKN, PKW dengan PKN, atau antar-PKW . (2) Jaringan jalur kereta api perkotaan sebagaimana dim aksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan k riteria menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/te rsier dan pelabuhan internasional/nasional atau mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan metropolitan. (3) Kriteria teknis jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan ta nggung jawabnya di bidang perkeretaapian.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 35
(1) Pelabuhan sungai dan pelabuhan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk; b. terintegrasi dengan sistem jaringan transportasi darat lainnya; dan c. berada di luar kawasan lindung. (2) Pelabuhan . . . - 24 - (2) Pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 24
ditetapkan dengan kriteria: berada di lokasi yang menghubungkan dengan pelabuha n penyeberangan lain pada jarak terpendek yang memili ki nilai ekonomis; dan berada di luar kawasan lindung. Kiteria teknis pelabuhan sungai, danau, dan penyebe rangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jaw abnya di bidang transportasi sungai, danau, dan penyeberanga n.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 36
(1) Pelabuhan internasional hub dan pelabuhan inter nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diteta pkan dengan kriteria: a. berhadapan langsung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran internasional; b. berjarak paling jauh 500 (lima ratus) mil dari Alur Laut Kepulauan Indonesia atau jalur pelayaran internasio nal; c. bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PK N dalam sistem transportasi antarnegara; d. berfungsi sebagai simpul utama pendukung pengembang an produksi kawasan andalan ke pasar internasional; e. berada di luar kawasan lindung; dan f. berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 12 (dua belas) meter untuk pelabuhan intern asional hub dan 9 (sembilan) meter untuk pelabuhan internas ional. (2) Pelabuhan nasional sebagaimana dimaksud dalam P asal 26 ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antarprovin si; b. berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar nasional; c. memberikan akses bagi pengembangan pulau-pulau keci l dan kawasan andalan laut, termasuk pengembangan kawasan tertinggal; d. berada di luar kawasan lindung; dan e. berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 9 (sembilan) meter. (3) Pelabuhan . . . - 25 - (3) Pelabuhan regional sebagaimana dimaksud dalam P asal 26 ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN atau PKW dalam sistem transportasi antarprovinsi; b. berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar regional; c. memberikan akses bagi pengembangan kawasan andalan laut, kawasan pedalaman sungai, dan pulau-pulau kec il, termasuk pengembangan kawasan tertinggal; d. berada di luar kawasan lindung; dan e. berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 4 (empat) meter. (4) Pelabuhan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasa l 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW atau PKL dalam sistem transportasi antarkabupaten/kota dalam satu provinsi; b. berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budi daya di sekitarnya ke pasar lokal; c. berada di luar kawasan lindung; d. berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 1,5 (satu setengah) meter; dan e. dapat melayani pelayaran rakyat. (5) Kriteria teknis pelabuhan internasional hub, pe labuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabuhan region al, dan pelabuhan lokal ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 37
(1) Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan prime r sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN; dan b. melayani penumpang dengan jumlah paling sedikit 5.000.000 (lima juta) orang per tahun. (2) Bandar udara . . . - 26 - (2) Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekun der sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN; dan b. melayani penumpang dengan jumlah antara 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) ora ng per tahun. (3) Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersi er sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN atau PKW terdekat; dan b. melayani penumpang dengan jumlah antara 500.000 (li ma ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) ora ng per tahun. (4) Kriteria teknis bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer, bandar udara pusat penyebaran ska la pelayanan sekunder, dan bandar udara pusat penyebar an skala pelayanan tersier ditetapkan oleh menteri yan g tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi udara. Bagian Keempat Sistem Jaringan Energi Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 38
Sistem jaringan energi nasional sebagaimana dimaksu d dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 10
huruf c terdiri atas: jaringan pipa minyak dan gas bumi; pembangkit tenaga listrik; dan jaringan transmisi tenaga listrik.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 39
Jaringan pipa minyak dan gas bumi dikembangkan untuk: menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat penyimpanan; a tau menyalurkan minyak dan gas bumi dari kilang peng olahan atau tempat penyimpanan ke konsumen. Jaringan . . . - 27 - Jaringan pipa minyak dan gas bumi beserta prior itas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang minyak dan gas bumi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 40
Pembangkit tenaga listrik dikembangkan untuk memenu hi penyediaan tenaga listrik sesuai dengan kebutuhan y ang mampu mendukung kegiatan perekonomian.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 41
Jaringan transmisi tenaga listrik dikembangkan untu k menyalurkan tenaga listrik antarsistem yang menggun akan kawat saluran udara, kabel bawah tanah, atau kabel bawah laut.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 42
