Regulation Name
stringlengths
2
3.85k
Regulation Number
stringlengths
1
63
Year
stringdate
1945-01-01 00:00:00
2030-01-01 00:00:00
About
stringlengths
3
18.3k
Chapter
stringlengths
5
2.72k
Article
stringlengths
5
36
Content
stringlengths
11
32.8k
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 4
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “ketentuan kepabeanan di bidang impor” adalah mengenai ketentuan kepabeanan serta ketentuan larangan dan pembatasan. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 5
Pengusaha Tempat Penimbunan Berikat terdiri atas: pengusaha Gudang Berikat dan pengusaha di Gudang Berikat ; pengusaha Kawasan Berikat dan pengusaha di Kawasan Berikat; pengusaha Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat dan pengusaha di Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat; pengus aha Toko Bebas Bea; pengusaha Tempat Lelang Berikat; dan pengusaha . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -3- pengusaha Kawasan Daur Ulang Berikat dan pengusaha di Kawasan Daur Ulang Berikat.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf a Dalam hal pengusahaan Gudang Berikat dilakukan oleh 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha Gudang Berikat. Huruf b Dalam hal pengusahaan Gudang Berikat dilakukan lebih dari 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha di Gudang Berikat merangkap sebagai penyelenggara di Gudang Berikat. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Cukup j elas. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -4- Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaks ud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Huruf a Yang dimaksud dengan ”industri di tempat lain dalam daerah pabean” antara lain industri manufaktur, industri pertambangan, industri alat berat, dan industri jasa perminyakan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Cukup jelas. Cukup je las. Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf a Dalam hal pengusahaan Kawasan Berikat dilakukan oleh 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha Kawasan Berikat. Huruf b Dalam hal pengusahaan Kawasan Beri kat dilakukan lebih dari 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha di Kawasan Berikat merangkap sebagai penyelenggara di Kawasan Berikat. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -5- Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Ayat (1 ) Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertam bahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “barang ” termasuk sisa hasil produksi dari proses produksi di Kawasan Berikat. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
. . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -6-
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Pengusaha yang telah mendapatkan izin sebagai penyelenggara Kawasan Berikat, pengusaha Kawasan Berikat, dan/atau pengusaha di Kawasan Ber ikat dapat diberi fasilitas penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal dan peralatan perkantoran yang semata -mata dipakai di Tempat Penimbunan Berikat yang bersangkutan. Termasuk dalam pengertian barang modal adalah peralatan untuk pembangunan/konstruksi/perluasan Kawasan Berikat. Yang termasuk dalam peralatan perkantoran yang habis pakai antara lain kertas, tinta, pita mesin tik/printer, dan disket. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Cukup jela s. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf d Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf c . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -7- Huruf c Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kewajiban untuk membuat faktur pajak dan memungut Pajak Pertambahan Nilai timbul karena barang tersebut dianggap telah diserahkan kepada p engusaha di tempat lain dalam daerah pabean. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -8- Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada dasarnya pengusaha Kawasan Berikat dan pengusaha di Kawasan Berikat dapat mengeluarkan sisa hasil produksi/limbah (waste/scrap ) ke tempat lain dalam daerah pabean dengan pertimbangan sisa hasil produksi/limbah ( waste/ scrap) merupakan sisa yang dihasilkan dari proses produksi yang terjadi di dalam Kawasan Berikat di wilayah Indonesia dan bukan merupakan sisa hasil produksi/limbah (waste/scrap) yang diimpor langsung d ari luar negeri. Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Huruf a Dalam hal pengusahaan Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tetap, dilakukan oleh 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan diseb ut pengusaha Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tetap. Huruf b Dalam hal pengusahaan Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tetap, dilakukan lebih dari 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha di Tempat Penyelenggaraan P ameran Berikat tetap merangkap sebagai Penyelenggara di Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat tetap. Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
. . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -9-
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “ cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksek usi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Cukup jelas. Huru f a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf c . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -10- Huruf c Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Cukup jelas. Huruf a Yang di maksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf b Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Cukup jelas. Huruf a Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirika n bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Cukup jelas. Cukup jelas. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -11- Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Pe raturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf c Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 32
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
. . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -12-