Sistem jaringan pipa minyak dan gas bumi, pembangki t tenaga listrik, dan jaringan transmisi tenaga listrik dite tapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang energi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 43
(1) Jaringan pipa minyak dan gas bumi sebagaimana d imaksud dalam Pasal 38 huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. adanya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, fasilitas pengolahan dan/atau penyimpanan, dan konsumen yang terintegrasi dengan fasilitas tersebut; dan b. berfungsi sebagai pendukung sistem pasokan energ i nasional. (2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik un tuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, perdesaan hingga kawasan terisolasi; b. mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau- pulau kecil, dan kawasan terisolasi; c. mendukung pemanfaatan teknologi baru untuk menghasilkan sumber energi yang mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan; d. berada pada kawasan dan/atau di luar kawasan yan g memiliki potensi sumber daya energi; dan e. berada . . . - 28 - e. berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan l ain dengan memperhatikan jarak bebas dan jarak aman. (3) Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana d imaksud dalam Pasal 38 huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik u ntuk kepentingan umum di kawasan perkotaan hingga perdesaan; b. mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau- pulau kecil, dan kawasan terisolasi; c. melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, la ut, hutan, persawahan, perkebunan, dan jalur transporta si; d. berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan l ain dengan memperhatikan persyaratan ruang bebas dan ja rak aman; e. merupakan media penyaluran tenaga listrik adalah kawat saluran udara, kabel bawah laut, dan kabel bawah t anah; dan f. menyalurkan tenaga listrik berkapasitas besar de ngan tegangan nominal lebih dari 35 (tiga puluh lima) ki lo Volt.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 44
Kriteria teknis jaringan pipa minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik, dan jaringan transmisi tenaga listr ik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditetapkan oleh menteri yan g tugas dan tanggung jawabnya di bidang energi. Bagian Kelima Sistem Jaringan Telekomunikasi Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 45
Sistem jaringan telekomunikasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d terdiri atas: a. jaringan terestrial; dan b. jaringan satelit.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 46
. . . - 29 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 46
Jaringan terestrial dikembangkan secara berkesinamb ungan untuk menyediakan pelayanan telekomunikasi di selur uh wilayah nasional. Jaringan satelit dikembangkan untuk melengkapi sist em jaringan telekomunikasi nasional melalui satelit ko munikasi dan stasiun bumi. Jaringan terestrial dan satelit beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 47
Jaringan terestrial ditetapkan dengan kriteria: menghubungkan antarpusat perkotaan nasional; menghubungkan pusat perkotaan nasional dengan pusat kegiatan di negara lain; mendukung pengembangan kawasan andalan; atau mendukung kegiatan berskala internasional. Jaringan satelit ditetapkan dengan kriteria ket ersediaan orbit satelit dan frekuensi radio yang telah terdaftar pa da Perhimpunan Telekomunikasi Internasional. Kriteria teknis jaringan terestrial dan jaringa n satelit ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jaw abnya di bidang telekomunikasi. Bagian Keenam Sistem Jaringan Sumber Daya Air
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 48
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dim aksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e merupakan sistem su mber daya air pada setiap wilayah sungai dan cekungan ai r tanah. (2) Wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas n egara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategi s nasional. (3) Cekungan air tanah meliputi cekungan air tanah lintas negara dan lintas provinsi. (4) Wilayah . . . - 30 - (4) Wilayah sungai tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (5) Arahan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai li ntas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional memperhatikan pola pengelolaan s umber daya air. (6) Pola pengelolaan sumber daya air ditetapkan den gan peraturan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang sumber daya air.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 49
Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas ne gara ditetapkan dengan kriteria melayani kawasan perbata san negara atau melintasi batas negara. Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas pr ovinsi ditetapkan dengan kriteria melintasi dua atau lebih provinsi. Wilayah sungai strategis nasional ditetapkan de ngan kriteria: melayani kawasan strategis nasional, PKN, atau k awasan andalan; melayani paling sedikit 1 (satu) daerah irigasi yang luasnya lebih besar atau sama dengan 10.000 (sepuluh ribu) hektar; dan/atau memiliki dampak negatif akibat daya rusak air te rhadap pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan tingkat kerugian ekonomi paling sedikit 1% (satu persen) da ri produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 50
Rencana pola ruang wilayah nasional terdiri ata s: kawasan lindung nasional; dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional. Rencana . . . - 31 - Rencana pola ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:1.000.000 sebagaim ana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kedua Kawasan Lindung Nasional Paragraf 1 Jenis dan Sebaran Kawasan Lindung Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 51
Kawasan lindung nasional terdiri atas: kawasan yang memberikan perlindungan terhadap k awasan bawahannya; kawasan perlindungan setempat; kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya; kawasan rawan bencana alam; kawasan lindung geologi; dan kawasan lindung lainnya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap k awasan bawahannya terdiri atas: kawasan hutan lindung; kawasan bergambut; dan kawasan resapan air. Kawasan perlindungan setempat terdiri atas: sempadan pantai; sempadan sungai; kawasan sekitar danau atau waduk; dan ruang terbuka hijau kota. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, terdiri atas: kawasan suaka alam; kawasan . . . - 32 - kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya; suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut; cagar alam dan cagar alam laut; kawasan pantai berhutan bakau; taman nasional dan taman nasional laut; taman hutan raya; taman wisata alam dan taman wisata alam laut; d an kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Kawasan rawan bencana alam terdiri atas: kawasan rawan tanah longsor; kawasan rawan gelombang pasang; dan kawasan rawan banjir. Kawasan lindung geologi terdiri atas: kawasan cagar alam geologi; kawasan rawan bencana alam geologi; dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap a ir tanah. Kawasan lindung lainnya terdiri atas: cagar biosfer; ramsar; taman buru; kawasan perlindungan plasma nutfah; kawasan pengungsian satwa; terumbu karang; dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota lau t yang dilindungi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 53
(1) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
huruf a terdiri atas: a. kawasan keunikan batuan dan fosil; b. kawasan keunikan bentang alam; dan c. kawasan keunikan proses geologi. (2) Kawasan . . . - 33 - (2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf b terdiri atas: a. kawasan rawan letusan gunung berapi; b. kawasan rawan gempa bumi; c. kawasan rawan gerakan tanah; d. kawasan yang terletak di zona patahan aktif; e. kawasan rawan tsunami; f. kawasan rawan abrasi; dan g. kawasan rawan bahaya gas beracun. (3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap a ir tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas: a. kawasan imbuhan air tanah; dan b. sempadan mata air.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 54
(1) Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud da lam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
dan ayat (6), serta Pasal 53 ayat (1) dengan luas paling sedikit 1.000 (seribu) hektar tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahk an dari Peraturan Pemerintah ini. (2) Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud da lam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
dan ayat (6), serta Pasal 53 ayat (1) dengan luas kurang dari 1.000 (seribu) hektar dan sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1 ), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perund ang- undangan. Paragraf 2 Kriteria Kawasan Lindung Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 55
(1) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pa sal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jeni s tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perka lian bobotnya . . . - 34 - bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih; b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng pali ng sedikit 40% (empat puluh persen); atau c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedi kit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut. (2) Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b ditetapkan dengan kriteria ketebal an gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sun gai atau rawa. (3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air huj an dan sebagai pengontrol tata air permukaan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 56
(1) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasa l 52 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak pal ing sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tert inggi ke arah darat; atau b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan ko ndisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pant ai. (2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasa l 52 huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan l ebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul seb elah luar; b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertang gul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertangg ul di luar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai. (3) Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana di maksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan k riteria: a. daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air da nau atau waduk tertinggi; atau b. daratan . . . - 35 - b. daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi f isik danau atau waduk. (4) Ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud d alam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
huruf d ditetapkan dengan kriteri a: lahan dengan luas paling sedikit 2.500 (dua rib u lima ratus) meter persegi; berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur; dan didominasi komunitas tumbuhan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 57