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “c ap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekus i dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendiria n usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf c Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -13- Huruf a Dalam hal pengusahaan Kawasan Daur Ulang Berikat dilakukan oleh 1 (satu) bad an hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha Kawasan Daur Ulang Berikat. Huruf b Dalam hal pengusahaan Kawasan Daur Ulang Berikat dilakukan lebih dari 1 (satu) badan hukum, pihak yang melakukan pengusahaan disebut pengusaha di Kawasan Daur Ulang Berikat merangkap sebagai penyelenggara di Kawasan Daur Ulang Berikat. Cukup jelas. Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup j elas. Yang dimaksud dengan “cap Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut” adalah stempel yang bertuliskan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan at as Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Cukup jelas. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -14- Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Cukup jelas. Huruf a Yang dimaksud dengan “batas -batas yang jelas” adalah batas yang berup a tembok yang memisahkan antara Kawasan Daur Ulang Berikat dengan bangunan, tempat, atau kawasan lain di luar Kawasan Daur Ulang Berikat. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dima ksud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendiria n usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimak sud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dankartu identitas pemohon izin. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
. . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -15-
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaks ud dengan ”izin lainnya” antara lain izin mendirikan bangunan, akta pendirian usaha, dan kartu identitas pemohon izin. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Cukup jelas. Huruf a yang dimaksud dengan ”tersortir” adalah l imbah yang digunakan sebagai bahan baku yang tidak tercampur dengan jenis limbah lain dengan impuritis maksimal 3% (tiga perseratus) yang dibuktikan dengan sertifikasi surveyor dari negara asal. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jela s. Huruf e Cukup jelas. Cukup jelas. Dalam hal kegiatan pengolahan menghasilkan limbah lain yang tidak dapat diolah, dinetralkan, atau ditangani oleh pengusaha Kawasan Daur Ulang Berikat atau pengusaha di Kawasan Daur Ulang Berikat, izi n Kawasan Daur Ulang Berikat dicabut dan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan di bidang lingkungan hidup.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
. . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -16-
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Huruf a Pembekuan izin Tempat Penimbunan Berikat merupakan tindak lanjut dari hasi l pemeriksaan dan/atau hasil audit yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap Tempat Penimbunan Berikat yang bersangkutan. Dengan pembekuan izin Tempat Penimbunan Berikat maka penyelenggara dan/atau pengusaha Tempat Penimbunan Berikat t idak diperkenankan untuk memasukkan barang ke Tempat Penimbunan Berikat, sedangkan atas kegiatan yang dilakukan atau ada di dalam Tempat Penimbunan Berikat masih tetap diizinkan dan barang hasil kegiatan dapat dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat. Kegiatan yang menyimpang dari izin yang diberikan antara lain: pengusaha Kawasan berikat memasukkan bahan baku yang tidak sejenis dengan jenis bahan baku yang digunakan untuk produksinya (misalnya perusahaan elektronik memasukkan suku cadang kendaraan b ermotor); pengusaha Gudang Berikat menimbun barang asal tempat lain dalam daerah pabean; pengusaha Toko Bebas Bea menjual barang kepada orang yang tidak berhak membeli di Toko Bebas Bea; pengusaha Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat melakukan k egiatan lain selain kegiatan pameran internasional di Tempat Penyelenggaraan Pameran Berikat; pengusaha Tempat Lelang Berikat melakukan kegiatan lain selain kegiatan lelang internasional di Tempat Lelang Berikat; atau pengusaha Kawasan Daur Ulang Be rikat menimbun bahan baku berupa limbah di dalam Kawasan Daur Ulang Berikat melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Huruf b Ketidakmampuan dalam penyelenggaraan dan/atau pengusahaan Tempat Penimbunan Berikat antara lain seperti penyelenggara dan/atau p engusaha Tempat Penimbunan Berikat tidak menyelenggarakan pembukuan dalam seluruh kegiatannya atau Tempat Penimbunan Berikat tidak melakukan kegiatan dalam jangka waktu tertentu secara terus menerus atau penyelenggara dan/atau pengusaha tidak melunasi utan gnya. Ayat(2). . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -17- Cukup jelas. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tidak mampu” adalah pengusaha dinilai tidak mampu menyelenggarakan Tempat Penimbunan Berikat berdasarkan hasil audit Pejabat Bea dan Cukai terhadap Tempat Penimbun an Berikat.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 45
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “tidak jujur” antara lain menyalahgunakan fasilitas Tempat Penimbunan Berikat dan melakukan tindak pidana di bidang kepa beanan. Huruf e Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Huruf a Yang dimaksud dengan “Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yang terutang” adalah semua utang yang timbul akibat pemasukan barang ke Tempat Penimbunan Berikat baik berupa utang yang berasal dari hasil temuan audit kepabeanan maupun utang yang terjadi karena pengeluaran barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. . . . PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -18- Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
32
2009
TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT
BAB X - KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4998
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 1
Dengan Peraturan Pemerintah ini, ibu kota Kabupaten Malang dipindahkan dari wilayah Kota Malang ke wilayah Kec amatan Kepanjen Kabupaten Malang.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 2
(1) Wilayah Kecamatan Kepanjen sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 3
Pendanaan yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota Kabupaten Malang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 , dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja D aerah Kabupaten Malang dan sumber pendanaan lain yang sah serta tidak mengikat.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 4
Hal-hal yang timbul dari dan berhubungan dengan pel aksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, sepan jang yang menyangkut instansi vertikal diatur lebih lanj ut oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non depart emen yang membawahi instansi yang bersangkutan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 5
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, penyele nggaraan administrasi pemerintahan Kabupaten Malang dipindah kan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan sarana d an prasarana di ibu kota Kabupaten Malang.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 6