(1) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam P asal 52 huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan yang memiliki keanekaragaman biota, eko sistem, serta gejala dan keunikan alam yang khas baik di da rat maupun di perairan; dan/atau b. mempunyai fungsi utama sebagai kawasan pengaweta n keanekaragaman jenis biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang terdapat di dalamnya. (2) Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya se bagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki ekosistem khas, baik di lautan maupun di perairan lainnya; dan b. merupakan habitat alami yang memberikan tempat at au perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa. (3) Suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut seba gaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dar i suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya; b. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi; c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; atau d. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis s atwa yang bersangkutan. (4) Cagar . . . - 36 - (4) Cagar alam dan cagar alam laut sebagaimana dima ksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf d ditetapkan dengan k riteria: a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa, da n tipe ekosistemnya; b. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-uni t penyusunnya; c. memiliki kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli atau belum diganggu manusia; d. memiliki luas dan bentuk tertentu; atau e. memiliki ciri khas yang merupakan satu-satunya co ntoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi. (5) Kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimak sud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf e ditetapkan dengan k riteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar paling sed ikit 130 (seratus tiga puluh) kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis a ir surut terendah ke arah darat. (6) Taman nasional dan taman nasional laut sebagaim ana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf f ditetapkan dengan kriteria: a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbu han dan satwa yang beragam; b. memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsunga n proses ekologi secara alami; c. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh; d. memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapa t di dalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia; da n e. memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam. (7) Taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pas al 52 huruf g ditetapkan dengan kriteria: a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbu han dan/atau satwa yang beragam; b. memiliki arsitektur bentang alam yang baik; c. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata ; d. merupakan . . . - 37 - d. merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih u tuh maupun kawasan yang sudah berubah; e. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; dan f. memiliki luas yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa jenis asli dan/atau bukan asli. (8) Taman wisata alam dan taman wisata alam laut se bagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik, dan langka; b. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata ; c. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestaria n sumber daya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan d. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam. (9) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebag aimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf i ditetapkan dengan kriteria sebagai hasil budaya manusia yang bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahu an.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 58
Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksu d dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
huruf a ditetapkan dengan kriteri a kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan ma terial pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tan ah, atau material campuran. (2) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dima ksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf b ditetapkan dengan k riteria kawasan sekitar pantai yang rawan terhadap gelomban g pasang dengan kecepatan antara 10 sampai dengan 100 kilometer per jam yang timbul akibat angin kencang atau gravitasi bulan atau matahari. (3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam banjir.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 59
. . . - 38 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 59
(1) Cagar biosfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki keterwakilan ekosistem yang masih alami, kawasan yang sudah mengalami degradasi, mengalami modifikasi, atau kawasan binaan; b. memiliki komunitas alam yang unik, langka, dan inda h; c. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alam dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; atau d. berupa tempat bagi pemantauan perubahan ekologi mel alui penelitian dan pendidikan. (2) Ramsar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf b ditetapkan dengan kriteria: a. berupa lahan basah baik yang bersifat alami atau mendekati alami yang mewakili langka atau unit yang sesuai dengan biogeografisnya; b. mendukung spesies rentan, langka, hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam; c. mendukung keanekaragaman populasi satwa dan/atau flora di wilayah biogeografisnya; atau d. merupakan tempat perlindungan bagi satwa dan/ata u flora saat melewati masa kritis dalam hidupnya. (3) Taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf c ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki luas yang cukup dan tidak membahayakan untuk kegiatan berburu; dan b. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan yang memungkinkan perburuan secara teratur dan berkesinambungan dengan mengutamakan segi aspek rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa. (4) Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf d ditetapkan dengan k riteria: a. memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang memungki nkan kelangsungan proses pertumbuhannya; dan b. memiliki luas tertentu yang memungkinkan kelangsung an proses pertumbuhan jenis plasma nutfah. (5) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 52
huruf e ditetapkan dengan kriteri a: a. merupakan . . . - 39 - a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semu la menghuni areal tersebut; b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlang sungnya proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa. (6) Terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf f ditetapkan dengan kriteria: a. berupa kawasan yang terbentuk dari koloni masif dari hewan kecil yang secara bertahap membentuk terumbu karang; b. terdapat di sepanjang pantai dengan kedalaman pa ling dalam 40 (empat puluh) meter; dan c. dipisahkan oleh laguna dengan kedalaman antara 4 0 (empat puluh) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) m eter. (7) Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota lau t yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria: a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota en demik, atau proses-proses penunjang kehidupan; dan b. mendukung alur migrasi biota laut.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 60
(1) Kawasan keunikan batuan dan fosil sebagaimana d imaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan k riteria: a. memiliki keragaman batuan dan dapat berfungsi se bagai laboratorium alam; b. memiliki batuan yang mengandung jejak atau sisa kehidupan di masa lampau (fosil); c. memiliki nilai paleo-antropologi dan arkeologi; d. memiliki tipe geologi unik; atau e. memiliki satu-satunya batuan dan/atau jejak stru ktur geologi masa lalu. (2) Kawasan keunikan bentang alam sebagaimana dimak sud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan k riteria: a.memiliki bentang alam gumuk pasir pantai; b. memiliki bentang alam berupa kawah, kaldera, maa r, leher vulkanik, dan gumuk vulkanik; c. memiliki . . . - 40 - c. memiliki bentang alam goa; d. memiliki bentang alam ngarai/lembah; e. memiliki bentang alam kubah; atau f. memiliki bentang alam karst. (3) Kawasan keunikan proses geologi sebagaimana dim aksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan k riteria: a. kawasan poton atau lumpur vulkanik; b. kawasan dengan kemunculan sumber api alami; atau c. kawasan dengan kemunculan solfatara, fumaroia, d an/atau geyser.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 61
(1) Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria: a. wilayah di sekitar kawah atau kaldera; dan/atau b. wilayah yang sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar lontaran atau guguran batu pijar dan/atau ali ran gas beracun. (2) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud d alam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 53
huruf b ditetapkan dengan kriteri a kawasan yang berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bum i dengan skala VII sampai dengan XII Modified Mercally Intensity (MMI). Kawasan rawan gerakan tanah sebagaimana dimaksu d dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 53
huruf c ditetapkan dengan kriteri a memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi. (4) Kawasan yang terletak di zona patahan aktif seb agaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan kriteria sempadan dengan lebar paling sedikit 250 ( dua ratus lima puluh) meter dari tepi jalur patahan aktif. (5) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud dala m Pasal 53 ayat (2) huruf e ditetapkan dengan kriteria pant ai dengan elevasi rendah dan/atau berpotensi atau pernah meng alami tsunami. (6) Kawasan rawan abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf f ditetapkan dengan kriteria pant ai yang berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi. (7) Kawasan . . . - 41 - (7) Kawasan rawan bahaya gas beracun sebagaimana di maksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf g ditetapkan dengan k riteria wilayah yang berpotensi dan/atau pernah mengalami b ahaya gas beracun.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 62
(1) Kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 53
huruf a ditetapkan dengan kriteri a: a. memiliki jenis fisik batuan dengan kemampuan meluluskan air dengan jumlah yang berarti; b. memiliki lapisan penutup tanah berupa pasir sam pai lanau; c. memiliki hubungan hidrogeologis yang menerus de ngan daerah lepasan; dan/atau d. memiliki muka air tanah tidak tertekan yang leta knya lebih tinggi daripada muka air tanah yang tertekan. (2) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 53
huruf b ditetapkan dengan kriteri a: daratan di sekeliling mata air yang mempunyai m anfaat untuk mempertahankan fungsi mata air; dan wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua rat us) meter dari mata air. Bagian Ketiga Kawasan Budi Daya yang Memiliki Nilai Strategis Nas ional Paragraf 1 Kawasan Budi Daya
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 63
Kawasan budi daya terdiri atas: kawasan peruntukan hutan produksi; kawasan peruntukan hutan rakyat; kawasan peruntukan pertanian; kawasan peruntukan perikanan; kawasan peruntukan pertambangan; kawasan . . . - 42 - kawasan peruntukan industri; kawasan peruntukan pariwisata; kawasan peruntukan permukiman; dan/atau kawasan peruntukan lainnya. Paragraf 2 Kriteria Kawasan Budi Daya
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 64
Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas: kawasan peruntukan hutan produksi terbatas; kawasan peruntukan hutan produksi tetap; dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapk an dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh pu luh empat). Kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor pali ng besar 124 (seratus dua puluh empat). Kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonv ersi ditetapkan dengan kriteria: memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 12 4 (seratus dua puluh empat; dan/atau merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi t erbatas, kawasan peruntukan hutan produksi tetap, dan kawasa n peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi dit etapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bi dang kehutanan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 65