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . . - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penemp atannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Februari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Februari 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 39 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, Wisnu Setiawan - 5 - PENJELASAN A T A S PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG DARI WILAYAH KOTA MALANG KE WILAYAH KECAMATAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG I. UMUM Kabupaten Malang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pemerintah Daerah Kabupaten Jawa Timur, dengan pusat pemerintahan Kabupaten Malang berkedudukan di Kota Malang. Dalam perkembangannya keberadaan ibu kota Kabupaten Malang yang selama ini berada di wilayah Kota Malang dianggap k urang selaras dengan kebijakan Kabupaten Malang yang sedang giat melakuk an pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian secara seksama dengan melibatkan stakeholders keberadaan ibu kota Kabupaten Malang yang saat ini berada di wilay ah kota Malang dianggap sudah tidak sesuai dan perlu dipindahkan k e Kecamatan Kepanjen yang berada di wilayah Kabupaten Malang agar dapat sejalan dan mengikuti pertumbuhan pembangunan yang sedang giat dilakukan. Saat ini, Kabupaten Malang tumbuh dan berkembang ce pat, baik fisik maupun nonfisik, termasuk aktivitas perekonomian, s osial, budaya maupun perkembangan jumlah penduduk. Pembangunan di Kabupa ten Malang terus dipacu dengan menumbuhkembangkan pusat pelayanan ja sa, perdagangan, sosial budaya, pendidikan maupun kegiatan lainnya d i seluruh wilayah yang diimbangi dengan pengaturan tata ruang wilayah, khu susnya bagi penyelenggaraan pusat pemerintahan/ibu kota Kabupat en Malang. Secara faktual hasil peninjauan lapangan secara kes eluruhan Kecamatan Kepanjen layak untuk dijadikan ibu kota Kabupaten M alang (ditinjau dari sisi: dukungan lahan, sarana prasarana, rentang ken dali pemerintahan, dukungan masyarakat, pelayanan masyarakat, aset, da n pengembangan ke masa depan). Sejalan dengan hal tersebut, pemindahan pusat pemer intahan dari Kota Malang ke Kecamatan Kepanjen telah mendapatkan pers etujuan dari DPRD Kabupaten Malang sesuai Keputusan Nomor 3 Tahun 200 7 tanggal 12 Maret 2007 tentang Persetujuan Pemindahan Ibukota Kabupat en Malang ke Kecamatan Kepanjen dan usulan Bupati Malang dengan Surat Nomor . . . - 2 - Nomor 180/707/421.013/2007 tanggal 2 Mei 2007 serta surat Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 138/8588/011/2007 tanggal 26 Juni 2007 perihal Ibukota Kabupaten Malang. II. PASAL DEMI PASAL
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 2
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 3
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 4
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 5
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
18
2008
PEMINDAHAN IBU KOTA KABUPATEN MALANG
null
Pasal 6
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 825
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan Obligasi Negara. 2. Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disebut SPN adalah Surat Utang Negara yang berjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. 3. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan Surat Utang Negara untuk pertama kali. 4. Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan Surat Utang Negara yang telah dijual di Pasar Perdana. 5. Diskonto SPN adalah selisih lebih antara : nilai nominal pada saat jatuh tempo dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder; atau harga jual di Pasar Sekunder dengan harga perolehan di Pasar Perdana atau di Pasar Sekunder, tidak termasuk Pajak Penghasilan yang dipotong.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 2
(1) Atas penghasilan tertentu dari Wajib Pajak berupa Diskonto SPN dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final. (2) Besarnya . . . - 3 - (2) Besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada adalah: a. 20% (dua puluh persen), bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); dan b. 20% (dua puluh persen) atau tarif sesuai ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku bagi Wajib Pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari Diskonto SPN.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 3
Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 2
dilakukan oleh: Penerbit SPN ( emiten ) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayar, atas Diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo; atau Perusahaan efek ( broker ) atau bank selaku pedagang perantara maupun selaku pembeli, atas Diskonto SPN yang diterima di Pasar Sekunder.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 4
Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tidak dilakukan atas Diskonto SPN yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak: a. Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia; b. Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; c. Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 5
. . . - 4 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 5
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan Pajak Pengha silan atas Diskonto SPN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 6
SPN yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan pemungutan PPh sudah dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghasilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, tidak dipungut lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 7
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peratur an Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pajak Penghas ilan atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ... - 5 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 April 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 52 Salinan sesuai dengan aslinya DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN, MUHAMMAD SAPTA MURTI PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A I. UMUM Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan tertentu be rupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2006, dipandang masih belum e fektif dan efisien pengenaan Pajak Penghasilannya dan kurang menduk ung kebijakan fiskal Pemerintah. Oleh karena itu, guna meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengenaan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN serta untuk member ikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam rangka m emahami ketentuan perpajakan atas SPN, maka dipandang perlu m engatur kembali pengenaan Pajak Penghasilan atas Diskonto SPN sehingga lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan dalam pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut d alam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Peng hasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Un dang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Un dang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. II. PASAL DEMI PASAL
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 2
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 3
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 4