. . . - 43 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 65
Kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan deng an kriteria kawasan yang dapat diusahakan sebagai hutan oleh or ang pada tanah yang dibebani hak milik. Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bi dang kehutanan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 66
Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan krit eria: memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebaga i kawasan pertanian; ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi; mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersedia an air. Kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian diteta pkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertanian.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 67
Kawasan peruntukan perikanan ditetapkan dengan krit eria: wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan, budi daya, dan industri pengolahan ha sil perikanan; dan/atau tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Kriteria teknis kawasan peruntukan perikanan diteta pkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bi dang perikanan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 68
Kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan minera l dan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi, serta air tanah. Kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan dengan kriteria: memiliki . . . - 44 - memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi ; merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjuta n; dan/atau merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensil menjadi kekuatan ekonomi riil. Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bi dang pertambangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 69
Kawasan peruntukan industri ditetapkan dengan krite ria: berupa wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk ke giatan industri; tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau tidak mengubah lahan produktif. Kriteria teknis kawasan peruntukan industri ditetap kan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang industri.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 70
Kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan dengan kriteria: memiliki objek dengan daya tarik wisata; dan/atau mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam, dan lingkungan. Kriteria teknis kawasan peruntukan pariwisata d itetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bi dang pariwisata.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 71
Kawasan peruntukan permukiman ditetapkan dengan kriteria: berada di luar kawasan yang ditetapkan sebagai kawa san rawan bencana; memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan; dan/atau memiliki . . . - 45 - memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilita s pendukung. Kriteria teknis kawasan peruntukan permukiman ditet apkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bi dang perumahan dan permukiman. Paragraf 3 Penetapan Kawasan Budi Daya yang Memiliki Nilai Str ategis Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 72
(1) Kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pa sal 63 yang memiliki nilai strategis nasional ditetapkan sebagai kawasan andalan. (2) Nilai strategis nasional meliputi kemampuan kaw asan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah di sekitarnya serta mendorong pemerataan perkembangan wilayah.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 73
Kawasan andalan terdiri atas kawasan andalan darat dan kawasan andalan laut. Kawasan andalan darat terdiri atas kawasan andalan berkembang dan kawasan andalan prospektif berkemban g. Kawasan andalan tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB IV - RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 74
Kawasan andalan berkembang ditetapkan dengan kriter ia: memiliki paling sedikit 3 (tiga) kawasan perkotaan; memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto paling sedikit 0,25% (nol koma dua lima persen); memiliki jumlah penduduk paling sedikit 3% (tiga pe rsen) dari jumlah penduduk provinsi; memiliki prasarana berupa jaringan jalan, pelabuhan laut dan/atau bandar udara, prasarana listrik, telekomun ikasi, dan air baku, serta fasilitas penunjang kegiatan ek onomi kawasan; dan memiliki . . . - 46 - memiliki sektor unggulan yang sudah berkembang dan/atau sudah ada minat investasi. Kawasan andalan prospektif berkembang ditetapkan de ngan kriteria: memiliki paling sedikit 1 (satu) kawasan perkotaan; memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto paling sedikit 0,05% (nol koma nol lima persen); memiliki laju pertumbuhan ekonomi paling sedikit 4 % (empat persen) per tahun; memiliki jumlah penduduk paling sedikit 0,5% (nol k oma lima persen) dari jumlah penduduk provinsi; memiliki prasarana berupa jaringan jalan, pelabuhan laut, dan prasarana lainnya yang belum memadai; dan memiliki sektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan. Kawasan andalan laut ditetapkan dengan kriteria: memiliki sumber daya kelautan; memiliki pusat pengolahan hasil laut; dan memiliki akses menuju pasar nasional atau internasi onal.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 75
Penetapan kawasan strategis nasional dilakukan berd asarkan kepentingan: pertahanan dan keamanan; pertumbuhan ekonomi; sosial dan budaya; pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi t inggi; dan/atau fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 76
. . . - 47 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 76
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan p ertahanan dan keamanan ditetapkan dengan kriteria: diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan keamana n dan pertahanan negara berdasarkan geostrategi nasional; diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan mi liter, daerah pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi, daerah uji coba sistem persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem pert ahanan; atau merupakan wilayah kedaulatan negara termasuk pulau- pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan negar a tetangga dan/atau laut lepas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 77
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi ditetapkan dengan kriteria: memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh; memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional; memiliki potensi ekspor; didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi; memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknolo gi tinggi; berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pan gan nasional dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional; berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi sum ber energi dalam rangka mewujudkan ketahanan energi nas ional; atau ditetapkan untuk mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 78
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan s osial dan budaya ditetapkan dengan kriteria: merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional; merupakan . . . - 48 - merupakan prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya serta jati diri bangsa; merupakan aset nasional atau internasional yang har us dilindungi dan dilestarikan; merupakan tempat perlindungan peninggalan budaya nasional; memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman bud aya; atau memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial skala nasional.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 79
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi t inggi ditetapkan dengan kriteria: diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan lokasi sumber daya alam strategis nasional, pengembangan antariksa, se rta tenaga atom dan nuklir; memiliki sumber daya alam strategis nasional; berfungsi sebagai pusat pengendalian dan pengembang an antariksa; berfungsi sebagai pusat pengendalian tenaga atom da n nuklir; atau berfungsi sebagai lokasi penggunaan teknologi tingg i strategis.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 80
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan f ungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan dengan krit eria: merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hay ati; merupakan aset nasional berupa kawasan lindung y ang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/a tau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan; memberikan perlindungan keseimbangan tata guna a ir yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara ; memberikan perlindungan terhadap keseimbangan ik lim makro; menuntut . . . - 49 - menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas l ingkungan hidup; rawan bencana alam nasional; atau sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidup an. Bagian Kedua Penetapan dan Rencana Pengembangan Kawasan Strategi s Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 81
Penetapan kawasan strategis nasional berdasarkan ke pentingan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB V - PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL
Pasal 82
(1) Penetapan kawasan strategis nasional sebagaimana di maksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80, t ercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpis ahkan dari Peraturan Pemerintah ini. (2) Pemerintah dapat menetapkan kawasan strategis nasio nal selain yang tercantum dalam Lampiran X berdasarkan kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. (3) Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pad a diatur sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VI - ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 83
Pemanfaatan ruang wilayah nasional berpedoman p ada rencana struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang wilayah nasional dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruan g beserta perkiraan pendanaannya. Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang d isusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga n.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VI - ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 84
. . . - 50 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VI - ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 84
(1)Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VI - ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 83
disusun berdasarkan indikasi prog ram utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran X I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber d ari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta, da n/atau kerja sama pendanaan. Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 85
Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah n asional digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendal ian pemanfaatan ruang wilayah nasional. Arahan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri a tas: indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional; arahan perizinan; arahan pemberian insentif dan disinsentif; dan arahan sanksi. Bagian Kedua Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 86
(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasiona l sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyusun peraturan zonasi. (2) Indikasi . . . - 51 - (2) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional me liputi indikasi arahan peraturan zonasi untuk struktur rua ng dan pola ruang, yang terdiri atas: a. sistem perkotaan nasional; b. sistem jaringan transportasi nasional; c. sistem jaringan energi nasional; d. sistem jaringan telekomunikasi nasional; e. sistem jaringan sumber daya air; f. kawasan lindung nasional; dan g. kawasan budi daya. Paragraf 1 Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Struktur Rua ng