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 5
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “SPN yang diterbitkan sebelum berl akunya Peraturan Pemerintah ini“ adalah SPN dengan Nomor Seri SPN 2008052801.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 7
Cukup jelas.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
27
2008
PAJAK PENGHASILAN ATAS DISKONTO SURAT PERBENDAHARAAN NEGAR A
null
Pasal 8
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR - 2 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
null
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanj utnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. 2. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ru ang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebag ai satu . . . - 2 - satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk l ain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsun gan hidupnya. 3. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. 4. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perenc anaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 5. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. 6. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geo grafis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistem nya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. 7. Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara K esatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan peraturan perundang-undangan. 8. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utam a lindung atau budi daya. 9. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan d engan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidu p yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 10. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapka n dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 11. Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawas an di sekitarnya. 12. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkunga n hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkot aan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat ke giatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 13. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumb er daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tem pat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. 14. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungs i kawasan . . . - 3 - kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusa tan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayan an sosial, dan kegiatan ekonomi. 15. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan y ang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaa n di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsio nal yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilaya h yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta ) jiwa. 16. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbent uk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. 17. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, bu daya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapk an sebagai warisan dunia. 18. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang d itetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan. 19. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebu t PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melay ani kegiatan skala internasional, nasional, atau bebera pa provinsi. 20. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melay ani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kot a. 21. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut P KL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani keg iatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. 22. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjut nya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. 23. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelol aan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km 2. 24. Daerah . . . - 4 - 24. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah darat an yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke da nau atau ke laut secara alami, yang batas di darat meru pakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. 25. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terb uka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alam iah maupun yang sengaja ditanam. 26 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutny a disebut ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan d engan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berda sarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indones ia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan ai r di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil la ut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. 27. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rin ci tata ruang. 28. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerinta h, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone sia Tahun 1945. 29. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang. 30. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 31. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adal ah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wila yah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masya rakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 2
Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mew ujudkan: ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produk tif, dan berkelanjutan; keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkun gan buatan; keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasi onal, provinsi, dan kabupaten/kota; keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut , dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilay ah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak nega tif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang; pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjuta n bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat; keseimbangan dan keserasian perkembangan antarw ilayah; keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsekto r; dan pertahanan dan keamanan negara yang dinamis ser ta integrasi nasional.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 3
RTRWN menjadi pedoman untuk: penyusunan rencana pembangunan jangka panjang n asional; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan r uang di wilayah nasional; pewujudan . . . - 6 - pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimba ngan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasia n antarsektor; penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investas i; penataan ruang kawasan strategis nasional; dan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ko ta. Bagian Kedua Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasio nal