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 87
Indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem perko taan nasional dan jaringan prasarana nasional disusun de ngan memperhatikan: pemanfaatan ruang di sekitar jaringan prasarana nas ional untuk mendukung berfungsinya sistem perkotaan nasio nal dan jaringan prasarana nasional; ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyeba bkan gangguan terhadap berfungsinya sistem perkotaan nas ional dan jaringan prasarana nasional; dan pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi sistem perkotaan nasional dan jar ingan prasarana nasional. Paragraf 2 Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Perko taan Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 88
Peraturan zonasi untuk PKN disusun dengan mempe rhatikan: pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkota an berskala internasional dan nasional yang didukung d engan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai d engan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan pengembangan . . . - 52 - pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pu sat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ru ang menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah vertikal. Peraturan zonasi untuk PKW disusun dengan memperhatikan: pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkota an berskala provinsi yang didukung dengan fasilitas da n infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pu sat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ru ang menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya k e arah horizontal dikendalikan. Peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan mempe rhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 89
Peraturan zonasi untuk PKSN disusun dengan memperha tikan: pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkota an yang berdaya saing, pertahanan, pusat promosi investasi dan pemasaran, serta pintu gerbang internasional dengan fasilitas kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; dan pemanfaatan untuk kegiatan kerja sama militer de ngan negara lain secara terbatas dengan memperhatikan ko ndisi fisik lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Paragraf 3 Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Transportasi Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 90
Peraturan zonasi untuk jaringan jalan nasional disu sun dengan memperhatikan: pemanfaatan . . . - 53 - pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfung si lindung di sepanjang sisi jalan nasional; dan penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan nas ional yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 91
Peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api di susun dengan memperhatikan: pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jal ur kereta api dilakukan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasa n jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operas i dan keselamatan transportasi perkeretaapian; pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanja ng jalur kereta api; pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara ja ringan jalur kereta api dan jalan; dan penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaring an jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan d an kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 92
Peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai , danau, dan penyeberangan disusun dengan memperhatikan: keselamatan dan keamanan pelayaran; ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara beb as di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; dan pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan. Pemanfaaatan . . . - 54 - Pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelab uhan sungai, danau, dan penyeberangan harus memperhatikan kebutu han ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan. Pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Ke rja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuh an harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan pera turan perundang-undangan yang berlaku.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 93
Peraturan zonasi untuk pelabuhan umum disusun d engan memperhatikan: pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional d an pengembangan kawasan pelabuhan; ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara be bas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan pembatasan pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan zonasi untuk alur pelayaran disusun d engan memperhatikan: pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang a lur pelayaran dibatasi sesuai dengan ketentuan peratura n perundang-undangan; dan pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau -pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelaya ran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayar an.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB VII - ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIO NAL
Pasal 94
Peraturan zonasi untuk bandar udara umum disusu n dengan memperhatikan: pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional ba ndar udara; pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan batas-batas Kawasan Keselamatan Operasi Penerban gan dan batas-batas kawasan kebisingan. Peraturan . . . - 55 - Peraturan zonasi untuk ruang udara untuk penerb angan disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan agar t idak mengganggu sistem operasional penerbangan sesuai de ngan ketentuan peraturan perundang-perundangan. Paragraf 4 Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Energi Nasional