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 4
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasio nal meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 5
(1) Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaima na dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: a. peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan b. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaring an prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional. (2) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perk otaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah meliputi: a. menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta anta ra kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya; b. mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yan g belum terlayani oleh pusat pertumbuhan; c. mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan d. mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam penge mbangan wilayah di sekitarnya. (3) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkau an pelayanan jaringan prasarana meliputi: a. meningkatkan . . . - 7 - a. meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat , laut, dan udara; b. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi; c. meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan ene rgi terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga lis trik; d. meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; dan e. meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi miny ak dan gas bumi, serta mewujudkan sistem jaringan pipa min yak dan gas bumi nasional yang optimal.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 6
Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang seba gaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: a. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung ; b. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi da ya; dan c. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strateg is nasional.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 7
(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi: a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dap at menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. (2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestar ian fungsi lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang la ut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kond isi ekosistemnya; dan c. mengembalikan . . . - 8 - c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindu ng yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan bud i daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah. (3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan m anusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyera p zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya; d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara lang sung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fis ik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tida k berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memeliha ra dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragama nnya; dan g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 8
(1) Kebijakan pengembangan kawasan budi daya sebagaiman a dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi: a. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkai tan antarkegiatan budi daya; dan b. pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar t idak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. (2) Strategi . . . - 9 - (2) Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keter paduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya meliputi: a. menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional untuk pemanfaatan sumber daya al am di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; b. mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya; c. mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial buda ya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi; d. mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional; e. mengembangkan pulau-pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skala ekonomi; dan f. mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan/atau landas kontinen untuk meningkat kan perekonomian nasional. (3) Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan b udi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tamp ung lingkungan meliputi: a. membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencan a; b. mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan mengoptimalkan pemanfaaatan ruang secara vertikal dan kompak; c. mengembangkan ruang terbuka hjau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan; dan d. membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan besar dan metropolitan untuk mempertahank an tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya. e. mengembangkan . . . - 10 - e. mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau-pulau kecil.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB II - TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
Pasal 9
(1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi : a. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestari kan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan bud aya nasional; b. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara; c. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional; d. pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tin ggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; e. pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangs a; f. pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung y ang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, da n ramsar; dan g. pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan. (2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi d an daya dukung lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lin dung; b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nas ional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan stra tegis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; d. membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dala m dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapa t memicu perkembangan kegiatan budi daya; e. mengembangkan . . . - 11 - e. mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi s ebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung deng an kawasan budi daya terbangun; dan f. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional. (3) Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara meliputi: a. menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; b. mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional unt uk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; dan c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis n asional sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budi daya terbang un. (4) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional meliputi: a. mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; b. menciptakan iklim investasi yang kondusif; c. mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan; d. mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar ti dak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; e. mengintensifkan promosi peluang investasi; dan f. meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunja ng kegiatan ekonomi. (5) Strategi untuk pemanfaatan sumber daya alam dan/ata u teknologi tinggi secara optimal meliputi: a. mengembangkan kegiatan penunjang dan/atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau tekno logi tinggi; b. meningkatkan . . . - 12 - b. meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumbe r daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penu njang dan/atau turunannya; dan c. mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya ala m dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkunga n hidup, dan keselamatan masyarakat. (6) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial d an budaya bangsa meliputi: a. meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi luh ur; b. mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan c. melestarikan situs warisan budaya bangsa. (7) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan nilai ka wasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia meliputi: a. melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya; b. meningkatkan kepariwisataan nasional; c. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup. (8) Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal meli puti: a. memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan; b. membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah; c. mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiat an ekonomi masyarakat; d. meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan; dan e. meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya man usia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 10
Rencana struktur ruang wilayah nasional meliputi: sistem perkotaan nasional; sistem jaringan transportasi nasional; sistem jaringan energi nasional; sistem jaringan telekomunikasi nasional; dan sistem jaringan sumber daya air. Rencana struktur ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:1.000.000 sebagaim ana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian ti dak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Bagian Kedua Sistem Perkotaan Nasional
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 11
Sistem perkotaan nasional terdiri atas PKN, PKW , dan PKL. PKN dan PKW tercantum dalam Lampiran II yang me rupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. PKL ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi berdasarkan usulan peme rintah kabupaten/kota, setelah dikonsultasikan dengan Ment eri.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 12
PKN, PKW, dan PKL dapat berupa: kawasan megapolitan; kawasan metropolitan; kawasan perkotaan besar; kawasan perkotaan sedang; atau kawasan perkotaan kecil.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 13
. . . - 14 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 13
(1) Selain sistem perkotaan nasional sebagaimana di maksud dalam Pasal 11 ayat (1) dikembangkan PKSN untuk mendorong perkembangan kawasan perbatasan negara. (2) Kawasan yang ditetapkan sebagai PKSN tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 14
(1) PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotens i sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerba ng menuju kawasan internasional; b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional ata u yang melayani beberapa provinsi; dan/atau c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melay ani beberapa provinsi. (2) PKW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN; b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skal a provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi at au beberapa kabupaten. (3) PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria: a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotens i sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skal a kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten a tau beberapa kecamatan.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 15
. . . - 15 -
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 15
PKSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) d itetapkan dengan kriteria: a. pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemerik saan lintas batas dengan negara tetangga; b. pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerban g internasional yang menghubungkan dengan negara teta ngga; c. pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transpo rtasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau d. pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan d i sekitarnya.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 16
(1) Kawasan megapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a merupakan kawasan yang ditetapkan dengan kr iteria memiliki 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan ya ng mempunyai hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. (2) Kawasan metropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria: a. memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.0 00 (satu juta) jiwa; b. terdiri atas satu kawasan perkotaan inti dan beb erapa kawasan perkotaan di sekitarnya yang membentuk satu kesatuan pusat perkotaan; dan c. terdapat keterkaitan fungsi antarkawasan perkota an dalam satu sistem metropolitan. (3) Kawasan perkotaan besar sebagaimana dimaksud da lam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 12
huruf c merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih da ri 500.000 (lima ratus ribu) jiwa. (4) Kawasan perkotaan sedang sebagaimana dimaksud d alam
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
26
2008
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL
BAB III - RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Pasal 12
huruf d merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih da ri 100.000 (seratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa. (5) Kawasan . . . - 16 - (5) Kawasan perkotaan kecil sebagaimana dimaksud da lam Pasal 12 huruf e merupakan kawasan perkotaan yang ditetap kan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 50.000 (lima puluh ribu) sampai dengan 100.000 (seratus ribu) ji wa. Bagian Ketiga Sistem Jaringan Transportasi Nasional